Senin, 28 November 2016

Masih

Masih berdiri di dalam kotakku. Menatap perlahan ke arah jendela kaca yang memburam karena embun yang terkena efek hujan dari pagi. Pertanda baru bangun, sesosok dengan mahkota kusut membayang dari sana. Segera kusapu uap itu agar tidak melihat pemandangan kusam itu lagi. Tidak enak dilihat tengah malam begini.

Bukannya lupa. Di akhir tahun seperti ini, hujan memang lebih rajin mendatangi kotaku setiap harinya. Dan akibatnya, aku jadi terkurung dalam kotak peraduanku, seharian. Tidakkah ia rindu untuk pulang barang sebentar bertemu awan?

Tidak ada yang menyakitkan dari hujan yang datang memang. Dengan aroma tanah dan hawa sepi yang dibawanya sesampainya di bumi, Ia hanya berusaha setia. Hujan terjatuh berkali-kali, tetapi tak pernah enggan untuk kembali, meskipun itu untuk terjatuh lagi. Ia selalu datang lagi. Terjatuh pada tempat yang tepat.

Pelajaran yang diberikan hujan, tentu saja bagaimana ia menunjukkan kesetiaan. Setelah pulang, ia menjanjikan untuk kembali. Tentu saja, dengan jaminan usianya yang semoga masih panjang.

Hawa dingin mulai menembus kaca yang masih kusentuh, menyadarkanku. Hujan yang enggan berhenti, membangunkanku yang merasa sangat lapar. Ternyata hujan masih saja berbaik padaku, meski aku tidak pernah berterima kasih padanya, atau sekadar menyambutnya kala ia datang mengunjungi. Sambil menikmati sisa roti yang kubeli tempo hari, aku masih menatap ke luar jendela, menembusnya untuk dapat menyapa sang hujan. Mencoba menggenggam butirannya yang terjatuh, agar tidak begitu sakit.


Kurasa, hujan tengah tersenyum dengan usahaku itu. Bukan apa-apa, aku tidak lagi berbaik hati padanya. Hanya ingin menyampaikan surat yang kuselipkan di antara jemariku padanya. Barangkali hujan berkenan, menyampaikannya pada sang Illahi, bahwa aku masih menanti.

Kamis, 24 November 2016

Musim yang Canggung

Tahun ini, pesta olahraga sedang digelar di Sumbar. Gelaran olahraga bergengsi sekelas PORPROV yang diselenggarakan tanggal 19-29 November ini, membuat Kota Padang yang biasanya tidak ramai dengan spanduk dan baliho, kali ini semarak dengan ucapan "Selamat Datang Kontingen (nama daerah) di Kota Padang". Biasanya, aku ikut merasakan disambut dengan kalimat di baliho tersebut. Tapi musim ini tidak lagi, semenjak musim PORPROV sebelumnya aku memutuskan "Ini pertandingan terakhirku" atau bahasa lainnya, aku memutuskan untuk pensiun.

Oke, meskipun memilih untuk berhenti, sejatinya aku tidak bisa benar-benar memalingkan wajahku dari dunia yang membesarkan namaku ini (Lebay banget, pake bahasa membesarkan nama segala, padahal yang kenal aku juga teman sekelas, tetangga, sama teman2 kosan doang). Jadi, sudah lebih kurang tiga bulan ini aku memiliki adik didik. Emm... bukan aku tok yang ngelatih sih, aku cuma jadi asisten pelatihnya papa (pelatihku dulu) aja sih, tapi ya, jadilah, buat nyombong! ehe~

Nah, kembali ke gelaran PORPROV Sumbar yang kebetulan musim ini tuan rumahnya adalah Kota Padang (Kota tempatku sekarang menetap untuk kuliah), jadi aku menyempatkan diri untuk bisa ikutan nonton, dan, yaaa... tentu saja aku menonton dengan style yang sudah jadi jati diriku sekarang (Tidak lagi pakai training dan sepatu olahraga, tetapi pakai rok dan kerudung lebar ☺️). Pokoknya, beda lah, dari penampilanku biasanya. Buktinya, banyak teman-teman atlet dan para wasit (wasitnya kita di sini selalu itu-itu aja dari zaman SD dulu, jadi udah pada kenal) yang nggak kenal lagi sama aku ðŸ˜­

oke, ini nggak point dari cerita ini sih.

