Selasa, 30 Mei 2017

Berbicara

Dikelilingi banyak kaum hawa, sedikitnya bisa membuatku mengambil kesimpulan tentang karakter alamiahnya mereka, ditambah lagi begitu banyaknya artikel bahkan meme, berseliweran yang terkadang iseng kubaca menambah pengetahuan tentang perempuan. Mengapa butuh artikel dan pengamatan? Karena sejatinya memang perempuan itu sulit dimengerti, iya, aku pun sering tidak bisa memahami bagaimana perempuan itu sesungguhnya, apa yang ada di pikiran mereka, apa yang sebenarnya diinginkan, dan bagaimana mereka bisa merasa senang ataupun nyaman.

Dari sekian pengetahuan yang kudapat dari hasil pengamatan, ada satu hal yang menarik untuk ditulis: berbicara. Jujur aku baru sadar bahwa perempuan itu ternyata memang suka sekali berbicara. Baik yang memang terlihat dari luar adalah ia yang “aktif” ataupun yang terlihat pendiam sekalipun. Pokoknya berbicara adalah kebutuhan pokok seorang perempuan.

Mama, perempuan pertama yang menjadi objek pengamatanku. Baru disadari, ternyata mama sangat sering berbicara kepada kami di rumah (meskipun mungkin di luar mama tidak begitu suka berbicara). Sepulang dari mengajar, apa yang terjadi di sekolah, mama langsung bercerita dengan tanpa diminta dan tidak perlu tanggapan. Lain hari, ketika ada masalah di sekolah, mama langsung mengadu pada papa dan meminta solusi dari apa yang terjadi di sekolah. Ketika sedang memasak, mama dengan “cerewet” akan menceramahiku ini dan itu. Petuah hidup lah, pengalaman jadi ibu rumah tangga lah, sampai cara mengupas buah pun, mama menggunakan “mulutnya”. Kalimat sakti mama kalau tengah mengajari hal-hal kecil di dapur adalah, “Ini terlihat sepele, tapi tidak akan kamu dapatkan ilmu ini di sekolah, tidak akan pernah gurumu mengajari ini.” Dan yaa.. itu memang benar.

Kakak, saudara tertua yang memang terlihat paling menonjol soal urusan berbicara. Memang sudah terlihat dari luar kalau kakak sangat “hobi” berbicara. Tidak jauh berbeda dengan mama, sepulang sekolah, aku sudah harus mempersiapkan diri mendengarkan cerita-cerita yang sudah pasti dibawa dan disiapkan kakak sepanjang perjalanan menuju rumah. Terkadang, kakak dan keponakanku −yang juga perempuan, berebut untuk bercerita dan ingin didengar terlebih dahulu olehku. Dulu, sebelum kakak berumah tangga pun, kecerewetannya sudah terkenal seantero rumah.

Mbak Ika, yang saat ini paling sering menghabiskan waktu denganku kalau di Padang, tidak kalah terampil soal urusan berbicara. Tidak akan pernah ditemui masa-masa kami berdua di kosan, terasa hening dan canggung. Never! Mustahil. Selalu ada saja bahan untuk dibicarakan, selalu ada saja yang ingin dikatakan dan diceritakan, meskipun mungkin kami sudah hampir seharian bersama, entah kenapa bahan obrolan tidak pernah habis. Ya, mulai dari hanya sekadar bercerita tanpa butuh tanggapan, atau memang curhat yang mulai butuh solusi. Pernah suatu ketika Mbak Ika sedang asyik bercerita dan aku sedang membalas pesan dari teman, ia langsung protes “Dengerin mbak dulu, Ci.” Oke. Aku paham, perempuan bercerita, butuh fokus kita mendengarkannya.

Ternyata, memang dengan berbicara itulah, cara seorang perempuan untuk dipahami. Ia merasa, dengan apa yang telah diutarakannya, orang-orang yang berada di sekelilingnya bisa memahami dirinya dan kondisinya. Memang tidak berbicara ke semua orang, tetapi, pasti dengan orang terdekat, yang sudah membuatnya nyaman, ia akan leluasa bercerita, apa saja yang dirasakannya. Dengan begitu, tentu orang-orang sekelilingnya sedikit-banyaknya bisa memahami tentang si perempuan tersebut.

