Rabu, 25 Januari 2017

Ikhalaskan atau Perjuangkan?

PART 2

Lalu, hujan akhir tahun ini perlahan datang membisikkan. Hal yang paling kita hindari itu datang. Di saat cinta sedang berada di puncak bahagianya. Saat kebahagiaan secara simultan berganti perpisahan yang memuakkan. Mimpi buruk yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya.
                       
Maafkan aku sayang, orang tuaku menjodohkan aku dengan Tiara.
Kamu tampar aku dengan keras dan sekuat tenaga. Apa maksudnya?
Di dalam kafe yang hangat dengan irama derasnya hujan, jantungku berhenti berdetak, mataku nanar, bibirku terbuka. Sayang, tolong lanjutkan kalimatmu, bilang, kalau kamu hanya bergurau! Tolong…

Namun kamu hanya diam. Ada gelisah dan kekecewaan di raut wajahmu. Apa artinya itu, kamu tidak dapat menolak permintaan orang tuamu? Oh, tidak! Tolong jangan seperti ini, sayang. Aku tidak mungkin membiarkan itu terjadi. Aku tidak mungkin bisa menerimanya. Tidak akan bisa!

Lima menit, sepuluh menit, kita hanya diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Kehabisan kata-kata. Makanan enak di hadapan kita masing-masing terlihat seperti makanan basi yang sangat busuk, tidak enak lagi dimakan. Pikiranku kacau. Aku tidak tahu harus bagaimana. Entah di menit keberapa, aku memutuskan untuk melangkah pergi meninggalkanmu sendirian. Maafkan aku! Aku butuh waktu untuk menenangkan diriku sendiri. Aku butuh waktu menata hatiku yang terberai dengan keputusanmu itu, maafkan aku belum mampu memberikan tatapan pilu padamu.

--

Tiara, gadis yang diangkat anak oleh orang tuamu saat usianya tiga tahun. Gadis pemalu itu tumbuh menjadi saudaramu selama ini. Di antara keluargamu, hanya Tiara yang kau kenalkan padaku di awal hubungan kita. Kita sesekali mengikutsertakan Tiara dalam momen-momen bahagia kita. Bagaimana mungkin aku akan mengkhawatirkannya selama ini? Ternyata aku salah.

Tiga hari setelah kita terakhir menyia-nyiakan makanan di kafe, kamu akhirnya datang menemuiku ke rumah kontrakan sederhanaku. Wajah pilu dan pakaian yang kusut membuatku mempersilahkanmu masuk dan duduk di ruang tamu. Sepuluh menit pertama kita hanya diam, canggung. Sampai kemudian kamu membuka pembicaraan.

Maafkan aku, sayang. Sudah segala cara aku lakukan untuk meyakinkan mama, papa, juga nenek, bahwa aku sudah memiliki kekasih, dan kita akan menikah tahun depan, tetapi tidak ada yang mau mendengarkan aku. Ucapmu

Coba lagi! Kejarku.

Sudah sebulan ini, aku sampai merajuk tidak pulang, tetapi tidak dapat merubah keputusan yang sudah diambil keluargaku.

Apa? satu bulan, katamu? Sepintar itukah kamu menyembunyikan hal ini dariku, sehingga sebulan belakangan aku tidak tahu kalau kamu menyimpannya dariku? Kenapa kamu baru memberitahuku sekarang? Aku tidak kuasa menahan air mataku.

Obrolan panjang kita sore itu, tidak memberikan harapan apa-apa padaku. Hanya keputusasaan yang harus aku rasakan. Keluargamu sudah menyiapkan semuanya untuk pernikahanmu yang ternyata tinggal dua minggu lagi. Aku tahu kamu mencintaiku, tapi… untuk apa? Kalau kamu akhirnya tidak bersama-sama denganku? Entah mimpi buruk apa ini, aku harus kehilangan sebelah sayapku. Aku tidak mampu lagi terbang sendiri.

Sebuah pesan kamu kirimkan padaku malam hari, entah itu adalah sebuah harapan yang coba kamu berikan padaku, atau adalah suara hatimu yang sebenarnya juga tak kuasa melawan kehendak orang tuamu.

