Selasa, 27 Desember 2016

Sepuluh Hari

Sepuluh hari yang lalu, aku mimpi bertemu denganmu di sebuah tempat yang asing. Katamu di dalam mimpi, itu adalah tempat favoritmu. Aku heran, kenapa mimpi membawaku ke sana bersamamu? Oh, aku tau, sepertinya kamu sedang rindu padaku, ya? Curang! seharusnya kalau kamu merindukanku, kamu bisa mengabariku, kamu bisa menghubungiku saja, bukannya datang di mimpiku seperti ini!

Hari ini, sepuluh hari semenjak kamu menyapaku di mimpi. Awalnya aku ingin tidak teralalu ambil pusing soal urusan mimpi, toh cuma mimpi. Namun tetap saja, beberapa saat yang lalu memori mengingatmu kembali membangunkanku di tengah kesibukanku, membujukku paling tidak untuk menuliskan bahwa aku pernah memimpikanmu, sepuluh hari yang lalu (karena pasti berat untuk memberitahumu bahwa semalam kita sudah bertemu untuk pertama kalinya, di alam mimpi). Ya, paling tidak, dengan menulis aku bisa menyimpannya untuk suatu saat akan kubaca, kalau nada suara lembutmu yang membuatku hanya menerka-nerka seperti apa rasanya berada dekat denganmu, telah kutemui di mimpiku.

Aku lupa tepatnya kapan kita mulai akrab. Sungguh keren dunia maya, mempertemukan kita dalam sebuah diskusi ringan, yang membawa kita akhirnya bisa saling berteman akrab. ah.. kapan tepatnya itu terjadi? Yang jelas, beberapa saat sebelum sepuluh hari itu, menjadi hari yang berat bagiku. Entah apa yang menjadi penyebabnya, sepertinya mulutku yang suka sembarangan ini telah menyinggung perasaanmu, hingga membuatmu mundur dari pertemanan dunia maya ini denganku. Mungkin selama ini aku masih belum menyadari betapa berbahayanya memiliki mulut yang sembarangan. Namun belakangan aku sudah mulai disadarkan, betapa aku harus lebih berhati-hati lagi mengontrol apa saja yang keluar dari mulutku, kalau aku tidak ingin ditinggalkan lagi.

Sepuluh hari yang lalu. Mimpiku memungutku di sebuah tempat yang ramai oleh suara air. Sekelilingku hanya ada pohon-pohon dan rumput liar. Sunyi. Sepertinya tidak ada siapa-siapa selain aku di sana. Lama aku terdiam sampai sebuah suara memanggil namaku. Aku menoleh heran. Orang itu siapa? Mengapa ia mengenaliku? Kemudian ia berbicara, "Ini tempat favoritku, akhirnya aku bisa ke sini ditemani perempuan favoritku." Tawanya yang lembut membuatku teringat suara yang pernah aku dengar di seberang telepon. Oh... Kamu.

Minggu, 11 Desember 2016

welcome back!

Aku percaya, kita yang telah berpisah bisa dipertemukan kembali dengan cara yang hanya Tuhan yang tahu. Dan itu, terjadi akhir pekan ini.

Di awal perkuliahan, aku dipertemukan Tuhan dengan tiga orang sahabat. Mereka adalah Ante Linda, Mbak Ika, dan Uni Elsa. Iya, aku paling kecil antara kami berempat.
Di semester 1 perkuliahan, kami berempat amat kompak, kemana-mana selalu berempat. Kami memiliki perbedaan, namun saling melengkapi. Ada yang pintar masak, beres-beres, cekatan kalau ada yang membutuhkan, jago merayu polisi bila di jalan kena razia, dan pintar dalam studi. Banyak lagi deh pokoknya.

Btw, nih foto kita pas ngumpul di kampus sama kosan Mbak Ika.
   



   

Namun, pertengahan semester 2 sesuatu terjadi. Salah satu di antara kami, Eca mengalami musibah, sehingga ia memutuskan untuk berhenti kuliah, dan setelah itu kami mengalami masa-masa diuji untuk kelangsungan hubungan kami. Termasuk Salah satu mimpi kami, untuk bisa wisuda berempat sama-sama pun akhirnya kandas.