Tapi... entah berbeda dari mana, rasanya tidak begitu denganku. Ada pengecualian tersediri. Aku yang mungkin terlihat dari luar adalah orang yang suka bercerita dan cerewet, justru sangat susah untuk mulai berbicara dengan orang-orang sekitar. Entah apalah penyebabnya, rasanya sangat sulit untuk bisa mengutarakan isi hati, untuk memberitahu apa yang kuinginkan, kurasakan, meskipun itu kepada orang terdekat. Ternyata, meskipun ketika waktu kuliah dulu, di mata kuliah keterampilan berbicara aku mendapat nilai sempurna (baca:A), namun ternyata tidak semudah itu mengaplikasikannya. Aku baru merasakan perbedaan itu karena akhir-akhir ini mulai sering mendapat kalimat yang senada, “Kamu sih, tidak ngomong, jadi gimana orang bisa tahu?” baru setelah kuingat-ingat, memang benar aku sulit berbicara kalau itu sudah menyangkut diri sendiri. Beda cerita kalau itu menyangkut orang lain di sekitarku, aku mungkin jadi orang paling cerewet dan bawel. Kalimat seperti “Makan dulu, baru tidur.” “Jangan lupa sholat” “Minumnya pakai tangan kanan, jangan sambil berdiri” dan kalimat-kalimat nyinyir lainnya, sering kali aku utarakan sehingga mendapat predikat “mak tiri yang bawel” dari teman-temanku.

mungkin, kenapa aku lebih nyaman menghabiskan waktu sendiri untuk menulis adalah sebagai bentuk "pelarian" karena tidak terampilnya aku bercerita tentang diriku pada orang lain. dibaca atau tidak, paling tidak aku sudah mengeluarkan apa yang tersimpan di dalam sini.

😊



Jumat, 19 Mei 2017

Bacalah

Pernahkah kamu berada di posisi, dunia begitu kelam, dan kamu rasanya ingin segera pergi meninggalkan kegelapan yang membuatmu berjalan tersandung, berlari terjatuh, diam ketakutan? Bagian mana yang membuatmu bisa bangkit dari situasi itu dan akhirnya bisa bertahan sampai sekarang? Bagaimana caramu menata kembali hatimu, dan menghiburnya bahwa semua akan baik-baik saja ke depannya? Apa yang membuatmu bisa kuat? Dapatkah kau bocorkan rahasiamu padaku?

Bacalah ini, pertanyaan yang mungkin semrawut telah kutumpahkan pada sebaris kertas usang luapan kekacauan isi hatiku belakangan. Tidak tahu kemana lagi akan kulayangkan pertanyaan ini selain padamu. Padamu yang kutahu, pernah berhasil membawa kabur hidupmu dari lingkar kelam ketakutan akan dunia yang kelam.

Bacalah ke dalam mataku yang mulai kosong, ada setitik harapan yang tak ingin redup. Berharap semuanya akan kembali baik-baik saja seperti sedia kala. Padamu yang kutahu  pernah mati terpuruk kemudian berjalan gagah berani memerangi emosi, aku punya pertanyaan padamu, bacalah...

Minggu, 14 Mei 2017

Dari aku

Dear...

Mungkin aku adalah manusia penakut nan berani. Aku harus berani mengalah, karena begitu takutnya aku dengan kata pisah. Aku harus berani tersakiti, karena sangat takut kamu pergi. Tahukah kamu soal itu?

Sejujurnya aku tidak pernah berharap kita bisa seperti ini, dulunya. Bertemu tidak sengaja untuk kemudian bisa dekat, sebenarnya tidak pernah terpikirkan. Karena kupikir aku bukan tipemu untuk bisa bersama-sama tersenyum. Tapi toh semesta seperti telah merancang pertemuan kita, dan mendukung kita untuk saling bergenggaman tangan.

Sampai hari ini, aku masih sering bingung dengan sikapmu padaku, kadang-kadang baik, kadang-kadang sangat menyebalkan. Oke, ini memang lumrah ada pada diri setiap orang, tetapi yang aku bingungkan, apakah masih tetap sayang, kalau memang akhir-akhir ini kamu sering memarahiku bahkan sampai membentakku? Apakah fatal setiap kesalahanku yang menyulutmu? Bosankah kamu padaku?

