Kamis, 12 Januari 2017

Hati-hati!

Pernah terkadang tanpa sadar, kita berbicara apakah itu kepada teman, sahabat, 
kenalan, senior, junior, atau siapa pun itu, susah untuk mengontrol omongan kita.
Kita hanya berusaha apa adanya, cuap-cuap mengeluarkan isi hati, tanpa memikirkan
terlebih dahulu bagaimana kondisi si lawan bicara.

Kadang juga, mengutarakan pertanyaan yang menurut kita itu adalah wajar, karena
sebagai teman kita menunjukkan kepedulian. Tapi, kadang kita hanya terlihat sekadar
ingin tahu atau bertanya hanya karena untuk berbasa-basi.
Oke, apapun itu niat kita untuk bertanya, apakah murni hanya karena kepo, apa memang
karena kita adalah orang yang peduli dengan orang dekat kita, tetap saja kita harus 
hati-hati mengeluarkan suara.

Beberapa hari lalu, ada seseorang yang kutemui di kampus (mungkin setelah satu
semester belakangan tidak pernah bertemu), seorang junior yang kupikir sudah wisuda.
Asyik bertanya kabar, akhirnya aku mulai bertanya perihal keperluannya ke kampus. 
Sebuah kalimat singkat dan standar kuutarakan, "Ada perlu apa ke kampus?" akhirnya
membuatnya bercerita panjang lebar mengenai tugas akhirnya yang 'ternyata' belum selesai.
Bak sudah lama ingin curhat, mumpung ada yang bertanya sebagai 'pemancing', akhirnya
si junior itu mengeluarkan uneg-unegnya padaku (sampai-sampai melewatkan waktunya
sendiri untuk bimbingan).

Sekitar kurang lebih setengah jam ia bercerita, akhirnya sampailah pada kalimat terakhir 
penutupnya, yang entah kenapa terdengar cukup sinis di telingaku. "Nah, kakak sendiri,
kenapa belum wisuda juga? Padahal aku aja udah telat wisuda, berarti kakak lebih telat lagi
dong, ya?" dan ia menyelipkan tawa di akhir kalimatnya. Ya, seperti pertanyaan-pertanyaan
senada yang sering kuterima belakangan, aku langsung menjawab sama, "Ya, belum rejekinya
berpisah dari kampus. hehe" Kupikir, ia akan berhenti di situ, ternyata tidak. Aku bahkan 
harus mendengar kalimat yang lebih pedas lagi. "Lah, emang ngapain aja selama ini? Itu tesis dibawa tidur? Ga dikerja-kerjain, ya?" percayalah, meski itu hanya serentetan kalimat biasa, mungkin terkesan berseloroh, tapi aku benar-benar tersingung mendengarnya.

kupikir lagi, apakah kalimat tanyaku sebelumnya, juga membuatnya tersinggung, sampai akupun mendapat pertanyaan ini darinya. Entahlah, meski kupikir tidak ada yang salah dengan pertanyaanku, kan mungkin saja ia tersinggung dengan pertanyaanku sebelumnya.

Ingin sekali aku juga curhat padanya tentang kondisiku bagaimana, tetapi aku berpikir, tidak semua kesulitan kita harus diceritakan pada setiap orang yang bertanya, karena terkadang yang bertanya bukannya peduli, tapi hanya sekadar ingin tahu.

Aku terlahir sebagai anak perempuan terkecil di keluargaku. Ayah dan ibuku sudah tua dan sering sakit-sakitan. Terkadang ketika sudah ada jadwal bimbingan, aku harus meninggalkan kampus karena tiba-tiba ibuku atau ayahku sakit, jadi aku harus pulang (selama kuliah aku ngekos, tidak tinggal dengan orang tua yang jarak rumahnya cukup jauh ke kampus), dan itu terjadi acapkali, berulang kali, (harus kuakui, lumayan mengganggu konsentrasiku, dan lumayan menyita waktuku untuk revisi). Sesekali aku membantu kakak tertuaku yang tinggal di luar provinsi untuk menjaga anaknya (ini untuk detailnya, aku tidak bisa bercerita) aku bisa meninggalkan kampus selama sebulan kalau sudah pergi ke tempat kakakku, dan itu terjadi acapkali, berulang kali.

Hari ini, saat waktu sudah sangat genting untuk bisa mengejar target wisuda periode Maret, aku masih harus berkejar-kejaran dengan deadline. Adikku (yang pulang kampung karena libur semester) tengah sakit. Siapa lagi kalau bukan aku yang menjaganya di rumah sakit? Dan, jadwal operasinya yang harusnya kemarin dilaksanakan, harus tertunda karena berdasarkan pemeriksaan praoperasi, ditemukan ada gangguna jantung, jadi ia harus dibawa lagi ke Rumah Sakit Umum Pusat untuk pemeriksaan lebih lanjut. Ya Allah, masih terkejarkah aku untuk bisa wisuda periode ini?

Hari ini aku mendapat satu pelajaran. Apapun niat baik kita, terkadang apabila caranya tidak tepat, tetap saja itu tidaklah bisa dinilai kebaikan. filosofinya, ketika kita melihat ada nyamuk di kening teman kita, dan kita dengan niat yang tulus ingin membantunya terhindar dari gigitan nyamuk, menggunakan batu untuk memukul nyamuk tersebut, bagaimana? Pasti akan terlihat seperti kita hendak melukai teman kita. Jadi, niat yang tulus saja tidak cukup, kita juga harus memikirkan "alat dan cara" yang tepat untuk membuat niat baik itu menjadi perbuatan baik. Maka berhati-hatilah... J

2 komentar:

  1. Aku juga kadang suka heran sama orang-orang seperti itu. Akunya yang terlalu bawa perasaan, atau mereka yang malah nggak punya perasaan.
    aku termasuk orang yang humoris, atau istilah lainnya, suka bercanda. tapi ada kalanya aku juga jadi orang yang serius untuk perkataan-perkataan yang menurutku kelewat batas. rasanya ingin memaki, tapi ya gimana, soalnya imageku di mata mereka kan udah begitu.
    belum lagi temen-temen cowokku, mereka nggak pernah ngangga aku sebagai perempuan. mereka sering berkata-kata kasar sama aku.
    sedih, tapi ya mau gimana lagi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. itulah Put, kadang kita sendiri juga pernah gitu, ga liat sikon orang-orang dulu buat becanda. makanya, kudu hati-hati kalau ngomong :')

      Hapus