Jumat, 24 Februari 2017

Ikhlaskan atau Perjuangkan?

PART 3

Sayang, sudah sebulan rumah tanggamu. Kamu apa kabar?
Rasanya sulit untuk hidup tanpa kamu. Menjalani hari-hari yang biasanya kita lewati berdua, sendiri. Tuhan memberikan jalan pulang untuk rinduku yang kesepian. Dan aku tak pernah menyangka, bahwa jalan menuju pulang ternyata akan sesulit ini.

Kemarin, aku tidak sengaja melihat adikmu, maksudku istrimu di toko buku. Entahlah, kenapa kejam sekali takdir harus mempertemukan kami? Aku berdiri kaku melihatnya yang tengah tersenyum membaca sebuah komik. Rasanya ada getir di dadaku melihatnya begitu bahagia. Begitukah kamu? Bahagia jugakah kamu? Kupikir, dengan berpura-pura tidak melihatnya, tidak akan terjadi interaksi di antara kami. Namun aku salah, Tiara melihatku dan memanggil namaku. Rasanya, aku ingin menghentikan waktu beberapa detik saja, untuk bisa kabur dari situ secepatnya. Aku hanya menatapnya datar membalas senyumannya yang tidak pernah berubah, seperti tiga tahun lalu kami berkenalan. Tidak banyak yang terjadi, Tiara hanya bertanya kabarku dan kegiatanku sekarang yang kujawab sekadarnya, kemudian aku memilih menjauh.

Entahlah. Entah apa yang dipikirkan Tiara saat pertama kali melihatku sampai ia memilih untuk menegurku, bahkan sampai menanyakan kabar dan kegiatanku saat ini. Aku ingin membencinya karena telah mengambil masa depanku, tapi aku tidak bisa melakukannya. Bagaimanapun juga, aku yakin ini semua bukan keinginan Tiara. Lagi pula, selama ini aku sudah menyayangi Tiara seperti adikku sendiri. Canggung rasanya kalau harus kupaksa hatiku untuk membencinya.

Sayang, aku kangen kamu. Tidakkah kamu juga merasakan hal yang sama? Atau kamu marah padaku yang selalu menolak untuk bertemu? Dingin menyentuh kulitku yang terluka karena kehilangan dengan salam perpisahan ini. Kuselimuti kulitku dengan ngilu yang kupaksakan dari senyuman begitu melihat namamu muncul di layar ponselku. Hallo…

Sore ini akhirnya kita bertemu kembali. Ternyata aku memang tidak sanggup untuk berlama-lama tidak melihat masa depanku yang masih kutitipkan di binar matamu, aku ingin melihatnya lagi kali ini, masihkah ada harapan di sana tertinggal untukku?

Kamu kurusan. Kesan pertama setelah sekian lama kita tidak bersua. Binar lelah juga terpancar dari sorot matamu yang meredup. Apa artinya itu, selama ini kamu tidak bahagia, sayang? Maafkan aku harus menatapmu pilu. Aku tidak tega melihat tubuh di hadapanku dengan kondisi seperti ini. Rasanya ada serpihan yang tertancap di tubuhku, ada debu yang menghinggapi mataku, hingga aku tak kuasa menahan linangan di mataku.

Aku tidak baik-baik saja. Entah apakah ini adalah hukuman bagiku karena telah menyakitimu, atau hukuman lain dari kesalahanku yang tidak kusadari. Aku tidak bahagia. Aku ingin mengakhiri ini semua. Aku tidak bisa jauh darimu. Setiap hari mimpi denganmu selalu menyesaki pijakan-pijakan kakiku. Aku tidak bisa melangkah tanpa menghadirimu di setiap helaan napasku. Berkali aku coba menerima takdirku hari ini, namun ada saja suara-suara yang menyorakiku, mengingatkan akan kamu yang tengah terluka dengan hadirnya Tiara di sampingku. Aku bersalah padamu, sayang. Maafkan aku sampai detik ini masih terus memberikan harapan, namun aku tak tahu dengan cara apa kuwujudkan keinginan itu.

Kita sudah sama-sama membasahi mata kita. Aku merasakan perihnya jalan hidupmu. Ternyata selama ini aku terlalu egois memikirkan takdirku yang ditinggalkan olehmu. Padahal kamu sendiri yang lebih menderita, harus hidup dengan orang lain yang tidak pernah diduga sebelumnya, di samping masih terus memikirkan aku yang kau tinggalkan.

