Kamis, 31 Januari 2019

Mitos cangkir yang sama

Seperti itulah, kita menggulung lembaran kenangan, lalu menguburnya dalam-dalam. Namun pada suatu pagi, selepas mimpi, kita gali-gali sendiri kuburan itu sambil meratapi sepiring sepi dan secangkir kopi.
Dalam tepian cangkirnya, jejak bibir kita bertautan.

Barangkali begini skenarionya: engkau menjejakkan langkahmu pada kebun penuh ilalang dengan sebuah jemari halus dalam genggaman tanganmu. Sementara aku memotret senja dan menangkap setiap gerakan kalian: kamu dan jemari halus yang silih berganti itu melalui mata pena. Diam-diam mata pena itu juga pernah memotret senyum dan matamu yang penuh cinta di siang yang basah. Ketika air hujan kalah lembab oleh air mata di pelataran rumahku.

Atau skenario lain adalah: engkau diam-diam berusaha tak peduli dan pura-pura sibuk menggulung lengan baju dan berlari menuju ke sebuah tempat yang entah. Demi menghindari apapun yang bisa menenggelamkan perasaanmu.

Ah, mungkin aku sedang bermimpi ketika kedua tanganmu menggenggam erat harapan yang kita bagi, bersama dengan adonan air mata dan tawa. Barangkali aku hanya perlu bangun dan melupakan secangkir kopi dan jejak bibir yang bertautan itu. Barangkali, kemelekatan yang diramalkan akibat menikmati kopi dari cangkir yang sama itu hanya sebuah mitos. Sebuah delusi.

Delusi. Seperti cinta.
Selalu diam-diam pergi (atau berbagi).

0 komentar:

Posting Komentar