Aku datang biasanya selalu siang, ba'da dzuhur gitu laah, karena pagi aku ke kampus dulu. Jadi, sampai sana awalnya aku cuma berdiri aja di depan pintu. sumpah, canggung! Gitu asyik celingak-celinguk bego meratiin yang lagi tanding, namaku di panggil (Alhamdulillah, ada juga yang kenal) begitu aku menoleh, ternyata itu Uni Aulia, partnerku sejak jaman main pake baju putih merah dulu (jelas aja dia kenal, kan di kampus kita juga ketemu. Sialan, gagal Geer deh!). Jadi, langsung aja aku gabung sama dia dan suaminya. Uni Aulia ini pengantin baru.

"Uni ga nyangka dedek ikutan nonton, tau gitu, tadi ngajakin pergi bareng"
"Iya, dedek juga nggak nyangka uni datang, kan udah sibuk jadi bu dosen sekarang"
lalu kita ber-hehe-ria

beberapa saat kami saling diam, karena pandangan mata asyik menatap ke lapangan pertandingan. yang mataku ikuti saat itu pertandingan beregu antara Sawahlunto vs Dharmasraya. Dan, yaa... meskipun memang tidak ikutsertanya aku dalam pertandingan ini adalah inginku sendiri, rasanya canggung banget! :((

"Sedih Juga ya, kita cuma jadi penonton." seolah tengah membaca pikiranku, Uni Aulia membisikiku, aku hanya mengangguk sambil tersenyum. kemudian, datanglah Keke, atlet asal Padang yang musim ini turun membela Kab. 50 Kota

"Kakak, kok nggak main?"

"Hehe" cuma itu yang bisa kujawab.

"Sayang loh, prestasi lagi di atas, tapi berenti gitu aja."

Makjleb! Keke! plis lah, nggak usah bikin aku gamang gini sama keputusanku sendiri dong...

"Karena udah hijrah ya kak?" aku senyum saja menanggapi.

"Eh, tapi kan, musim kemarin, kakak udah hijrah juga, masih tetap ikutan tanding kok."

"Iya, ya."

Uni Aulia akhirnya ikutan menimpali, "KONI Solok lagi bermasalah kemarin Ke, jadi kami nggak bisa berangkat. Tapi iya sih, Si Lusi ini udah ditelponin, bilangnya nggak mau turun. Padahal kan sayang."

"Oh, ada masalah, tapi, besok-besok masih main kan, Kak?" Keke mengejarku dengan pertanyaan lagi.

"Masih ragu, Ke. Niatnya emang yang kemarin itu terakhir kakak main, tapi nggak tau juga. hehe"

"Jangan dong, kak. Kan sayang. Apa nggak canggung, cuma jadi penonton sekarang?"

Iya ke, semakin lama ngobrolin ini, aku jadi pengen main lagi.

***
Hari ini, pertandingan tunggal semi final, dilanjut final akan digelar, sebelum kemudian dilanjut dengan double dan mixed double. jadi teringat, dulu pernah berada di fase ini. ah... canggung sekali rasanya, aku jadi pengen megang bet lagi ðŸ˜¢




Rabu, 16 November 2016

Aku menyadarkan diriku

Dengan apa lagi kusembunyikan raut wajah kecewaku kala mendapati pernyataan menyakitkan datang dari orang lain, mengulang kalimat pedasmu yang melebihi silet itu?
Sudah kutarik ujung bibir untuk dapat membuat senyum, tapi masam. Jatuhnya malah lebih menyeramkan.

Memang rasanya adalah sebuah kesalahan besar mempersatukan kita dalam satu petak yang sama, kamu jadi sering terlihat, dan –mau tidak mau bercengkerama. Kenapa tidak menolak? Hey! Sudah berupaya kulakukan. Tetapi tetap saja bukan aku yang berkuasa di sini.

Aku masih ingat dengan jelas bagaimana aku mencoba meyakinkan, bahwa kita memang lebih baik tidak bersama. Tetapi membuang kaloriku. Semua tidak berhasil. Sudah lebih 10 bulan lamanya menjalani hidup bagaikan dalam neraka. Semua sungguh tidak mudah untuk berpura-pura bahwa semua baik-baik saja. Karena memang tidak pernah sebaik yang kutampilkan. Aku tertindas di sini.

Tapi satu hal yang tetap kupastikan. Tiada satu kata pun mau kubagi dengan siapapun, tentang keluhanku selama ini padamu. Biarlah, kusimpan semua yang tidak menyenangkan ini. Aku lebih memilih mengalah, dari pada menambah-nambah masalah.

