Selasa, 19 Februari 2019

Bingkai Buram Senja

Dingin. Tetes-tetes sisa hujan yang menghuni serat dedaunan pohon raksasa itu menjentik kepalanya yang sudah basah kuyup. Ujung-ujung rambutnya yang ikut meneteskan air menambah dingin tubuhnya. Badannya menggigil, berkali-kali suara bersin terdengar, sesering ia menghembuskan ingusnya. Badan yang ia dudukkan di atas batang pohon tumbang itu dipeluk erat oleh kedua tangan mungilnya, sekedar berusaha menahan rasa dinginnya. Bibirnya pucat, geliginya bergemeletuk, karena bersinggungan satu sama lain. Matanya yang berair liar menatapi setiap orang yang lewat dengan berlari kecil menutupi kepala dengan tangan. Ia terlihat tengah menunggu seseorang, yang mungkin akan menjemputnya.
Sahut menyahut nyanyian petir menggelegar membelah angkasa. Langit seakan rapuh dan menyerah untuk bertahan. Namun tampaknya itu gemaan terakhirnya. Petang yang harusnya hangat itu tidak lagi romantis oleh lukisan alam senja. Tidak tampak jingganya langit yang biasanya menghias kepergian senja menjemput gelapnya malam. Hanya terbingkai kelam dan berkabut.
Setapak kemudian, lelakinya datang dengan tergesa. Tubuhnya lembab –tidak sampai basah– rambutnya yang panjang terurai berlari kecil seirama langkah kakinya yang jenjang. Kharismanya masih seperti pangeran dengan kedua tangannya membawa handuk dan sebuah botol, sepertinya itu kopi hangat.
“Kamu nggak papa?” tangannya yang memegang handuk sudah melingkari handuk ke tubuh perempuannya, tangan satu lagi menyodorkan kopi hangat itu. Dan tangan yang terbebas mulai memegang dahi perempuannya dengan lembut, penuh cinta, untuk memastikan tidak ada tanda-tanda perempuannya akan demam.
“Kamu kenapa cemas banget sih, aku nggak apa-apa kok. Ini baru basah karena hujan. Never mind.” Jawabnya dengan suara serak bergemetar sambil meminum kopi hangatnya.
“Jelas saja aku cemas, setiap kali turun hujan pasti dingin akan selalu melanda, dan setiap itu pula tubuhmu akan menggigil kedinginan dan flumu pun akan kambuh.” Dirabanya kantong celana untuk menemukan beberapa bungkus tisu yang juga telah ia siapkan.
“Biar aku saja.” Diambilnya cepat tisu dari tangan lelakinya itu. Ia memang tidak ingin terlalu dimanja. Lelakinya datang untuk membawakan ini semua saja sudah membuatnya merasa tidak enak, karena diperlakukan seperti ratu. Ia tidak ingin orang-orang berpikiran macam-macam. Ia tidak ingin orang-orang berpikiran kalau lelakinya adalah budaknya.
“Kamu jangan keluar hujan-hujan lagi, ya.” Tangannya kini mulai beralih memegang handuk dan mengusap-usap lembut kepala perempuannya. Mengeringkan rambutnya yang basah. Tangan perempuan itu meraih tangan lelakinya. Seketika pekerjaan tangan laki-laki itu terhenti.
“Aku nggak mungkin juga bakal keluar kalau hujan. Tapi hujan kali ini kan mendadak banget datangnya. Aku aja hampir nggak bisa nyariin tempat berteduh tadi. Kamu bisa liat, di sekitar sini tempat yang paling bisa buat berteduh ya cuman di bawah pohon yang gede ini doang.” Lelaki itu kembali menyuguhi perempuannya dengan senyuman.
“Iya, tapi andai aja tadi kamu mau aku jemput lebih awal, kan nggak bakal gini juga kejadiannya sayang.” Perempuan kemudian mengangkat wajahnya, mencoba melakukan pembelaan.
“Ya, udah terlanjur, mau digimanain lagi coba? Kan kita sama-sama nggak tau kalau sore ini bakal turun hujan, orang tadi siang panasnya terik banget.” lelaki itu hanya mengangguk maklum sambil kembali tersenyum. Dilanjutkannya mengusap-usap rambut ikal perempuannya yang melurus karena air hujan.
“Kamu nggak papa kan?” suara yang mulai serak itu tampak ikut mengkhawatirkan sosok di hadapannya itu.
“Jelas aku nggak papa.” Senyum keduanya beradu melalui pandangan mata penuh cinta.
“Tapi kamu kan juga basah.” Tangannya spontan memegang ujung lengan baju lelaki tersebut.
“Basahnya aku nggak kuyup. Nggak separah kamu. Lagian aku kan nggak papa kalau kena hujan. Nggak bakal bersin-bersin kayak gini nih”. Lelakinya tertawa renyah begitu perempuannya kembali bersin-bersin, tiada henti.
“Makasih, sayang. Untuk semuanya. Aku sayang kamu.” Perempuan itu akhirnya mengalah dari perdebatan, bersin berkali-kali seperti menguras tenaganya. Lelaki itu tersenyum sangat puas. Mungkin kalimat itulah yang ingin didengarnya sedari tadi. Refleks, dipeluknya perempuannya erat. Kepala yang rambutnya basah itu diciuminya berkali-kali.
“Aku juga sayang banget sama kamu. Ini semua aku lakuin buat ngasih apapun yang bisa aku kasih.” Ia terdiam sejenak mengatur napasnya yang mulai diburu emosi, kemudian melanjutkan. “Mungkin aku emang nggak bakalan selalu bisa bikin kamu ketawa, tapi selagi aku bisa, aku akan usahain akan selalu ada buat kamu. Aku nggak mau kehilangan kamu, sayang.” Pelukan itu kembali erat. Segala rasa cinta membaur di dalamnya. Jelas tampak dari kedua mata berseri itu, mereka sungguh bahagia. Seakan dunia mereka berdua yang menghuninya.

Sedangkan, tidak jauh dari sana…
Kuambil tisuku yang terakhir. Aku baru sadar, tisuku sudah habis untuk mengelap ingusku. Kutatap lagi lelakiku yang dulu itu. Sungguh ia tak pernah tampak sekhawatir itu padaku dulu. Padahal badanku juga akan gemetar, dan flu ku juga akan kambuh setiap kali hujan menghujam.
Tidak ada yang kutunggu di sini. Tidak ada juga yang akan datang menjemputku dan membawakan segelintir perhatian padaku.
Kubuang tisu terakhirku, kemudian perlahan mencoba bangkit dari tempat dudukku yang dingin. Sebelum benar-benar beranjak, kuarahkan pandanganku ke sana, kupastikan sekali lagi. Lelakiku dulu sangat bahagia dengan perempuannya yang sekarang. Jadi aku harus bisa yakinkan diriku untuk tidak lagi berharap padanya, untuk tidak lagi diam-diam masih menyimpan harapan dan cinta padanya.

0 komentar:

Posting Komentar