Rabu, 31 Agustus 2016

Sewajarnya

Ketika kamu merasa bahagia memiliki kehidupan yang sempurna, –dengan begitu banyak orang yang benar-benar peduli berada di sekelilingmu, Pernahkah kamu mencoba membuka mata lebih lebar lagi? Keluar dari lingkaran lingkungan yang mengerubungimu. Menebas dinding tinggi yang menghalangi pandanganmu. Mungkin, ada di luar sana, di sekitarmu yang tidak pernah mendapat perhatianmu, ada sosok yang tengah sepi dan terasingkan.
Apa yang kamu pikirkan ketika mendapati pemandangan demikian?

Mereka tentu dapat melihat dengan jelas bagaimana kamu begitu bahagianya, tertawa lepas dan melayang sambil menari-nari, karena tidak ada sekeliling yang melingkarinya untuk menghalangi pandangannya menujumu. Kamu tahu, apa yang mereka pikirkan ketika meihatmu terlalu nyaman dengan lingkungan sempurnamu? “Mungkin orang yang terlalu bahagia menunjukkan kebahagiaannya lupa, di sekitarnya ada orang lain yang sedang berusaha dengan keras untuk tidak ketahuan dengan luka di hatinya”.

Kembali lagi, bagaimana perasaanmu? Apakah masih ingin menunjukkan pada dunia betapa bahagianya dirimu dengan kehidupanmu yang tanpa cela?
Layaknya kesedihan dan kesusahan yang akan segera berlalu. Berbahagialah sewajarnya, mungkin kau bisa lebih bijak demi memikirkan perasaan orang-orang yang tidak sengaja terluka hatinya melihatmu tertawa begitu bahagia.

Minggu, 28 Agustus 2016

Kepingan Puzzle

Kamu pernah menjadi bagian dari kepingan puzzle hidupku. Ambil bagian penting di beberapa keping, dan beberapa keping lagi menjadi bagian yang kurindukan. Terkadang kamu harus pulang dan hanya ada aku sendirian di kota rantauan kita. Menunggumu di depan pintu sambil sesekali mengecek ponsel, kalau-kalau kamu memberitahu akan datang. Biasanya, tidak lama menunggu, aku sudah bisa tersenyum mendapatimu datang membawa tentengan yang sudah pasti isinya oleh-oleh buatku. Itu biasanya.
Kali ini tidak ada lagi. Tidak pernah lagi: aku menunggumu, dan kamu akan datang. Semua telah berbeda. Sudah setahun. 
Ah... waktu yang memperjelas, atau memang kita yang sudah berubah?

Jarak.
Mengapa dalam jarak yang sudah semakin jauh, Tuhan mengizinkan aku sekali lagi mengingat kenangan bersamamu? Mungkinkah ini seperti memberi harapan bahwa kita mungkin masih saja bisa memperbaiki kolase yang sudah kita sama-sama pecahkan?

Aku tidak menulis untuk membahas penyebab retaknya kepercayaan di masing-masing kita, hanya kuingin memberitahumu, tiada pernah hatiku memberi ruang untuk benci padamu sedikitpun. Kesalahan yang ada padaku, menjauhkanmu. Kesalahan yang ada padamu, mendiamkanku. Namun mengapa kamu langsung pergi menjauh? Mengapa tidak ingin mencoba berbicara, menanangkan hati masing-masing, atau mengulang untuk tertawa bersama, memberi irama pada hati yang mulai beku?

Sudah setahun kamu pergi. Memang tidak ada hal buruk yang terjadi padaku, aku pun masih dapat bernafas. Hanya saja, mungkin kamu lupa, kalau kamu adalah pemegang setengah kepingan puzzle hidupku. Kepingan puzzle yang menjauh demi menghindari keributan antara kita.

Semalam, tetangga kamar kos membeli sebuah puzzle dari toko buku. Kami membuat permainan siapa yang paling cepat menyusun-nyusun kepingan puzzle yang sudah diacak, permainan berjalan lancar, sampai akhirnya tiba giliranku, permainan tidak bisa kuselesaikan, karena salah satu puzzlenya tiba-tiba saja menghilang.

aku jadi teringat akanmu. kapan kamu akan kembalikan kepingan puzzleku?

Jumat, 19 Agustus 2016

Mungkin

Mungkin kita pernah sama-sama merasakan hidup yang panjang melelahkan yang kita lalui dengan begitu banyak aktivitas, ternyata tak berpihak pada kita.
Saat sebuah keinginan kecil tak jadi kenyataan
Saat memiliki harapan berujung kekecewaan
Saat semua yang dimiliki perlahan menghilang
Laksana berada di tengah padang di terik siang,
Diam tak memberimu apa-apa, berteriak meminta pertolongan malah membuat semakin dahaga
Atau ketika kita berlarian penuh ceria di bibir pantai, namun tiada teman untuk berbagi keindahan.
Apalah arti sedih pun bahagia, jika tak ada satu orang pun untuk berbagi akan nya?

