Selasa, 31 Oktober 2017

Hey! Kamu...

Hey! Kamu...
Sudah berapa lama hingga saat ini? Kepura-puraan yag nyaris tanpa cela, terlihat begitu sempurna dan natural.
Kurasa, kita adalah pelakon yang baik. Melakoni peran kita masing-masing seperti mereka yang sangat baik-baik saja. Tapi, aku yakin, kita tidak baik-baik saja, kan? Paling tidak, aku tahu, kalau bukan hanya aku yang merasakannya. Tentu kamu juga merasakan keanehan atas image kita ini. Benar begitu, kan?

Hey! Kamu...
Seseorang yang "mereka" anggap adalah bagian dari hidupku. Apakah kamu tahu dan peduli, sedikit saja dengan aku, seperti kelihatannya? Ya, kelihatan dari luar kita adalah wujud sempurna dari kepedulian dua kutub. Namun, kurasa, kita sangat berbeda dari kelihatannya, kan?
Apakah kamu pernah mendukungku? Kurasa tidak. Yah.. Walaupun aku pernah berpura-pura menjadi pendukungmu yang tulus, rasanya tidak sekalipun kamu memotivasi langkahku yang sering terseok. Kamu hanya diam. Di saat mereka bertanya, kamu melemparkan kesalahan padaku, bahwa aku tidak ingin dicampuri urusannya. Benar begitu, kan?
Nyatanya selama ini, aku selalu berjalan dengan kakiku, kamu melangkah dengan rodamu.


Hey! Kamu...
Sejujurnya aku pernah mencoba untuk menjadi separuhmu. Hanya saja, hmm... Tidakkah kamu merasa ada kecanggungan di antara kita? Rasa kikuk yang seringkali kurasakn bila memainkan peran sebagai perempuan terbaikmu. Oke, aku adalah seorang yang kaku, namun kakunya aku berbeda dari rasa canggung yang mengelilingi kita.

Hey! Kamu...
Aku tidak paham dengan diriku sendiri, masih rela dan bertahan dengan kepura-puraan yang tidak nyaman ini. Padahal aku tahu, seringkali aku gelisah bila berada di dekatmu. Tidak jarang aku risih pura-pura peduli padamu. Kuharap semoga kamu masih bisa memahami dirimu setidaknya, jangan seperti aku yang payah ini. Jangan!

Hey! Kamu yang semestinya sering aku banggakan, seharusnya selalu membuatku bersemangat bila bersamamu, jika saja kita dipertemukan kembali, ingin aku bertemu dalam rasa yang damai, menerimamu menjadi bagian dariku, menyayangimu setulus yang aku mampu.

Rabu, 11 Oktober 2017

Lembaran

Aku sedang menikmati pagi, menikmati setiap lembar buku yang kubolak-balik sesekali. Sesekali menyeruput teh hangat di atas meja. Hari yang berbeda, waktu yang berbeda, namun tetap dengan hati yang masih sama. Santai menunggu ucapan "selamat pagi" di layar ponselku yang akan menambah semangat pagi hariku. Tetapi kali ini tidak lagi ada.

Lembaran terakhir buku yang masih kupegang sudah selesai kubaca. Aku jadi tertegun sambil mengingat isi buku yang baru saja kuakhiri. Hidup ternyata seperti membaca buku. Kita harus menyelesaikan lembarannya, untuk bisa lanjut ke halaman selanjutnya, jika tidak? Maka tidak akan ada kemajuan. Stagnan. Namun entah rasanya hidupku tidak seperti sedang membaca buku. Tidak ada lembaran berikutnya karena aku masih belum menyelesaikan halaman sebelumnya. Aku terpaku di satu halaman. Berhenti. Tidak bergerak. Cerita yang hampir sama setiap hari, penuh kebosanan.

Kemudian, pagi beranjak petang. Repetisi membosankan yang masih harus aku jalani. Terkungkung dalam imajinasi bahwa aku mungkin masih bisa bersamamu. Kamu mungkin akan kembali menemuiku lagi. Seperti petang lalu, kamu berdiri di bawah jingganya mentari yang hendak pergi, memantulkan siluet wajahmu yang sepertinya tengah tersenyum bahagia.

Ketika mulai gelap...
Lagi-lagi aku menantimu dengan cahaya. Entah mengapa sepertinya ada keyakinan bahwa kau pasti akan datang kembali, membuat repetisi-repetisi kehidupanku, tidak lagi mebosankan. Dan aku bisa membalik lembaran kehidupanku yang baru. Tidak berhenti di halaman kosong yang hampa cerita.