Dikelilingi banyak kaum hawa, sedikitnya bisa membuatku mengambil
kesimpulan tentang karakter alamiahnya mereka, ditambah lagi begitu banyaknya
artikel bahkan meme, berseliweran yang terkadang iseng kubaca menambah pengetahuan
tentang perempuan. Mengapa butuh artikel dan pengamatan? Karena sejatinya
memang perempuan itu sulit dimengerti, iya, aku pun sering tidak bisa memahami
bagaimana perempuan itu sesungguhnya, apa yang ada di pikiran mereka, apa yang
sebenarnya diinginkan, dan bagaimana mereka bisa merasa senang ataupun nyaman.
Dari sekian pengetahuan yang kudapat dari hasil pengamatan, ada satu hal
yang menarik untuk ditulis: berbicara. Jujur aku baru sadar bahwa perempuan itu
ternyata memang suka sekali berbicara. Baik yang memang terlihat dari luar
adalah ia yang “aktif” ataupun yang terlihat pendiam sekalipun. Pokoknya berbicara
adalah kebutuhan pokok seorang perempuan.
Mama, perempuan pertama yang menjadi objek pengamatanku. Baru disadari,
ternyata mama sangat sering berbicara kepada kami di rumah (meskipun mungkin di
luar mama tidak begitu suka berbicara). Sepulang dari mengajar, apa yang
terjadi di sekolah, mama langsung bercerita dengan tanpa diminta dan tidak
perlu tanggapan. Lain hari, ketika ada masalah di sekolah, mama langsung
mengadu pada papa dan meminta solusi dari apa yang terjadi di sekolah. Ketika sedang
memasak, mama dengan “cerewet” akan menceramahiku ini dan itu. Petuah hidup
lah, pengalaman jadi ibu rumah tangga lah, sampai cara mengupas buah pun, mama
menggunakan “mulutnya”. Kalimat sakti mama kalau tengah mengajari hal-hal kecil
di dapur adalah, “Ini terlihat sepele, tapi tidak akan kamu dapatkan ilmu ini
di sekolah, tidak akan pernah gurumu mengajari ini.” Dan yaa.. itu memang
benar.
Kakak, saudara tertua yang memang terlihat paling menonjol soal
urusan berbicara. Memang sudah terlihat dari luar kalau kakak sangat “hobi”
berbicara. Tidak jauh berbeda dengan mama, sepulang sekolah, aku sudah harus
mempersiapkan diri mendengarkan cerita-cerita yang sudah pasti dibawa dan
disiapkan kakak sepanjang perjalanan menuju rumah. Terkadang, kakak dan
keponakanku −yang juga perempuan, berebut untuk bercerita dan ingin didengar
terlebih dahulu olehku. Dulu, sebelum kakak berumah tangga pun, kecerewetannya
sudah terkenal seantero rumah.
Mbak Ika, yang saat ini paling sering menghabiskan waktu
denganku kalau di Padang, tidak kalah terampil soal urusan berbicara. Tidak akan
pernah ditemui masa-masa kami berdua di kosan, terasa hening dan canggung. Never! Mustahil. Selalu ada saja bahan
untuk dibicarakan, selalu ada saja yang ingin dikatakan dan diceritakan,
meskipun mungkin kami sudah hampir seharian bersama, entah kenapa bahan obrolan
tidak pernah habis. Ya, mulai dari hanya sekadar bercerita tanpa butuh
tanggapan, atau memang curhat yang mulai butuh solusi. Pernah suatu ketika Mbak
Ika sedang asyik bercerita dan aku sedang membalas pesan dari teman, ia
langsung protes “Dengerin mbak dulu, Ci.” Oke. Aku paham, perempuan bercerita,
butuh fokus kita mendengarkannya.
Ternyata, memang dengan berbicara itulah, cara seorang perempuan untuk dipahami.
Ia merasa, dengan apa yang telah diutarakannya, orang-orang yang berada di
sekelilingnya bisa memahami dirinya dan kondisinya. Memang tidak berbicara ke
semua orang, tetapi, pasti dengan orang terdekat, yang sudah membuatnya nyaman,
ia akan leluasa bercerita, apa saja yang dirasakannya. Dengan begitu, tentu
orang-orang sekelilingnya sedikit-banyaknya bisa memahami tentang si perempuan
tersebut.
Tapi... entah berbeda dari mana, rasanya tidak begitu denganku. Ada pengecualian
tersediri. Aku yang mungkin terlihat dari luar adalah orang yang suka bercerita
dan cerewet, justru sangat susah untuk mulai berbicara dengan orang-orang
sekitar. Entah apalah penyebabnya, rasanya sangat sulit untuk bisa mengutarakan
isi hati, untuk memberitahu apa yang kuinginkan, kurasakan, meskipun itu kepada
orang terdekat. Ternyata, meskipun ketika waktu kuliah dulu, di mata kuliah
keterampilan berbicara aku mendapat nilai sempurna (baca:A), namun ternyata
tidak semudah itu mengaplikasikannya. Aku baru merasakan perbedaan itu karena
akhir-akhir ini mulai sering mendapat kalimat yang senada, “Kamu sih, tidak
ngomong, jadi gimana orang bisa tahu?” baru setelah kuingat-ingat, memang benar
aku sulit berbicara kalau itu sudah menyangkut diri sendiri. Beda cerita kalau
itu menyangkut orang lain di sekitarku, aku mungkin jadi orang paling cerewet
dan bawel. Kalimat seperti “Makan dulu, baru tidur.” “Jangan lupa sholat” “Minumnya
pakai tangan kanan, jangan sambil berdiri” dan kalimat-kalimat nyinyir lainnya,
sering kali aku utarakan sehingga mendapat predikat “mak tiri yang bawel” dari
teman-temanku.
mungkin, kenapa aku lebih nyaman menghabiskan waktu sendiri untuk menulis adalah sebagai bentuk "pelarian" karena tidak terampilnya aku bercerita tentang diriku pada orang lain. dibaca atau tidak, paling tidak aku sudah mengeluarkan apa yang tersimpan di dalam sini.
😊