Bagaimana dengan Tiara?

Ia sepertinya sedang berusaha menjadi istri yang baik. Setiap hari ia melayani kebutuhanku, meskipun aku selalu bersikap dingin padanya.

Suaramu tercekat. Kamu pasti merasa tidak enak menceritakan ketidakenakanmu pada usaha Tiara mencoba menjalani takdirnya saat ini. Aku tahu, di satu sisi kamu pasti mulai ingin pasrah dan menerima takdirmu saat ini sebagai suami Tiara, menghargai usahanya yang sudah memberikan yang terbaik untuk rumah tangga kalian. Namun di sisi lain, kamu sudah punya janji denganku.

Lantas aku? Aku harus bagaimana? Ikhlaskan atau perjuangkan?



* untuk tahu cerita sebelumnya, silahkan klik ➡ PART 1  PART 2

Jumat, 17 Februari 2017

Setelah 18 tahun

Hidup kita di hari ini, tak lepas dari masa lalu yang telah terukir indah menggores apik dalam tinta kenangan yang tersusun rapi di buku harian yang tersimpan di kotak harta karun kita.

Bicara masa lalu, aku mengenal sahabat kecil yang pernah menjadi alasan kenakalan masa kecil menjadi menyenangkan. Hidup bersama di lingkungan tempat tinggal yang berdekatan. Ya, kita mulai dekat kala itu, kamu baru pindah ke rumah di depan rumahku. Rasanya menyenangkan, punya tetangga baru seusiaku.

Kapan kita mulai akrab? Aku lupa persisnya seperti apa. Yang masih kuingat sampai sekarang, kenakalan-kenalakan kita yang masih tersisa giresannya sampai sekarang. Kita pernah menggores dinding luar belakang rumah Yulia dengan ukiran nama kita, yang tentu saja membuat murka orang tua kita yang dapat pengaduan dari tante Widya. Namun anehnya, semarah-marahnya tante Widya kala itu, goresannya malah dibiarkan begitu saja sampai hari ini. Kita juga sering menghabiskan setoples astor jualan mamaku di kolong kasur kamar orang tuamu.
Ahh.. Kejadian-kejadian menggemaskan itu kini terekam lagi di ingatanku.

Kemarin, setelah 18 tahun tidak bersama lagi, kita bertemu. Jujur, aku sudah lupa dengan wajahmu, namun tidak dengan namamu. Aku yakin, Robbyansha Panca itu nama sahabat kecilku yang kini tumbuh gagah dan kharismatik. Kita bertemu tidak sengaja di sebuah acara. Meski membalas senyumku, namun sepertinya kamu lupa dengan namaku yang kuyakin juga kamu pasti dengar. Atau, mungkin lengan mungil seorang gadis cantik yang selau berada di sisimu itu yang menahanmu untuk sekadar 'say hello' padaku. Apapun alasannya, aku lumayan kecewa dengan sikap dinginmu itu. Bukankah seharusnya kita bisa saling bercerita seru tentang belasan tahun masing-masing?

Dear, sahabat kecilku... Aku merindukanmu.

Selasa, 14 Februari 2017

Terima Kasih, Kakpos!

Pernahkah, ketika hari berlalu begitu saja, kita terpikir, "apakah hari-hari yang sudah terjadi akan terjadi lagi esoknya? Atau ini hal terakhir yang hanya kan menjadi kenangan?"

Begitupun, perkenalan singkat, pertemuan yang belum terjadi, dan interaksi melalui dunia maya selama kurang dari dua pekan ini, adalah bagian dari sebagian kecil usiaku. Namun, kuakui ini berkesan. Bisa mengenal kak @anakkopi sebagai tukang posku yang baik, meski beberapa kali aku terlambat mengirim suratku, bahkan pernah salah memasukkan format pengiriman, suratku tetap saja sampai.

Terima kasih, untuk kak posku yang baik hati. Mungkin kali ini kita hanya saling bertemu di mention twitter saja, mana tau suatu saat bisa kopi darat, menikmati kopi di tengah gerimis yang syahdu, sambil mendiskusikan hal-hal menarik perihal negeri kita tercinta. 😉

Senin, 13 Februari 2017

Cinta Selamanya

Pada dinginnya embun pagi yang memotivi setiap helai tumbuhan di halaman.