Cintaku,
Maafkan aku atas kenyataan yang membuatmu sakit
Maafkan aku atas keputusan yang tidak menyenangkan ini
Maafkan aku atas rencana masa depan yang indah kita harus tercoreng
Bukannya aku menerima keputusan ini karena tidak mencintaimu lagi, tidak!
Aku akan selalu menyimpanmu dalam hatiku
Hanya kamu satu-satunya cinta yang menduduki hatiku
Ada janin dalam rahim Tiara yang membuat malu keluargaku
Aku berjanji, kalau anak itu kelak lahir, aku akan menceraikannya
Dan kembali padamu, untuk menjemput masa depan kita
Kamu bersabar ya, sayang…
Aku berjanji, tidak akan pernah menyentuhnya sedikitpun!
Bagaimana mungkin? Tiara bagaimanapun juga adalah adikku
Sekali lagi maafkan aku

Aku mencintaimu, sampai kapanpun!

air mataku, menetes kembali...

*bersambung⏩ PART 3
______________________________________________________________________________
* untuk tahu cerita sebelumnya, silahkan klik ➡  Part 1

Senin, 23 Januari 2017

Ikhlaskan atau Perjuangkan?

PART 1

Entah waktu yang berjalan terlalu ngebut, atau memang kisah kitalah yang terlalu mengesankan, hingga aku merasa semuanya begitu cepat berlalu, sayang. Kamu hadir membawa banyak perkembangan di hidupku, rasanya sulit, untuk tidak jatuh cinta kepadamu. Setahun waktu yang cukup lama bagimu akhirnya membawaku membuat keputusan menerima sosokmu menemaniku berjalan dan berjuang bersama menulisi setiap detik kehidupan ini, untuk masa depan kita. Dan, kecepatan waktu menghitung sudah tiga tahun lamanya kita hidup bersama dalam sebuah hubungan yang diikat cinta.

Tidak mungkin kamu tidak mengetahui betapa cinta ini setiap saat selalu kujaga dan kupupuk, untukmu. Semenjak hari-hari kita berjuang bersama, bahumu yang kokoh selalu menopang kegundahanku, tanganmu yang lembut selalu membelai kepalaku dengan kasih sayangmu itu, dan, tutur lembutmu yang selalu menenangkanku dengan semangat dan nasihat yang selalu kau kuatkan untukku. Aku perlahan menjadi tergantung padamu, terlebih, aku sangat takut kehilanganmu.

Hidup bersama yang kita ikhlaskan dengan cinta selama tiga tahun lamanya, membuat aku berhenti mencari arti bahagia. Semuanya telah kita miliki. Aku masih ingat, ketika kita membahas mimpi-mimpi kita, tidak pernah namaku absen kau sertakan dalam impian masa depanmu. Aku menunggu itu sayang, aku selalu mendoakan dan mendukungmu untuk bisa meraih mimpimu secepat yang kita mampu.

Aku masih ingat, janjimu. Kamu akan membawaku pada keluargamu, usai lebaran tahun depan. Memperkenalkanku sebagai calon ibu dari anak-anakmu, dan kelak, giliran keluargamu yang akan datang ke orang tuaku. Rasanya, aku ingin waktu ini cepat bergulir. Tidak sabar rasanya aku menjadi istrimu. Setiap pagi menyiapkan sarapan untukmu, menyiapkan perlengkapanmu sebelum engkau berangkat kerja, ah… indah sekali bukan, hari-hari kita nanti?

Rasanya dunia kita terlalu istimewa dan sempurna. Meski sendiri itu baik, ternyata berdua itu jauh lebih mewah, lebih indah. Kita menjadikannya sebagai alasan untuk tetap dalam satu genggaman. Tiada lagi orang lain yang mampu masuk dan mengacau hari-hari kita.


--
Hujan pertama datang. Hujan yang membawa pengharapan bagi insan-insan yang kekeringan dan merasa kepanasan, akhirnya menjadi momen romantis kita. Sederhana, tapi aku suka. Aku ingat, kamu rela kebasahan hanya demi menemuiku di gedung teater tempat biasa aku hangout di sore hari. Aku tahu kamu awam dengan dunia teater sebelum ini, sayang. Tapi demi mau masuk ke dalam duniaku, kamu perlahan mulai mencintai hobiku ini, seiring cintamu yang bertumbuh padaku. Dan aku sangat menghargai itu.