Ketika kami hanya tinggal bertiga:



 (monmaap kualitas gambarnya jelek. Cuma punya foto yang ini, abisan kita udah mulai jarang foto bertiga sih 😞)

Entahlah, banyak saja yang terjadi. Mama Linda meninggal, IP Mbak Ika turun, Mbak Ika punya pacar baru, Linda putus, aku yang katanya “direbut” oleh Rici dari pertemanan (sebenernya aku sih, dekat sama semua teman sekelas, Cuma ya… yang nyambung n sering ngumpul ya sama mereka), dan hal-hal sepele yang sering jadi bahan kami berselisih.

Meskipun kami sering berselisih, tidak pernah terlalu berlarut-larut. Karena memang kami saling membutuhkan. Kalau tidak ada salah satu dari kami, rasanya ada yang kurang. Ditambah, tidak hadirnya Eca di antara kami, menambah deretan panjang kerinduan. Ngumpul pun jadi tidak seru lagi, karena Eca dengan suara cemprengnya yang selalu bikin heboh kosan Mbak Ika, basecamp kami, sudah tidak pernah muncul lagi semenjak pergi tanpa salam perpisahan. Ya, Eca perlahan menarik diri dari kampus, berangsur jadi susah ditemui, berangsur jadi tidak bisa dihubungi, dan putus komunikasi sama sekali. Siapa yang paling merana? Aku! Karena kalau Eca nggak ada, akulah yang dapat bagian kena bully aku memang paling sering direpotkan dengan urusan Eca. Rasanya canggung begitu Eca tidak lagi ada. Teman-teman pun jadi sering menertawakanku, “Kamu sudah kayak orang ditinggal mati suami, tahu nggak!” saking aku galaunya ditinggal Eca. Lebay.

Singkat cerita, Eca yang sudah bertahun-tahun menghilang, akhirnya keluar dari sarangnya berkat pancingan Mbak Ika. Hebat banget itu orang sumpah! Aku yang deket sama Eca aja nggak pernah dibalas pesan atau diangkat teleponnya. Mbak Ika, cuma sekali sms (sebelum ditelpon), langsung teleponnya diangkat dan mau datang. Saking ingin tahunya dengan trik yang dipakai Mbak Ika, aku lacak smsnya yang membuatku ternganga.
Emm… begini…???




 (kenapa harus pake alasan diriku sakit sih mbak 😭😭)

Oke, alhasil si Eca keluar dari sarangnya, datang dengan kerudung kuning, baju hitam, sepatu merah. Aku langsung peluk sampai kurus, ga mau tau pokoknya pengen luapin rasa kangen. Anaknya cuma ketawa-ketawa bahagia gitu. Ga ada yang berubah dari Eca (selain ia tambah manis), cemprengnya ga berubah, seenaknya belagak bos di kosan orang-nya juga ga berubah, makan gapernah abisnya ga berubah, suka nyama-nyamain aku sama dia (dia suka banget bilang kita mirip) juga ga berubah.. hahaha

Oke.. welcome back to our circle Eca. Kupikir kisah kita telah usai, namun Tuhan masih memberikan kesempatan kita kembali berkumpul, meski dengan cara yang, ah sudahlah… alhamdulillah kembali dipersatukan. we love Eca, and I love them so much! 😘😘

Bonus nih, foto kita jalan kemarin J

Minggu, 04 Desember 2016

Tiada

Aku takut,
Tuhan mengabulkan doaku dulu tentangmu...

Karena kini, kita bukanlah lagi satu genggaman
hanya bahagian dari orang asing yang berlalu-lalang,
seketika hilang dalam penglihatan.
Menjadi asing dalam semalam, pasca pertengkaran.
tiada lagi kini sapaan akrab,
karena kita sudah selesai dalam kata tamat.

aku ragu,
Doa macam apa yang 'kan ku panjatkan,
agar Tuhan membatalkan doaku yang dulu, pernah kumunajatkan padanya,
Masa depan bahagia yang kuimpikan,
tentangmu,
tentang kita...
yang kini sudah tiada.