Bukannya aku baik-baik saja dengan semuanya. Aku hanya tidak ingin kita menjadi lebih buruk lagi kalau aku memilih melawan dan membela diri. Meskipun diam dan mengalah tidak membuatmu merasa bahwa aku adalah manusia sabar yang pantas kamu pertahankan.

Aku tahu, kamu yang aku kenal memang kaku selama ini. Tidak pernah bermanis-manis padaku, tidak pernah memujiku, kamu aneh kalau mengutarakan betapa kamu berterima kasih padaku. Karena telah mengerti sifatmu begitu, aku tidak pernah paksa dan menuntut kamu untuk lebih romantis lagi padaku. Dan selama ini kita bisa baik-baik saja dengan itu.

Tapi tidak kali ini. Beberapa waktu belakangan yang terasa berat bagiku. Tidak pernah lagi ada waktu untukku sekadar bercerita, oh.. Jangankan bercerita, berbicara denganmu saja sudah sangat sulit rasanya. Tidak pernah lagi kamu mau meluangkan waktumu untuk mengajak aku jalan-jalan sebentar sekadar melepas penat sehabis bekerja. Tidak pernah lagi aku melihat binar kekhawatiran dengan penuh kasih sayang ketika kukatakan bahwa aku sedang tidak enak badan.

Aku cukup tahu, bawa setiap kita pasti mengalami perubahan. Tidak, aku bukanlah orang yang menolak perubahan. Hanya saja, bukan berarti kamu yang kukenal baik dan ramah, bisa begitu drastis menjadi kasar dan temperamental, khususnya hanya padaku. Kulihat, ketika berhadapan dengan yang selain aku, kamu tetap baik dan ramah.

Besarkah kesalahanku? Kenapa kamu terlihat begitu tidak menyukaiku? Lupakah kamu, bahwa kita bersama bukan untuk ribut dan menebar aroma kekesalan? Aku masih bertahan hingga kini, hanya karena tidak sanggupnya aku mengulangi berpisah kembali denganmu. Aku berani tersakiti, karena tidak ingin ketakutanku yang dulu terulangi: kamu tinggal pergi.


-dari aku

Selasa, 02 Mei 2017

Untuk Sipenggores Warna Ungu

Setiap orang yang datang dan mengisi hidup kita, punya warna dan aroma berbeda. Rasa yang ditimbulkan pun tak sama. Pahitnya perpisahan dan manisnya pertemuan, dengan saling berbagi emosi dengan orang-orang di sekeliling kita. Ada yang kita kenal dari awal, dan memilih menetap sampai sekarang, mungkin sahabat dari kecil, atau bakan mungkin hanya tinggal keluarga (di saat teman yang lain sudah memilih menjalani kehidupan barunya di tempat lain). Ada yang kita kenal lama namun memilih pergi, dan ada yang baru saja datang mencoba peruntungan sebagai orang dekat kita.

Kenal dan dipertemukan secara tidak sengaja denganmu, aku jadi memiliki banyak pemahaman. Mengerti bahwa yang introvert jauh lebih perhatian akan hal-hal kecil. Mengerti bahwa manusia kaku ternyata bisa bercanda. Paham kalau kekaguman bisa datang karena kebaikan-kebaikan kecil. Paham kalau yang sabar ternyata bisa mundur dan memilih pergi dengan perlahan.

Ya, kamu adalah bagian dari yang pernah hadir di hidupku, kemudian memilih mundur menjauh daripada terus-terusan harus diuji kesabaran dengan sikapku. Pergi dengan menyeret langkah kaki diam-diam, tanpa salam perpisahan. Entahlah... Mungkin kamu punya rencana dengan kepergian yang tidak pernah kusangka sebelumnya.

Sejak ditinggal olehmu dengan rasa kecanggungan, aku memilih untuk tetap seperti ini, tidak berubah. Dengan keegoisanku, kekanakanku, dan kesinisanku. Kita yang belum pernah bertemu, mungkin saja suatu saat bisa bertemu secara tidak sengaja. Jadi, kuyakin kamu akan dengan mudah mengenali siapa aku karena tidak ada yang kuubah.

Terima kasih telah pernah memberikan warna ungu di hidupku. Terima kasih selama ini menjadi inspirasi tulisan-tulisanku. Kamu jagan khawatir, tidak ada yang berubah, termasuk menjadikan dirimu abadi, di setiap tulisanku.