Jumat, 15 Desember 2017

Hari Ibu

Siapa sih yang nyiptain tanggal 22 sebagai hari ibu? Andai tidak pernah ada tanggal yang dikhususkan untuk merayakan hari ibu. Tentu air mata ini tidak keluar lagi –seperti tahun-tahun lalu–.
*
Aku merunduk mencari sendalku di tumpukan rak sepatu. Pagi itu aku ingin keluar membeli gula. Persediaan gulaku sudah habis. Sedangkan hasrat untuk ngopi tidak terbendung lagi. Di warung aku bertemu anak-anak tetangga yang tengah asyik bercakap-cakap.
“Jadi nanti malam kamu bakal ngajak mama kamu makan di restoran sama papa kamu?”
“Iya dong. Kalau kamu? Bakal ngerayain hari ibu ke mana?”
“Aku sih cuma di rumah sambil potong kue dan berfoto bersama, tidak lupa berdoa untuk ibu. Trus, kamu kasih kado apa buat mamamu?”
“Aku sama papa beliin mama baju. Hehe… kalau ibumu?”
“Foto kami sekeluarga bersama ibu, kubingkai dalam bingkai yang besar sekali. Nah… itulah kado spesialku untuk ibu.” Keduanya tertawa bersama. Kemudian mereka mulai sadar kehadiran mataku yang tak lepas menatap mereka. Seketika mereka terdiam. Seperti salah tingkah, dan tak lama memutuskan untuk pergi. Aku hanya menghela nafas.
Tidak hanya di warung, di seluruh akun jejaring sosial, setiap aku membuka halaman home, selalu terbaca “Selamat hari ibu. Hari perempuan hebat yang cintanya tak pernah palsu.” Begitulah kira-kira kalimatnya. Entah kenapa, rasanya aku (lagi-lagi) merasa tersindir dan tersisih sendiri.
*
“Dinda, ada orang tua kaya ingin bertemu kamu. Mungkin kali ini giliranmu.” Aku bangkit dengan ogah-ogahan memenuhi panggilan Kak Fatimah, kakak yang menjadi kakak anak-anak di panti ini. Meski giliran yang ia maksud adalah impian sebagian besar anak di panti ini, tapi aku merupakan salah satu anak yang enggan untuk diadopsi.
Ketika aku sampai di ruang tamu, kedua suami-istri muda itu menatapku sambil tersenyum, membalas wajah cemberutku.
“Dinda berapa umurnya?”
“13” jawabku jutek. Perempuan yang lebih pantas kupanggil kakak itu bertanya lagi.
“Dinda sekolah di mana?” sebelum menjawab, kualihkan pandangan ke arah Bu Siti, meminta penjelasan kenapa aku yang dipanggil ke ruang tamu ini, namun Bu Siti hanya diam menatapku.
“SMP Pamungkas”
“Juara ya, di sekolah?” aku hanya mengangguk dan menunduk. Khawatir kalau memang suami-istri muda ini menginginkan aku sebagai anak angkatnya.
“Dinda, tau, ini hari apa?”
“Minggu.” Jawabku. Keduanya tertawa.
“Iya, tapi ada peristiwa apa yang diperingati di hari ini?” sudah pasti maksudnya adalah hari ibu. Tapi aku enggan menjawab.
“Gini sayang, bunda sama ayah mau ngajak Dinda jalan-jalan buat memperingati hari ibu. Bu Siti udah ngizinin. Dinda mau ya?” aku menatap mata perempuan yang menamai dirinya bunda itu. Terlihat tulus. Atau memang disetting begitu oleh riasan tebalnya? Entah… kemudian kulihat Bu Siti mengangguk. Aku kembali tertunduk. Kemudian memutuskan…
*
Ibu? Mama? Atau siapapun panggilan untuk perempuan yang melahirkan anak itu. Sama sekali aku tidak pernah tau sosoknya. Kelam. Tak ada gambaran. Tapi yang jelas, yang kutahu hanyalah…
Perempuan itu telah membuangku. Perempuan itu tidak menginginkan aku menemani hari-harinya. Perempuan itu… tidak mengakui aku.
Jadi, bagaimana bisa aku mengucapkan selamat hari ibu untuk perempuan yang entah di mana itu?
Iya. Aku cemburu dan sangat iri pada setiap kali ada pemandangan ibu menggandeng tangan anaknya atau ibu mencium kening anaknya, tapi hatiku selalu berpaling dari setiap kalimat setiap teman sekolahku.
“Ibu itu orang yang selalu ada untukmu bahkan ketika seluruh dunia berpaling darimu.” Kurasa mereka memang sangat mengagungkan sosok ibu mereka. Tapi mereka lupa. Pada setiap helaan kalimat pujiaan pada ibu mereka, ada hatiku yang teriris. Aku cemburu. Aku iri. Aku juga ingin merasakan hangatnya kasih ibu seperti mereka. Tetapi, di mana ibu kandungku saat ini saja aku tidak tahu. Mendapatkan pelukannya saja aku belum pernah, bagaimana kau bisa merindukan rasa pelukan yang tidak pernah ada?
Kuhapus tetesan terakhir air mataku. Kemudian meneruskan melipat baju bagus yang baru saja kukenakan untuk jalan-jalan dengan ayah dan bunda tadi.