Mungkin kita pernah sama-sama merasakan, merasa begitu sepi di dalam benak sendiri. Membuat lupa cara tersenyum karena dirasa rugi tak ada juga tempat untuk berbagi. Duduk tersudut memangku kaki, menekur, membenam duka dalam sunyi.

Atau... berdiri di samping bangku dekat jendela, kemudian melangkah memunggungi kaca yang berembun terkena tempias hujan. berjalan pelan menuju kamar yang digerogoti kesunyian. Berharap bisa menuliskan catatan tentang hujan di bulan ini: perihal aku, kamu, dan kehilangan tanpa salam perpisahan.

Kepergian dan kehilangan adalah bagian paling menjemukan.
Aku sudah terlalu bosan menjalani malamku dengan cerita-cerita kesedihan, hingga air mataku rasanya sudah jenuh untuk menetes.
Maka inilah yang aku lakukan sekarang, menuliskan setiap kenestapaan dalam menghadapi kehilangan.
Mencoba menghapus jejak kekecewaan, berpaling mengikhlaskan.

Selasa, 16 Agustus 2016

Debar

aku yakin
kita sama memiliki debar
bedanya, kita tak saling menyamakan persepsi kita tentang kehadiran.
kehadiranmu memiliki irama debar yang berbeda, tanpa hadirmu, debarku berujung kerinduan.
akankah kehadiranku begitu jua untukmu? mungkin tidak.
karena aku terhalang bayang ribuan orang yang berlalu-lalang di sekitarmu
bak debu yang beterbangan tanpa arti
mungkin tampak, sekilas, tetapi tiada pernah terasa kehadirannya, apalagi terperhatikan.
lantas, debarmu kepada apa?

Sabtu, 13 Agustus 2016

Dulu

Aku masih saja terlena dalam buaian angin lembut membelai kulitku.
Terduduk membeku menatap lurus ke luar jendela kamarku.
Iya, aku sendiri. Dan sepertinya memang sudah mulai terbiasa sendiri.
Memang siapa lagi yang sudi masih di sini? Saat semua impian sudah mulai dapat diraih satu- per satu, kamu memilih hengkang. Berpisah denganku yang masih jauh berbeda.

Kamu ingat tidak? Dulu, hampir setiap hari kamu selalu datang walau sekadar menumpang rehat dan mengobrol di tempatku. Tidak jarang juga kamu memintaku menemanimu kesana kesitu mengurus urusan ini itu. Aku menurut. Kamu selalu memberi embel-embel, "Temani aku dulu, kalau aku sudah selesai, kamu pasti akan kutemani balik, tidak akan kutinggalkan." 

Aah.. aku jadi terlihat seperti seseorang yang haus budi, seolah-olah kalau tidak kau katakan kalimat demikian, aku enggan menemanimu? Tidak, jangan seperti itu. Aku tulus menerima keadaan itu dulu.
iya, dulu, saat kamu masih menyenangkan menjadi temanku, masih mau berbicara denganku, masih mau meminta pendapatku tentang apa apa.

Itu dulu, saat aku kelimpungan menenangkan debarmu yang kau bagi, mengusir kecemasan. Saat kamu masih butuh aku. Hingga ketika kamu sudah bisa meraih semuanya mendahului aku. Mendapatkan teman-teman baru yang juga sudah sama-sama lulus berjuang. Kamu mulai berubah pongah. Kamu mulai melupakan tempatku, dan aku. Kamu menjauh, tidak pernah lagi berkunjung untuk melepas penat.

Terpaan angin mulai menguat, kulitku teriris dinginnya. Menyadarkan aku yang masih terdiam di belakang jendela, mengingat kalimat janjimu dulu, bahwa kamu, tidak akan meninggalkanku. Mungkin kamu memang tidak berbohong tentang itu. Buktinya, dulu kamu selalu bersamaku. Dulu.

Sebuah undangan terjatuh dari tanganku. Undangan pernikahan yang kuterima sore tadi dari teman seangkatan dengan kalimat asing, "Kalau tidak sempat datang, juga tidak apa-apa." sebenarnya apa maksudnya? apa kamu berniat mengundangku atau tidak? Apa kamu tidak ingin lagi aku ada di sampingmu bahkan di hari bahagiamu?
Duh... aku jadi merindukan kamu yang dulu.

