PART 4
Kini, setiap hariku
hanya jadi mimpi buruk yang ingin kuhapus perlahan demi hidupku. Ya, aku tidak
boleh berhenti berjalan. Seberat apapun rasanya melangkah tanpa ada kamu dalam
wujud nyata ataupun sekadar pemberi semangat, aku tidak boleh diam dan tidak
memperjuangkan hidupku. Aku harus sadar, semakin aku terpuruk dengan
pernikahanmu dan Tiara, semakin aku terlihat menyedihkan dan tiada gunanya. Aku
harus kuat!
Tiara, bagaimana
kabarnya? Pasti perutnya sudah semakin jelas sekarang. Masihkah kamu
mengacuhkannya seperti janjimu padaku? Atau kamu malah mulai belajar
menerimanya di hidupmu, seperti saran dan nasihat yang selalu menyertaimu
selama ini? Sungguh aku tak kuasa rasanya, apakah harus membiarkanmu menyayangi
istrimu, atau malah memintamu untuk tetap berpaling padaku. Aku tidak tahu,
sayang.
Sore ini aku akan
bertemu dengan klien dari luar kota, laki-laki. Biasanya, kamu akan menemaniku,
tapi kali ini aku harus siap menghadapi sendiri. Bagaimanapun, aku harus tetap
menjalani kehidupan pekerjaanku meski kini itu tanpamu. Ah, lagi-lagi rasanya
canggung sekali sekarang apa-apa harus kulakukan sendiri. Setelan berwarna
pastel sudah kukenakan untuk bersiap-siap menuju hotel tempat perjanjian dengan
klien. Dengan percaya diri, aku melangkah perlahan keluar dari kantor, meskipun
jadwal pertemuan masih satu setengah jam lagi, aku hanya ingin sedikit
bersantai dengan datang lebih awal.
Sebelum taxi yang
kupesan datang, di seberang jalan aku melihat ada seorang nenek-nenek seperti
tengah ribut dengan seseorang, itu menggerakkan hatiku untuk tahu lebih pasti
apa yang sedang terjadi. Kuseberangi jalan kemudian mencoba bertanya persoalan
yang terjadi. Ternyata si nenek hampir ditabrak oleh pengendara motor tersebut.
Kasihan sekali, nenek tua ini kenapa berjalan sendirian di sini? Akhirnya aku mengajak
nenek tersebut ikut denganku berteduh di depan lobi kantor. Setelah sekitar
sepuluh menit berbincang, akhirnya taxi yang kupesan datang. Aku berpisah
dengan membawa semangat yang ditularkan dari nassihat nenek tadi padaku. Bahwa,
apapun yang terjadi, aku harus tetap memaksimalkan kualitas diriku. Toh, hingga
saat ini, seberat apapun hidupku tanpamu, aku masih tetap baik-baik saja.
Pertemuan dengan si
klien berjalan lancar, semua baik-baik saja. Aku bersyukur meskipun selama ini
selalu tergantung dengan hadirmu menemaniku, tapi kali ini aku dapat mengambil
pelajaran lain yang kutimba bersamamu, bahwa aku bisa melakukan komunikasi yang
baik agar klien terkesan denganku dan kerja sama bisa terjalin dengan baik-baik
saja. Selesainya aku dari menemui klien, aku memilih untuk jalan-jalan sebentar
di grand mall di samping hotel tempat
pertemuan tadi. Toh tidak ada salahnya berjalan-jalan sebentar barang sekadar
untuk mencuci mata. Namun, apa yang kulihat, bukanya malah membuat suasana
hatiku segar, hatiku malah teriris karenanya.
Tangan tegasmu, tengah
menggenggam tangan mungil seorang perempuan berperut besar. Tatapanmu lembut
mengikuti matanya yang senang melihat-lihat beberapa perlengkapan bayi yang
lucu-lucu. Perasaan tidak rela merasukiku. Harusnya aku yang berada di posisi
perempuan yang kau genggam dengan tatapan kelembutan itu! Aku ingin, lantai
tempatku berpijak segera roboh dan menelanku ke dalamnya agar aku bisa sembunyi
saat ini juga dari pemandangan yang membuat mataku panas itu. Namun tak mungkin
dan sudah terlambat, seiring mata Tiara mengekori keberadaanku, saat itu juga
entah kenapa kakiku berjalan menujumu. Oh
tidak! Mengapa langkah kaki ini malah mendekat? Mengapa tak ia pilih untuk
menjauh saja?
*bersambung⏩
Aku sukaaakk jalan ceritanya. Bagus bagusss merasuk ke jiwa hihihi :D
BalasHapusMakasih mba nana..
BalasHapus