Tapi apa yang baru saja kudengar? Cacian yang tidak seharusnya kau ucapkan kepada mereka-mereka yang tidak mengerti kita. Membuatku terlihat begitu hina. Kamu membongkar keseharian kita yang entah kenapa itu tak sesuai fakta, tentang kerusakan yang aku lakukan padamu, yang bahkan aku lupa, memang apa yang kulakukan?
Dan, ini bukan untuk yang pertama kalinya kamu lakukan.
Dengan seringnya mendengarkan kalimat seriusmu tentangku, mereka pasti bilang, aku ini monster bertopeng setan. Busuk dan menyeramkan!

Ternyata seperti ini hidup yang tengah kita jalani.

Aku menyadarkan diriku sekali lagi, bahwa tidak akan mungkin 
memiliki hidup yang benar-benar sempurna. 
Dan kalimat “Semuanya baik-baik saja” tidak pernah benar-benar ada.

Senin, 14 November 2016

Ada

Ada orang yang memilih untuk tidak mengeluhkan kesahnya, karena tidak ingin melihat kecemasan terpantul dari wajah orang lain karenanya, atau tidak ingin terlihat lemah, atau mungkin ia tak percaya bahwa benar-benar ada orang yang peduli akan sakitnya.

Ada orang yang memilih lebih terbuka dengan terdekatnya. Membagi kesah hanya kepada orang-orang sekitar yang benar-benar mendapati kepercayaan darinya. Tujuannya? Mungkin dengan hanya membagi kesah, hatinya sedikit lega.

Ada orang yang memilih terbuka dengan siapa saja yang dikenalnya. Menceritakan keluhannya, membagi kesahnya, tanpa beban dan kekhawatiran. Karena baginya, ia telah melepaskan sebagian bebannya dengan keterbukaannya.

Apapun keluhannya, bagaimana pun wujud kesahnya, setiap yang bernyawa pasti pernah terkurung di dalamnya. Merasa sedih, sepi, seakan mati. Ada yang berat sampai tidak kuasa berdiri, ada yang masih bisa diatasi oleh lapang hati. Aku pun, dan kamu juga.

Kamu, yang entah sedang apa dan di mana saat ini, yang masih kusebut dalam doaku pada Illahi, semoga kelak hatimu yang mungkin sedang tersakiti, bisa kembali berdiri. Tegar menjalani aktivitasmu sebagai makhluk Illahi Robbi.
Dan, entah dengan cara apa,
aku selalu mengharap padaNya, segera bisa dipertemukan dalam rangkaian kita.
Sehat dan selalulah berbahagia di sana. 😊
Ingatlah aku di sini ada!

Minggu, 13 November 2016

Dear...

Dear…
Gadis lugu berwajah sinis
Apa kabarmu? Sudah lama sekali kamu menghilang dari pandanganku,
Tidak, mungkin memang secara langsung aku tak dapat menatapmu, tetapi aku tahu, dari foto yang barusan kulihat, kamu sedang beristirahat di pangkuan selimut saat ini
Yah, meski kamu menghilang dari pandanganku, kamu tetap hidup dan sehat dalam sanubariku

Ada hal apa, sayang, sampai kamu memilih untuk tidak kembali ke kota kecil ini dalam waktu yang tidak singkat? Baik-baikkah kamu di sana?
Semoga saja kecemasanku tidak pernah terjadi, walau sejentikpun rasa sakit itu.
Kamu mau tahu?
Banyak hal berubah di sini semenjak kamu memilih diam bersembunyi
Aku dan satu lagi sahabat kita, hampir mati berjuang berhadapan dengan monster. Hebat bukan? Monster!
Di tengah-tengah napas tersengal, kami pasti berandai, “Andai gadis jutek itu ada di sini, kita tidak akan dibiarkannya mati seperti ini.”
Yah, kami memang sangat tergantung padamu.

Kamu tau? Gedung tempat mengadu nasib terakhir kita, sudah banyak kemajuan.
Terakhir, kamu hanya tau ada tiang-tiang yang didirikan, kan?
Sekarang sudah ada dindingnya, sebagian juga sudah punya atap. Duh… aku jadi membayangkan, kita dapat menelusup nanti ke ruangan beraroma khas bangunan baru, untuk hunting foto,nanti kita beri caption “Si penyusup gedung sang petinggi!” keren ya?
Makanya, kamu cepat ke sini, jangan sampai ada orang lain yang mendahului kita ‘membismillahi’ gedung itu!

