Kita bertemu, sudah semenjak lama merentang kisah. Meski kita tidak pernah benar-benar bertemu; kamu di sana dan aku di sini. Bagaimana rupamu pun aku masih abu-abu, samar.
Ajaib bukan? Wanita
lugu ini sebegitu percayanya bahwa sinar yang kau nyalakan di kala temaram
senja itu adalah sebuah pengorbanan atas nama cinta.
Padahal, sebenarnya
tentu aku bisa menghidupkan sendiri lentera itu. Atau dalam artian lain,
lentera hanya sekadar penerang, semestinya tidak perlulah aku berlebihan mengartikan
pengorbanan cintamu kau jadikan penerangku. Bukan begitu.
Atau, mungkinkah
keraguanku selama ini benar? Bahwa aku hanya terlalu berharap kau menghadiahiku
cahaya cinta dalam setiap ketikan kalimatmu padaku.
Sejujurnya aku
pernah mencoba. Memaknai dengan logika. Tetapi mungkinkah asaku akanmu teramat
besar, sehingga mataku terbutakan dengan kenyataan.
Kenyataan bahwa aku
bukanlah bintang malammu, seperti yang selalu kau tuliskan dalam beberapa
baitmu.
Yang selalu kau prioritaskan untuk menghabiskan sisa umurmu, nyatanya bukan aku.
0 komentar:
Posting Komentar