Senin, 01 Agustus 2016

Hei Agus! Terima Kasih untuk Cahaya Terang di Langit Mendungmu

 Entah kenapa, aku suka hari senin, apalagi hari senin yang tepat di bulan baru. Seperti kehidupan baru yang memberikan kesempatan kita memperbaiki kesalahan di masa silam dan memulai hidup dengan produktifitas yang maksimal.
Seperti hari ini. Sesubuhnya hari aku sudah bangun dan beraktivitas. Dengan harapan hari ini akan baik dan penuh keberkahan jika kumulai dengan bangun pagi. sejak aku bangun, langit lumayan sendu, namun masih bersahabat. Perjalanan hidup berjalan lancar, sampai sekitar pukul sembilan pagi, aku bertemu dengan juniorku di jalan menuju kampus (kenapa aku baru pukul sembilan ke kampus, karena aku tidak tidur di kosan semalam, tetapi tidur di rumah orang tuaku yang jaraknya sekitar 2 jam lebih). Kita bercerita banyak, sambil melepas rindu pasca sudah lama tidak bertemu. Ada titik terang yang aku dapatkan dari pertemuan dan obrolan pinggir jalan itu. Apa? Bahwa hidup memang harus dijalani dengan bersyukur. Terutama aku. Ya, kuakui kisah perjalanan tesisku memang tersendat, tetapi kendalanya hanya ada pada diriku sendiri. Kesibukan kerja dan organisasi yang kujalani menjadi penghalangnya (ditambah sedikit rasa malas, hehe), ditambah aku yang penakut untuk sekadar menghadap dosen pembimbing. Tetapi juniorku yang sudah selesai seminar hasil itu, ia harus mengulang kembali dari awal: ganti pembimbing, ganti judul, ulang menulis proposal dari awal, dan ulang lagi untuk seminar. Dijelaskan bahwa ia memiliki masalah dengan pembimbing duanya –yang sama dengan pembimbing duaku. Ya Allah…
Dengan tanpa maksud menertawakan kemalangannya, aku mengucap syukur berkali-kali pada Allah, setelahnya mengucap istighfar (merasa bersalah dengan banyaknya keluhanku selama ini). Begitu berat masalah yang orang lain hadapi dibanding masalahku.
Sama-sama tersendat di tesis, tetapi pokok permasalahannya berbeda. Setidaknya, aku yang hanya punya masalah dengan diriku sendiri, ya hanya aku dan dirikulah yang harus berdamai. Sementara dia? Dirinya dengan egonya sendiri, pembimbingnya dengan ego pembimbingnya, dirinya dengan ego pembimbingnya. Pasti rumit, sehingga harus mengganti pembimbing dan ulang lagi dari awal.
Sekali lagi, aku bersyukur bukan untuk mentertawakan dia, tetapi mensyukuri nasibku yang ternyata jauh lebih beruntung dari padanya.
Kulanjutkan perjalanan ke kampus, di perjalanan bertemu lagi dengan teman sekelasku dengan pakaian sangat rapi, tetapi tampang orang kebingungan. Kira-kira percakapan kami begini.
“Alhamdulillah.. untung kita bertemu di sini.”
“Kenapa bang?”
“Lusi bantulah abang jadi moderator seminar hasil, ya. Karena tidak ada satu pun teman-teman di tempat.”
Aku yang tahu betul dosen pembimbing satunya sama dengan dosen pembimbing satuku langsung ciut. Terbayang bagaimana nanti bertemu beliau, akankah beliau menginterogasiku kenapa belum juga menghadap untuk bimbingan? Duh…
“Duh bang, tapi kan ada Pak At, Ci takut, ah. Yang lain saja.”
“Nggak ada yang lain, makanya abang pusing nyari. Udah, Lusi sajalah… tolong bantu abang.”
Rasa iba mulai datang, tetapi tetap takut berhadapan dengan profesor pembimbing. Tapi kasihan, tapi takut. Akhirnya seluruh nomor teman-teman yang aku punya, kuhubungi satu per satu, dan NIHIL. Tidak ada yang bisa. Pasrah deh.
Singkat cerita, di saat si Bang Stefen menjemput dokumen seminar ke kantor TU, masuklah Pak At ke ruangan yang ketika itu hanya ada aku di dalamnya. Allah…
“Nah, kemana saja?” kalimat pertama yang lumayan membuatku berpikir keras untuk menjawabnya.
“Kapan lagi mau seminar? Jangan lama-lama, rugi kalau harus bayar uang kuliah hanya untuk menyelesaikan tesis.”
“Iya pak.” Sial! Jawaban yang singkat banget
“Apa lagi yang tinggal? Bersegeralah.”
“Iya, Pak, dikit lagi.”
“Kapan mau bimbingan? Mumpung perkuliahan belum dimulai dan saya masih belum terlalu sibuk.”
“Secepatnya, Pak.”
“Terkejar wisuda September?”
“Wallahu ‘alam, sepertinya tidak, Pak.”
Dan… mulailah aku diceramahi ini dan itu, panjang lebar, sampai keluar keringat dingin, sampai menggigil, dan sampai ada orang yang datang.
Aku takut dengan beliau bukan karena beliau terlalu galak, tidak! Bukan juga karena beliau jahat, tidak! tapi yaaaa…

Oke. Intinya. Terima kasih kepada cahaya terang yang disuguhkan bulan Agustus ini. Dengan pertemuan dengan junior dan wejangan dari dosen pembimbing, akhirnya aku kembali bersemangat menyelesaikan tesisku yang setahun terbengkalai (gila! Lama banget). Buka mata, lihatlah sekitar.. ada banyak pelajaranyang bisa kau cerna. Komitmenlah dengan apa yang sudah menjadi pilihan hidupmu dari awal. Bersyukurlah, karena dengannya hatimu jadi tenang untuk menjalani aktivitasmu. J

0 komentar:

Posting Komentar