Kenapa kamu datang juga meski hujan? Kuusap lembut keningmu yang basah. Senyum teduhmu meyakinkan aku bahwa kamu tidak merasa terpaksa sedikitpun untuk datang. Sungguh, aku merasa sangat beruntung bisa dipertemukan dengan laki-laki hebat sepertimu. Laki-laki yang senantiasa memberikan kehangatan sederhana padaku, di kala musim hujan sudah tiba.

*bersambung⏩ PART 2

Kamis, 12 Januari 2017

Hati-hati!

Pernah terkadang tanpa sadar, kita berbicara apakah itu kepada teman, sahabat, 
kenalan, senior, junior, atau siapa pun itu, susah untuk mengontrol omongan kita.
Kita hanya berusaha apa adanya, cuap-cuap mengeluarkan isi hati, tanpa memikirkan
terlebih dahulu bagaimana kondisi si lawan bicara.

Kadang juga, mengutarakan pertanyaan yang menurut kita itu adalah wajar, karena
sebagai teman kita menunjukkan kepedulian. Tapi, kadang kita hanya terlihat sekadar
ingin tahu atau bertanya hanya karena untuk berbasa-basi.
Oke, apapun itu niat kita untuk bertanya, apakah murni hanya karena kepo, apa memang
karena kita adalah orang yang peduli dengan orang dekat kita, tetap saja kita harus 
hati-hati mengeluarkan suara.

Beberapa hari lalu, ada seseorang yang kutemui di kampus (mungkin setelah satu
semester belakangan tidak pernah bertemu), seorang junior yang kupikir sudah wisuda.
Asyik bertanya kabar, akhirnya aku mulai bertanya perihal keperluannya ke kampus. 
Sebuah kalimat singkat dan standar kuutarakan, "Ada perlu apa ke kampus?" akhirnya
membuatnya bercerita panjang lebar mengenai tugas akhirnya yang 'ternyata' belum selesai.
Bak sudah lama ingin curhat, mumpung ada yang bertanya sebagai 'pemancing', akhirnya
si junior itu mengeluarkan uneg-unegnya padaku (sampai-sampai melewatkan waktunya
sendiri untuk bimbingan).

Sekitar kurang lebih setengah jam ia bercerita, akhirnya sampailah pada kalimat terakhir 
penutupnya, yang entah kenapa terdengar cukup sinis di telingaku. "Nah, kakak sendiri,
kenapa belum wisuda juga? Padahal aku aja udah telat wisuda, berarti kakak lebih telat lagi
dong, ya?" dan ia menyelipkan tawa di akhir kalimatnya. Ya, seperti pertanyaan-pertanyaan
senada yang sering kuterima belakangan, aku langsung menjawab sama, "Ya, belum rejekinya
berpisah dari kampus. hehe" Kupikir, ia akan berhenti di situ, ternyata tidak. Aku bahkan 
harus mendengar kalimat yang lebih pedas lagi. "Lah, emang ngapain aja selama ini? Itu tesis dibawa tidur? Ga dikerja-kerjain, ya?" percayalah, meski itu hanya serentetan kalimat biasa, mungkin terkesan berseloroh, tapi aku benar-benar tersingung mendengarnya.

kupikir lagi, apakah kalimat tanyaku sebelumnya, juga membuatnya tersinggung, sampai akupun mendapat pertanyaan ini darinya. Entahlah, meski kupikir tidak ada yang salah dengan pertanyaanku, kan mungkin saja ia tersinggung dengan pertanyaanku sebelumnya.

Ingin sekali aku juga curhat padanya tentang kondisiku bagaimana, tetapi aku berpikir, tidak semua kesulitan kita harus diceritakan pada setiap orang yang bertanya, karena terkadang yang bertanya bukannya peduli, tapi hanya sekadar ingin tahu.

Aku terlahir sebagai anak perempuan terkecil di keluargaku. Ayah dan ibuku sudah tua dan sering sakit-sakitan. Terkadang ketika sudah ada jadwal bimbingan, aku harus meninggalkan kampus karena tiba-tiba ibuku atau ayahku sakit, jadi aku harus pulang (selama kuliah aku ngekos, tidak tinggal dengan orang tua yang jarak rumahnya cukup jauh ke kampus), dan itu terjadi acapkali, berulang kali, (harus kuakui, lumayan mengganggu konsentrasiku, dan lumayan menyita waktuku untuk revisi). Sesekali aku membantu kakak tertuaku yang tinggal di luar provinsi untuk menjaga anaknya (ini untuk detailnya, aku tidak bisa bercerita) aku bisa meninggalkan kampus selama sebulan kalau sudah pergi ke tempat kakakku, dan itu terjadi acapkali, berulang kali.