Kamis, 11 Agustus 2016

Jangan Mau Bertahan, Jika Enggan

Kita pernah, memilih dengan lugu untuk terlihat terlalu kasihan hanya karena bertahan pada kondisi yang sebenarnya mengganggu dan menyiksa batin.
Kita mengorbankan banyak hal untuk itu. Waktu, tenaga, pikiran, terlebih perasaan.
Ketika ketidaknyamanan saja tidak cukup menjadi alasan kita untuk meninggalkan, apakah masih ada pertolongan?
Mengapa kita masih bertahan? Apa karena "tidak ada pilihan lain, saya bertahan" yang masih menjadi penahan kaki kita untuk hengkang?
Jangan terlalu naif, kita memiliki pilihan sendiri untuk memutuskan sesuatu, apalagi yang berhubungan dengan hidup kita sendiri. Terlalu lama berada di posisi tidak mengenakkan akan berdampak tidak baik juga untuk diri kita nantinya.

Jangan mau bertahan, jika sebenarnya hatimu enggan.
Engkau berhak meninggalkan.
Engkau boleh berpaling arah.
Hidup sekali, jangan dibuang sia-sia hanya karena kita tidak berani mengambil resiko, keluar dari zona nyaman.
Eh, tetapi ini juga bukan kategori nyaman, karena sudah enggan.

Lepaskan keluguan, mulailah memutuskan.
Tinggalkan keraguan untuk melepaskan.
Jangan mau bertahan, jika enggan.

Senin, 08 Agustus 2016

Sesaat

kita bertemu baru saja. di ambang senja yang mendung, tanpa kehangatan semburat jingga.
kita berpisah baru saja. saat kegelapan dan dentingan suara tetes-tetes air hujan mulai mencuat.
kita bertemu ketika ingin bertemu, dan berpisah dengan terpaksa. bukan karena keinginan. ya, dipaksa keadaan.
...
saat itulah kulihat sinar ceria matamu yang pertama kali kulihat saat kita bertemu meredup.
pipimu, membulat karena tidak suka dengan perpisahan ini. ingin rasanya jemariku membelai lembut pipimu. tapi aku terlalu malu dengan lingkungan.
"kita akan bertemu lagi, nanti, kan?" rajukmu.
aku mengangguk ragu. takut berkata "tidak" demi tak melihat lagi embun di pipimu. sudah cukup rasanya kamu menunggu kesempatan untuk bertemu aku, sudah terlalu banyak air mata yang kau keluarkan untukku. aku tak ingin menambahkannya lagi. namun, untuk berjanji pun, aku terlalu takut.
"hujan, nanti kamu demam. mari kita pulang dulu." hanya itu yang mampu aku utarakan demi melihatmu melangkahkan kaki yang berat itu.
kita berjalan bersisian hanya sepuluh langkah saja, setelah itu, di persimpangan kita berpisah. kamu berbelok ke arah kiri, aku ke kanan.
aku takut menoleh ke belakang, meskipun sangat ingin. namun, aku tak sanggup melihatmu menangis lagi.
*

Kamis, 04 Agustus 2016

Tujuan

pagi ini, aku berjalan santai menuju kampus
menikmati setiap tapak kaki melangkah
menikmati uap embun dan udara sejuk sisa hujan semalam
kecipak kecil yang diciptakan dari telapak sepatuku memberi irama
ada burung-burung kecil yang bermain di depan
berkejaran, kemudian terbang
ada beberapa mahasiswa yang asyik bercengkerama
bercerita apa saja
dan, kakiku terhenti seketika
ada sesuatu yang menarik perhatiaku
sebutir air yang menduduki selembar daun
berkilauan diterpa surya yang perlahan menyapa
seakan bersuara, "lihatlah padaku barang sejenak"
senyum tersungging begitu saja melihatnya
kemudian teringat, aku harus berjalan lagi
menuju tujuan yang belum terjalang
menjemput mimpi yang harus segera dibenahi
ya... aku harus segera revisi