Aku teringat kembali kalimat yang dahulu rutin kudengar dari mulutmu, kalimat yang menyejukkan bak embun pagi, kalimat yang meneduhkan dari terik panasnya hari, dan kalimat pelepas dahaga di tengah padang kehidupan.
Kalimat yang belakangan sudah mulai tidak pernah lagi kau utarakan padaku.
Bukannya kita tidak lagi dekat, bahkan sekarang aku satu-satunya buah hatimu yang berada di sisimu dan bintang hatimu. Namun, kondisi kesehatanmulah yang menghukum kita untuk tidak bisa lagi berbincang terlalu panjang.

Ahh.. Kejam sekali penyakit yang menggerogotimu, perlahan menjauhkanmu dari semua kenikmatan dunia. Makan enak, tidur nyenyak, bersenda gurau dengan kami.
Aku merindukan masa itu, pa... Bisa seenaknya bergelayut di pangkal lenganmu yang kokoh itu, merengek minta dibelikan coklat sembunyi-sembunyi di belakang mama, atau bercerita menyombong kalau di sekolah aku lari paling cepat di pelajaran olahraga.

Cepat sembuh, laki-laki cinta pertamaku.
Laki-laki yag tiada pernah menyakiti dan membuat galau.
Laki-laki hebat yang membuatku merasa nyaman dan berkali-kali bersyukur, dalam tubuhku megalir darahmu.
Aku mencintaimu, sampai kapanpun. Bahkan sampai kelak aku sudah bukan jadi tanggung jawabmu lagi.

#PosCintaTribu7e
#SuratuntukPapa
#HariKe-6

Minggu, 12 Februari 2017

Waktu yang Tepat

Kepada hati yang sedang menanti

Rasanya waktu tidak pernah menghianati.
Tunggulah masa yang tepat akan menjemputmu.
Jangan dipaksa bila memang belum saatnya.
Jangan pula menyerah, bukan berarti saat itu takkan datang.
Tetaplah berharap, usaha, dan berdoa.
Bukan memperolehnya tepat waktu.
Tapi di waktu yang tepat.
Dan itu belum sekarang.
Bersabarlah...

#PosCintaTribu7e
#KepadayangMenanti
#HariKe-5

Jumat, 10 Februari 2017

Sejak Kamu Pergi

Teruntuk si pemilik hati seluas samudera, si rendah hati meski sangat tidak tampan, sahabatku tersayang.

Hey! Masihkah kau pegang rinduku yang dibalas dan ditelan waktu lalu? Seperti sebelumnya, malam masih selalu datang, padahal kutak ingin rindukan bintang. Namun malam tlah membuatku selalu mengenang. Tentang kamu yang kini tiada lagi bisa membagi tawa di sampingku.

Aku masih ingat, kita tidak sengaja bertemu di fakultasmu. Berkat hobi yang sama, akhirnya kita menjadi sangat dekat, semakin akrab. Aku menyukai hari-hari yang kubagi bersamamu. Cerita-cerita konyol yang selalu kita banggakan, rencana masa depan yang mungkin sulit dibayangkan. Kamu masih ingat? Waktu itu, sore hari sehabis latihan kamu mengantarku pulang ke kosan berjalan kaki sambil bercerita bahwa kamu tahun 2015 akan ke Amerika, menjadi menteri olahraga di sana. Hahaha… aku langsung menoyor kepalamu gemas. Sekali-kali, kamu pun sempat membalas dorongan di kepalaku, ketika aku membual perihal akan menjadi juara nasional tahun 2016. Dan memang itu hanya sebuah lelucon. Buktinya, tahun lalu tidak ada peristiwa itu, bahkan aku memilih pensiun di akhir tahun lalu.

Oiya, kamu apa kabar di sana? Sepertinya benar-benar sibuk bekerja di dinas perpora. Ya, kuakui mimpimu di bidang olahraga sedikitnya sudah kau capai saat ini. Terus kejar impianmu ya! Kabarku di sini, tidak begitu membanggakan. Aku biasa-biasa saja, tidak ada cerita menyombong yang bisa kubanggakan. Entahlah, sejak kamu pergi di tahun awal kuliah s2-ku, rasanya sudah tidak ada lagi yang benar-benar mengerti aku. Tidak ada lagi yang mau mendengar dengan sabar mimpiku, malahan, sekarang ini, kalau aku bercerita hal-hal (yang dianggap konyol) aku pasti ditertawakan.