Dear cintaku…
Gadis sombong berhati lembut
Marahkah kamu padaku?
Sudahlah, perbincangan kita tempo hari tidak usah menjadi wacana panjang dalam benakmu
Aku tahu kamu membenci kalimatku, tapi aku hanya kasihan padamu, oh maaf, bukan kasihan, aku terlanjur sayang padamu.
Bukan maksudku meremehkan statusmuu. Bukan sama sekali!
Aku hanya ingin kamu bisa mengenal sosok bernama laki-laki.
Tentu, ada secuil laki-laki baik di dunia ini, yang aku yakini dia adalah salah satunya.
Kenapa tak kamu coba mengenalnya dahulu? Mungkin kamu bisa menilainya menyenangkan?

Dear sayangku…
Gadis aneh si penyendiri
Maafkan aku, orang yang menamai dirinya sahabatmu
Jangan pergi karena marah padaku, karena banyak teman-temanmu di sini mencarimu,
Mereka membutuhkanmu…
Keluarlah dari persembunyianmu, kembalilah ke kota kecil kita ini,
Ingat! Dosen pembimbing menagih tesismu yang belum kelar. Hehehe

Cepat balik, cerewet!


*surat elektronik dari seseorang, yang merasa bersalah begitu diriku tiba-tiba tidak kembali selama lebih satu bulan. Ditulis ulang dalam bahasa yang lebih dramatis, biar lebih manis dibaca (karena bahasa aslinya kasar banget, ya Allah 😭😭)

Mati Berdiri

Sial!
Bulan November... Sudah 13 hari berlalu begitu saja. apa aku harus mati saja? Agar tidak lagi mendengar pertanyaan –lebih tepatnya interogasi memekakkan telinga dan menggalaukan hati
Tapi, mati bukanlah solusi, bukankah seharusnya aku bertanggung jawab, menjawab semua interogasi yang akan kuterima? Tapi sepertinya aku tidak sanggup menjalani ini sendiri, aku terlalu tidak mampu untuk itu.

Sudah tiga belas hari, dan aku masih diam di sini. Teronggok seperti sampah tanpa arti. Ah… sebenarnya aku ini apa? kenapa susah sekali mengajak tubuhku bergerak? Kenapa susah sekali membawa kakiku melangkah? Kenapa hatiku sepertinya beku? dengan apa lagi ia mampu kulelehkan agar hangat dan menyamankan?

Sungguh aku ingin mengakhiri semuanya. Karena mungkin memang kutak mampu menyelesaikan semua hal sulit ini. Tapi, aku tidak bisa sendiri. Menanti siapa saja mengulurkan tangannya padaku? Terlalu lama menanti, aku bisa mati berdiri.

Kamis, 10 November 2016

tidak akan

Katakanlah,
Apakah aku memang lebih pantas untuk pergi, atau masih ada yang berharap aku masih di sini.

Kalau ditanya pilihanku? Kamu dan hal-hal yang pernah kita lalui adalah alasan untukku agar bisa menetap lebih lama lagi. Bukan karena takut tidak terbiasa dengan tempat yang baru, karena bagiku mudah saja untuk menyesuaikan diri dengan rasa sunyi yang mungkin akan sama. Hanya saja, rasanya, segala yang pernah ada menjadi kasur empuk yang sudah melekat dengan hobi tidurku –sayang, jika harus ditinggalkan begitu saja.

Aku masih ingin bertahan di sini, menanti kemungkinan sekali lagi untuk bisa menjadi satu genggaman denganmu. Genggaman yang beriring, bersisian, tentu dengan visi yang satu.

Aku sudah memperjuangkannya sepenuh hatiku. Melakukan hal-hal yang mungkin gila, agar tak pernah kamu menginginkan jauh dariku. Karena sangat tidak mudah untuk jauh darimu. Canggung.

Berkali-kali aku jatuh dalam perjuanganku, aku mencoba menghibur diriku. “Jangan sedih, jika semesta sedang mencoba membuat semangatmu patah” dan itu berkali-kali berhasil. Namun sekarang, sepertinya itu tidak mempan lagi. Ada yang membuatku tersadar akan suatu hal, ternyata aku terlalu percaya diri bahwa aku masih penting di sini. Entahlah, kamu yang sepertinya sudah terlebih dahulu ikhlas jika kepergianku adalah nyata, membangunkanku.


Jika nanti pada akhirnya memang aku harus pergi, percayalah bukannya aku ingin meninggalkanmu di sini. Kau dan segala yang pernah ada selalu kubawa. Karena bagaimana pun jauhnya, jarak tidak akan pernah menghapus tentang kita.