Senin, 01 Agustus 2016

Hei Agus! Terima Kasih untuk Cahaya Terang di Langit Mendungmu

 Entah kenapa, aku suka hari senin, apalagi hari senin yang tepat di bulan baru. Seperti kehidupan baru yang memberikan kesempatan kita memperbaiki kesalahan di masa silam dan memulai hidup dengan produktifitas yang maksimal.
Seperti hari ini. Sesubuhnya hari aku sudah bangun dan beraktivitas. Dengan harapan hari ini akan baik dan penuh keberkahan jika kumulai dengan bangun pagi. sejak aku bangun, langit lumayan sendu, namun masih bersahabat. Perjalanan hidup berjalan lancar, sampai sekitar pukul sembilan pagi, aku bertemu dengan juniorku di jalan menuju kampus (kenapa aku baru pukul sembilan ke kampus, karena aku tidak tidur di kosan semalam, tetapi tidur di rumah orang tuaku yang jaraknya sekitar 2 jam lebih). Kita bercerita banyak, sambil melepas rindu pasca sudah lama tidak bertemu. Ada titik terang yang aku dapatkan dari pertemuan dan obrolan pinggir jalan itu. Apa? Bahwa hidup memang harus dijalani dengan bersyukur. Terutama aku. Ya, kuakui kisah perjalanan tesisku memang tersendat, tetapi kendalanya hanya ada pada diriku sendiri. Kesibukan kerja dan organisasi yang kujalani menjadi penghalangnya (ditambah sedikit rasa malas, hehe), ditambah aku yang penakut untuk sekadar menghadap dosen pembimbing. Tetapi juniorku yang sudah selesai seminar hasil itu, ia harus mengulang kembali dari awal: ganti pembimbing, ganti judul, ulang menulis proposal dari awal, dan ulang lagi untuk seminar. Dijelaskan bahwa ia memiliki masalah dengan pembimbing duanya –yang sama dengan pembimbing duaku. Ya Allah…
Dengan tanpa maksud menertawakan kemalangannya, aku mengucap syukur berkali-kali pada Allah, setelahnya mengucap istighfar (merasa bersalah dengan banyaknya keluhanku selama ini). Begitu berat masalah yang orang lain hadapi dibanding masalahku.
Sama-sama tersendat di tesis, tetapi pokok permasalahannya berbeda. Setidaknya, aku yang hanya punya masalah dengan diriku sendiri, ya hanya aku dan dirikulah yang harus berdamai. Sementara dia? Dirinya dengan egonya sendiri, pembimbingnya dengan ego pembimbingnya, dirinya dengan ego pembimbingnya. Pasti rumit, sehingga harus mengganti pembimbing dan ulang lagi dari awal.
Sekali lagi, aku bersyukur bukan untuk mentertawakan dia, tetapi mensyukuri nasibku yang ternyata jauh lebih beruntung dari padanya.
Kulanjutkan perjalanan ke kampus, di perjalanan bertemu lagi dengan teman sekelasku dengan pakaian sangat rapi, tetapi tampang orang kebingungan. Kira-kira percakapan kami begini.
“Alhamdulillah.. untung kita bertemu di sini.”
“Kenapa bang?”
“Lusi bantulah abang jadi moderator seminar hasil, ya. Karena tidak ada satu pun teman-teman di tempat.”
Aku yang tahu betul dosen pembimbing satunya sama dengan dosen pembimbing satuku langsung ciut. Terbayang bagaimana nanti bertemu beliau, akankah beliau menginterogasiku kenapa belum juga menghadap untuk bimbingan? Duh…
“Duh bang, tapi kan ada Pak At, Ci takut, ah. Yang lain saja.”
“Nggak ada yang lain, makanya abang pusing nyari. Udah, Lusi sajalah… tolong bantu abang.”
Rasa iba mulai datang, tetapi tetap takut berhadapan dengan profesor pembimbing. Tapi kasihan, tapi takut. Akhirnya seluruh nomor teman-teman yang aku punya, kuhubungi satu per satu, dan NIHIL. Tidak ada yang bisa. Pasrah deh.
Singkat cerita, di saat si Bang Stefen menjemput dokumen seminar ke kantor TU, masuklah Pak At ke ruangan yang ketika itu hanya ada aku di dalamnya. Allah…
“Nah, kemana saja?” kalimat pertama yang lumayan membuatku berpikir keras untuk menjawabnya.
“Kapan lagi mau seminar? Jangan lama-lama, rugi kalau harus bayar uang kuliah hanya untuk menyelesaikan tesis.”
“Iya pak.” Sial! Jawaban yang singkat banget
“Apa lagi yang tinggal? Bersegeralah.”
“Iya, Pak, dikit lagi.”
“Kapan mau bimbingan? Mumpung perkuliahan belum dimulai dan saya masih belum terlalu sibuk.”
“Secepatnya, Pak.”
“Terkejar wisuda September?”
“Wallahu ‘alam, sepertinya tidak, Pak.”
Dan… mulailah aku diceramahi ini dan itu, panjang lebar, sampai keluar keringat dingin, sampai menggigil, dan sampai ada orang yang datang.
Aku takut dengan beliau bukan karena beliau terlalu galak, tidak! Bukan juga karena beliau jahat, tidak! tapi yaaaa…

Oke. Intinya. Terima kasih kepada cahaya terang yang disuguhkan bulan Agustus ini. Dengan pertemuan dengan junior dan wejangan dari dosen pembimbing, akhirnya aku kembali bersemangat menyelesaikan tesisku yang setahun terbengkalai (gila! Lama banget). Buka mata, lihatlah sekitar.. ada banyak pelajaranyang bisa kau cerna. Komitmenlah dengan apa yang sudah menjadi pilihan hidupmu dari awal. Bersyukurlah, karena dengannya hatimu jadi tenang untuk menjalani aktivitasmu. J