Ahh… dulu, kenapa kita bisa bertemu, kalau kamu juga hanya sementara di sini, kemudian memilih pergi? Sudah terbiasa dengan kenyamanan yang kamu berikan, membuatku terlalu tergantung padamu. Aku kesal, aku tidak menyukai itu. Tidak bisakah kamu kembali saja ke sini, dan menjadi sahabatku lagi? Oke, iya sampai sekarang aku masih tetap sahabatmu, tapi, tetap tidak sempurna tanpa hadirmu.

Aku kangen kamu tau! Orang pertama yang aku paksa baca cerita aku dan kasih komentar sebelum aku posting di blog. Orang pertama yang paling rempong kalau aku sedang sakit. Orang pertama yang paling bahagia begitu tahu aku sudah bisa memasak sop. Orang pertama yang khawatir, orang pertama yang paling bisa bikin aku tergantung. Kini, perlahan mulai tiada lagi.
Aku benci itu!

Kamu kangen aku juga, kan? Mari kerja lebih giat lagi, lalu nabung buat beliin aku tiket ke sana, jadi tourguide aku keliling Kuta, aku nggak minta keliling Bali kok. Baik kan, sahabatmu yang manis ini?



                                                                  With love, 💕

                                             Sahabat terkece yang kamu punya👸

Kamis, 09 Februari 2017

Kepada yang Menghilang

Beberapa waktu belakangan terasa berat. Ada yang tersekat hingga membuat tersendat. Entah apa, aku masih mencari tahu keberadaannya. Padahal sebelumnya tidak pernah sesulit ini menjalani hari-hari. Yang kuingat, perbedaannya hanya sekarang kamu sudah tidak ada lagi, mengisi beberapa baris cerita di lembaran kisahku.

Kamu apa kabar di sana? Bisakah kamu berjalan dengan tenang tanpa ada aku yang mungkin selalu merecokimu? Atau bahkan kamu juga merasakan kehampaan yang sama denganku? Ah, barangkali harapan ini hanya semacam doa yang memeluk kehampaan sebagai kamu. Tapi biarlah, sesekali waktu perlu mengajariku cara tercepat meninggalkan masa silam. Meski aku tak yakin kamu akan “hilang” begitu saja di masa depanku.

Kadang setiap merindumu aku menegaskan hati dengan merapal mantra “semoga”
Dan berharap mantra itu mustajab untuk mengembalikan yang pergi dan memulangkan yang lupa. Walau setiap mataku membuka, kamu tetap pergi dan tetap lupa kembali.

Yang kutahu, antara kita, terlalu banyak kebetulan, terlalu banyak pengecualian. Hingga akhirnya, semesta membiarkan begitu saja kepergian tanpa salam perpisahan terjadi. Memang aku masih bisa terlihat biasa saja berjalan sendiri, tertawa melihat sekelompok anak-anak, antusias begitu melihat buku bagus tertata rapi di deretan rak toko buku, tapi ketika sudah sendiri di kamar, kamu masih melekat dan enggan lepas dari ingatan.

Di jantung rinduku kamu adalah keabadian yang mengenalkan dan mengekalkan kehilangan. 



#PosCintaTribu7e
#SuratCintaUntukKamu
#SuratKe-3

Hei, Kembaranku!

Aku percaya, waktu 24 jam sehari itu sangatlah singkat dan mungkin tidak cukup bagi kita menjalani hari-hari. Tapi rasanya, aku terlalu naif memikirkan hari yang begitu cepat berlalu bagi kita. Bisa saja, bagi orang lain hari sangat lamban melaju. Itu bagimu, perempuan hebat yang selama ini selalu disangka adalah kembaranku.

Rasanya rintik hujan yang tengah turun, melalui tetes-tetsnya membawaku menyusuri jalanan basah di depan sana, menembus titik-titiknya berlari padamu. Bahagia dalam penantianmu sangat kurasakan, meskipun kita tiada lagi hidup bersisian seperti dua puluhan tahun lalu. Status barumu membawamu harus meninggalkan aku di sini dan semua hal tentang hidup yang selalu kita bagi bersama, yang selalu kita hadapi bersama. Mungkin inilah kenapa ungkapan bagaikan pinang dibelah dua melekat pada kita.