Hari ini, saat waktu sudah sangat genting untuk bisa mengejar target wisuda periode Maret, aku masih harus berkejar-kejaran dengan deadline. Adikku (yang pulang kampung karena libur semester) tengah sakit. Siapa lagi kalau bukan aku yang menjaganya di rumah sakit? Dan, jadwal operasinya yang harusnya kemarin dilaksanakan, harus tertunda karena berdasarkan pemeriksaan praoperasi, ditemukan ada gangguna jantung, jadi ia harus dibawa lagi ke Rumah Sakit Umum Pusat untuk pemeriksaan lebih lanjut. Ya Allah, masih terkejarkah aku untuk bisa wisuda periode ini?

Hari ini aku mendapat satu pelajaran. Apapun niat baik kita, terkadang apabila caranya tidak tepat, tetap saja itu tidaklah bisa dinilai kebaikan. filosofinya, ketika kita melihat ada nyamuk di kening teman kita, dan kita dengan niat yang tulus ingin membantunya terhindar dari gigitan nyamuk, menggunakan batu untuk memukul nyamuk tersebut, bagaimana? Pasti akan terlihat seperti kita hendak melukai teman kita. Jadi, niat yang tulus saja tidak cukup, kita juga harus memikirkan "alat dan cara" yang tepat untuk membuat niat baik itu menjadi perbuatan baik. Maka berhati-hatilah... J

Jumat, 06 Januari 2017

Berita Bahagia itu...

Dunia ini terasa tenang, kalau tidak pernah ada kabar mengejutkan yang tiba-tiba bisa menjadi moodbreaker. Yap, berita mengejutkan yang bahagia sekalipun, kalau dilihat dari sudut pandang berbeda, kamu tau, kadang bisa menjadi berita paling menyedihkan.

Aku sedang merasa tenang di depan laptop untuk menyelesaikan pekerjaanku, dan entah kenapa rasanya bosan mulai menggangguku. Iseng, kubuka salah satu sosial media yang sudah mulai jarang kudatangi belakangan. Sampai, ketenanganku tadi tergantikan dengan ketercengangan, sesaat menghentikan indera pernapasanku, menghentikan kerja jantungku, dan pandanganku, perlahan gelap.

Lama mulutku ternganga mencerna apa yang baru saja kulihat. Sebuah foto yang dikirimkan temanku, meski berwarna hitam-putih, dengan jelas menampakkan tawa bahagiamu berdampingan dengan seorang perempuan yang tak kalah bahagianya. Aku berusaha menenangkan diriku sendiri. Membuat seoalh semuanya biasa saja, mencoba ikut bahagia dengan berita bahagia yang kuterima. Kulihat, tanggal pengiriman foto itu di hari pertama tahun ini. Artinya aku sudah terlambat tiga hari mengetahuinya. Aku tidak mungkin berteriak histeris, karena seisi perpustakaan akan menatap sinis ke arahku. Satu hal, sebenarnya begitu hebat gejolak di dadaku.

Mataku mengerjap-ngerjap. Memastikan tak ada yang akan jatuh dari sana. Reflek tanganku mendarat di dadaku, memastikan detakannya masih berirama. Hembusan nafasku panjang melepaskan gugu yang tertahan.

Terakhir yang masih kupercaya, kamu adalah orang yang paling peduli dengan orang tuaku. Kupikir, kebaikanmu selama ini mungkin memiliki niat kelak akan hidup bersama denganku. Ternyata aku Cuma ngigau. Lantas, kenapa tidak ada undangan yang datang padaku? Kenapa kamu tidak memberitahuku saja sebagai seorang kakak kepada adiknya?

Ahhh…Tidak semua yang ditinggal mendapat ucapan selamat tinggal, kadang sepahit itu memang, dan aku harus menyadari itu tengah terjadi padaku. Oke. Semoga kamu selalu bahagia di sana, dengan keluarga barumu, senior.