Kamis, 05 April 2018

Rasanya Wajar,

Rasanya wajar, aku mengingatmu lagi sekarang.
Kamu yang dulunya selalu menemaniku saat aku memulai semuanya.
Kamu yang mendukung dan menyemangati aku menjalani ini semua.
Kamu yang membersamaiku berjuang dari awal.
Tempat membuang keluhku, tempat menertawakan kekeliruanku, tempat mendukung aktivitasku.
Kamu selalu ada waktu terpuruk terparah sekalipun di kehidupanku. Kamu selalu hadir di masa-masa sulit aku merangkak menyelesaikan ini semua. Menemani begadang, menemani kala bosan menunggu, menghibur kala yang aku selesaikan ternyata harus diperbaiki lagi, dan lagi.
Saat aku mulai bosan dan ingin menyerah? Kamu pun yang mengingatkan aku untuk tidak berhenti di tengah jalan.
Aku selalu ingat itu, hingga saat mengetik tulisan ini, dan mungkin sampai nanti tulisan ini masih bisa dibaca ulang berkali-kali.
Kamu masih ingat? Kurasa kamu pun tidak mudah melupakannya. Karena waktu yang kita lalui bersama itu tidaklah singkat; panjang dan penuh liku.

Rasanya wajar, aku mengingatmu lagi sekarang.
Kamu yang tiba-tiba menjadi asing.
Kamu yang kemudian menjauh, perlahan menghindar, dan pergi tanpa salam perpisahan.
Memang kamu tidak menemaniku sampai perjuangan terakhirku di sini. Kamu sudah menyerah lebih dulu sebelum aku menyelesaikannya. Namun tentu saja hasil yang kudapat sekarang ini, tidak terlepas dari peranmu di awal perjalanan dulu.
Ada yang asing rasanya ketika aku selesai, tanpa memberitahukanmu cerita melegakan ini. Aku ingin mengabarimu, tapi aku tak tahu harus bagaimana.
Ada yang kurang rasanya, dari sederet orang yang menyalamiku, tidak kutemukan kamu yang dulu mengulurkan tangannya menarikku yang terpeleset.

Orang yang menemaniku berjuang dari awal, sekarang tidak bisa merangkulku lagi, di kala aku telah berhasil menyelesaikannya. Rasanya wajar, aku mengingatmu lagi sekarang. Kamu masih temanku, kamu masih sahabatku, kamu masih orang yang berarti bagiku.

Jumat, 16 Februari 2018

Aku Maafkan Janjimu Dulu

Aku hanyalah tepian yang berdiri memandangi aliran sungai dan menikmati semilir angin. Diam, dan sendiri.
Kemudian beberapa orang datang, kamu salah satunya.
Kamu datang dengan menawarkan sebuah masa depan yang indah di saat aku sedang berusaha ingin fokus dengan pendidikanku. Mengganggu konsentrasiku? Tidak bisa di “judge” begitu, tapi tidak kupungkiri juga kalau tawaran itu sedikit mengusikku. Ya, sederhananya, perempuan mana yang tidak “terpikirkan” ketika ada seorang yang dengan serius menawarkan komitmen −Bukan hal main-main− padanya?
Pernah kamu berkata bahwa perempuan sepertikulah yang kamu inginkan menjadi ibu anak-anakmu, bagaimana itu tidak sebuah pujian untukku?
Namun aku yang sedang tidak memiliki kemampuan ini memberikan isyarat bahwa aku belum mampu dalam hal kesiapan saat itu, aku tidak memintamu menunggu, namun kalau kamu ingin memilih menungguku, itu hakmu. Dan dengan gagah saat itu kamu berkata “Aku tetap menginginkan perempuan sepertimu yang mendidik anak-anakku, jadi aku akan menunggumu siap, meskipun bukan atas permintaan dan keinginanmu.”
Yah, aku hanya mengingat itu sebagai sebuah janji, mungkin? Namun memang setelah itu kita tidak pernah lagi berkomunikasi, menjaga jarak dari fitnah yang mungkin mengelilingi kita. Sampai suatu waktu, belum lama ini, kamu kembali bertanya “bersediakah kamu melengkapi separuh agamaku, saat ini?” hingga saat itu kamu masih memegang janjimu. Namun tetap, aku masih belum bisa memberikan jawaban seperti keinginanmu, dan kamu kembali berjanji akan menungguku tahun depan (tahun ini) karena studiku akan selesai di tahun ini.
Dan, di saat aku sedang menikmati kesibukanku menyelesaikan pendidikan, kamu tiba-tiba kembali menyapaku, bertanya apakah undangan pernikahanmu sudah sampai padaku? 

***
Aku mempercayai Allah, adalah pengatur yang baik di atas hidup kita. Allah telah memisahkan kita dengan caranya, cara yang baik sekali. Aku yakini memang kita bukanlah berjodoh. Sehingga, kamu mendahuluiku, dipertemukan dengan jodohmu di waktu yang tepat. Kecewakah aku? Tidak sama sekali, karena keyakinanku akan Allah seperti pasrahku atas kehendakNya mengatur hidupku selama ini.
Untukmu, selamat menempuh status baru, menjadi imam dalam keluarga barumu, pergaulilah dengan baik bidadarimu, sayangi ia, bimbing ia dengan kelembutan, semoga kalian berada dalam bahtera yang sakinah, mawaddah, wa rahmah... berbahagialah...
Untuk janjimu kepadaku sebelum ini, telah kumaafkan dan sudah kulupakan.

Minggu, 28 Januari 2018

Kita

Kita memang bukanlah sepasang kekasih, tetapi ingatlah bahwa bukan berarti kita adalah dua lawan.
Dengan tidak sengaja, kita saling menyakiti. Saling menyerang dengan perasaan yang salah. Membabi buta dengan sikap yang tak tentu arah. Memberikan efek kecewa dalam kesedihan dan duka mendalam.

Kita memang bukan kekasih, tetapi.. Tidakkah sebaiknya kita baik-baik saja? Kenapa malah saling termotivasi untuk sama2 melukai?
Aku yakin, dengan tidak sengaja, tanpa kusadari, telah banyak rasa sakit yang tertanam di hatimu karena sikapku. Kekanak-kanakan, keegoisan, kegengsian, kejutekanku membawakanmu perasaan luka.
Kamu juga mungkin tanpa sadar, tidak sengaja telah menjadi sembilu di hatiku. Melambungkanku tinggi, membuatku berharap, membuatku menunggu, kemudian menghilang tanpa jejak langkah yang jelas. Tidak adanya kata perpisahan dan pertanda akan kembali bertandang.

Bersamaan dengan diriku yang kamu kecewakan, dan kesadaranku telah melukaimu, aku jadi membenci dengan menyakiti diriku sendiri. Seakan aku tidak punya lagi kepemilikan atas rasa bahagia untuk hidupku sendiri. Aku membuatnya lebih menderita lagi. Bagaimana denganmu?

Tidakkah kita memilih jalan yang salah?
Bukankah seharusnya kita saling menyemangati dan memberikan dukungan?
Haruskah kita mengakhiri kesalahan ini dengan saling melukai?

Jumat, 19 Januari 2018

,








   Maaf, aku bosan. Dan mulai terpikirkan untuk menyerah.