Dear kakakku yang tengah bahagia menanti kelahiran buah hati pertama.
Izinkan aku menuliskan kegundahan hatiku sejenak. Perihal kejauhan yang menghukumku untuk tiada berhak mengusik lagi privasimu. Aku rindu gelak tawa yang selalu engkau bagi. Aku rindu pelindungku yang selama ini selalu berada di depanku. Meproteksiku dari ancaman dan ketidaknyamanan, yang tiada lagi dapat kurasakan lagi kini, semenjak statusmu berganti, dua tahun lalu. Entah kenapa dirimu terasa asing, tidak lagi seperti kakak yang kukenal. Setiap hendak bercerita, rasanya aku tidak bisa sebebas dulu lagi. Untuk menghubungimu, aku seperti takut, yang seharusnya itu tidak perlu terjadi. Kamu kan kakakku! Selama ini tidak ada yang bisa memisahkan kita. Tapi harus kuakui itu dulu, sebelum statusmu berganti.


Besok, mama akan terbang ke sana untuk menemanimu menjalani proses persalinan. Harusnya aku bisa saja minta ikut pada mama. Tapi… aku takut. Jadi, kukirimkan doa penebus ketidakhadiranku di sisimu. Semoga keponakanku bisa lahir dengan sehat, dan tentunya bundanya juga sehat. Aku merindukanmu, kakakku, juga kebersamaan kita selama ini.


#PosCintaTribu7e
#SuratCintaUntuk Kakak
#SuratKe-2

Selasa, 07 Februari 2017

Maafkan aku, Malaikatku

Mendung,
Langit perlahan meredup.
Rindupun tumbuh besertanya.

Dear perempuan paling hebat, malaikat yang menyempurnakan hidupku selama ini
Mama, aku kangen…
Bagaimana kabarmu? Sudah lama rasanya aku tidak mendengar suaramu di ujung telepon. Sudah lama sekali, semenjak terakhir kali mama bertanya banyak hal mengenai masa kuliahku yang belum juga kuselesaikan. Maafkan anakmu ini, mama. Tidak seharusnya aku absen meneleponmu demi menghindari pertanyaan-pertanyaan yang jujur, membuatku sesak dan sakit kepala. Iya, tidak seharusnya aku begini. Apa salahnya aku jelaskan apa yang kualami dengan revisiku yang tersendat? Apa salahnya aku membagi kesulitanku padamu? Sepertinya mudah, tapi sangat sulit kulakukan. Karena, komunikasi lewat telepon berarti komunikasi dua arah, mama bisa bertanya dan aku harus menjawab, itulah alasannya. Aku tidak mau berbohong lagi padamu, ma. Tadi, aku menemui pembimbing satu tesisku, mukanya lumayan lelah, jadi aku takut mendesaknya untuk menyetujui hasil penelitianku untuk bisa diseminarkan. Harusnya bisa saja kejadian ini menjadi topik yang bisa kita bahas kan, ma? Tapi ternyata aku terlalu cemen untuk menekan tombol “panggil” ketika nomor teleponmu sudah berhasil kuketik.

Kemarin, aku juga mendatangi rumah sakit untuk membezuk suami pembimbing duaku. Bu Novi sudah dua minggu tidak ke kampus karena merawat suaminya yang sakit stroke. Meskipun sudah memberanikan diri datang ke rumah sakit, tapi rasanya takut sekali untuk membahas perihal acc untuk ujian. Maafkan aku, lagi-lagi aku harus tertunda untuk ujian.

Maafkan aku, mama… 
Aku cuma bisa menulis surat ini pada mama, karena rasanya lebih lega bercerita dengan tanpa harus menerima pertanyaan darimu. Bukan, bukan maksudku mama terlalu agresif mengejarku dengan pertanyaan-pertanyaan yang sama. Aku yang jadi masalahnya. Aku takut menjawab pertanyaanmu dengan kalimat yang akan membuatmu kecewa. Sungguh!

Mama, aku rindu…
Temanku, tadi bertemu dengan ibunya. Kebetulan ibunya berkunjung. Iri sekali rasanya melihatnya bisa memeluk ibunya dengan sangat erat melepaskan kangen. Mereka bahagia sekali. Aku jadi teringat pesan yang pernah mama sampaikan, “Berbahagialah, agar kamu bisa menikmati hidupmu.” Andai mama tau, bahagiaku cuma dengan bisa memenuhi permintaan mama untuk segera diwisuda.

Mama sehat selalu ya, di rumah.
Doakan anakmu ini untuk bisa segera melunasi janji segera wisuda tahun ini. Besok, aku akan menemui kembali pembimbingku. Semoga ada kabar gembira, sehingga aku bisa segera menghubungi mama. Aku sayang mama…



#PosCintaTribu7e
#SuratCintaUntukMama
#SuratKe-1