Sesore ini entah mengapa kakiku kembali ingin menemui
sebuah tempat kenangan yang mulai jarang kusapa. Mungkin kalau di tidur siangku
tadi ia tak memanggil-manggilku, takkan aku datang sore ini. Akankah ia
merindukanku? Atau bahkan ia membutuhkan perawatanku? Sepeda yang setia
tersandar di bagasi kukeluarkan. Setelah memastikan ban dan rantainya aman, aku
mulai mengayuhnya menuju tempat tujuan. Tempat kenangan.
Setelah menjatuhkan standar sepeda,
aku terdiam cukup lama dengan mata mengitari setiap inci ruangan terbuka ini,
merasakan hawa sejuknya, aroma udaranya, dan suara khas alamnya. Tempat ini… Dari
sinilah ayah dulu mengajariku berenang, mengajariku bunyi gemeletar punggung
buaya lapar dan kecipak anak-anak ikan kemuring. Di sini juga ayah mendidikku
membedakan suara daun dan suara keciap ular manau, yang menyaru suara katak
untuk melahapnya. Sering aku dan ayah menyusupi celah-celah nifah, menyelam di
bawah gemerisik pelepahnya, saling menguji ketahanan dengan tidak bernafas.
Bunyi gelak, tawa, dan teriakanku
kala ayah mulai iseng berpura-pura mendorongku ke air, kini kembali terngiang
di telingaku. Bayangan ayah melompat-lompat menjangkau buah jambu di pohonnya
yang tidak terlalu tinggi itu sekilas lewat. Cerita-cerita dongeng serta
petuahnya yang selalu ayah sempatkan untuk membaginya padaku, perlahan kembali
teringat. Ada sebuah batu besar membelakangi pohon jambu, di sana dahulu ayah
sering duduk bersila kaki memangkukan tangan kirinya ke bahuku, dan kita
bercerita apa saja. Kurasa, wajahku membentuk raut senyum sekarang demi
kenangan hangat tersebut.
...Lamunanku buyar ketika telapak kakiku yang mencelup
air dikerumuni ikan nari dan batu tempat aku duduk tidak tersinari lantaran
matahari hampir tenggelam. Kulengahkan
kepalaku menuju barat demi menikmati hangatnya senja. Jingga warnanya meronakan
pipiku yang sudah mengaliri air mata. Sudah setahun semenjak penyakit kronis
itu merebut ayah dariku. Tidak pernah mata ini alfa dari air mata setiap
mengingatnya. Sosok gagah yang sangat aku banggakan itu kini pasti sudah
beristirahat dengan tenang tanpa pernah lagi merasakan sakit yang bertahun
menghimpitnya. “Ayah, aku merindukanmu. Begitu banyak beban yang ingin kubagi
padamu, kini entah siapa lagi yang dapat menggantikanmu memberikan petuah
kehidupan padaku. Yang tenang di sana yah…”
Langit semakin gelap, kuseka air mata
dengan punggung pipi yang mulai dingin. Angin mulai usil memainkan ujung rok
dan rambutku. Perlahan berjalan meninggalkan tempat penuh kenanganku bersama
ayah. Sebelum sepeda kukayuhkan menuju rumah, kepalaku sekali lagi ingin
melihat alam indah ini. Tempat terindah dengan penuh kenangan indah bersama
lelakiku. Bibirku tersenyum sebelum akhirnya sepeda kukayuhkan dan benar-benar
meninggalkan tempat itu.
bersyukurlah kita, yang masih punya ayah... semoga umur ayah kita panjang. aamiin
BalasHapusbersyukurlah kita, yang masih punya ayah... semoga umur ayah kita panjang. aamiin
BalasHapusiya.. semoga papaku dan ayahmu panjang umur. aamiin
Hapusjadi kangen ayahku, ketika baca ceritanya...
BalasHapusbtw salam kenal
semoga ayahmu di sana menerima sinyal kerinduanmu...:)
Hapushalo~ siapa pengarang dari cerpen ini ya? saya membutuhkan biografi pengarangnya untuk tugas analisis cerpen saya :) terima kasih
BalasHapusHalo~ too late for reply ya
HapusSilahkan mampir di Twitterku @u_chiya