Selasa, 19 Juli 2016

Senja Bersama Ayah

Sesore ini entah mengapa kakiku kembali ingin menemui sebuah tempat kenangan yang mulai jarang kusapa. Mungkin kalau di tidur siangku tadi ia tak memanggil-manggilku, takkan aku datang sore ini. Akankah ia merindukanku? Atau bahkan ia membutuhkan perawatanku? Sepeda yang setia tersandar di bagasi kukeluarkan. Setelah memastikan ban dan rantainya aman, aku mulai mengayuhnya menuju tempat tujuan. Tempat kenangan.
Setelah menjatuhkan standar sepeda, aku terdiam cukup lama dengan mata mengitari setiap inci ruangan terbuka ini, merasakan hawa sejuknya, aroma udaranya, dan suara khas alamnya. Tempat ini… Dari sinilah ayah dulu mengajariku berenang, mengajariku bunyi gemeletar punggung buaya lapar dan kecipak anak-anak ikan kemuring. Di sini juga ayah mendidikku membedakan suara daun dan suara keciap ular manau, yang menyaru suara katak untuk melahapnya. Sering aku dan ayah menyusupi celah-celah nifah, menyelam di bawah gemerisik pelepahnya, saling menguji ketahanan dengan tidak bernafas.
Bunyi gelak, tawa, dan teriakanku kala ayah mulai iseng berpura-pura mendorongku ke air, kini kembali terngiang di telingaku. Bayangan ayah melompat-lompat menjangkau buah jambu di pohonnya yang tidak terlalu tinggi itu sekilas lewat. Cerita-cerita dongeng serta petuahnya yang selalu ayah sempatkan untuk membaginya padaku, perlahan kembali teringat. Ada sebuah batu besar membelakangi pohon jambu, di sana dahulu ayah sering duduk bersila kaki memangkukan tangan kirinya ke bahuku, dan kita bercerita apa saja. Kurasa, wajahku membentuk raut senyum sekarang demi kenangan hangat tersebut.
...Lamunanku buyar ketika telapak kakiku yang mencelup air dikerumuni ikan nari dan batu tempat aku duduk tidak tersinari lantaran matahari hampir tenggelam. Kulengahkan kepalaku menuju barat demi menikmati hangatnya senja. Jingga warnanya meronakan pipiku yang sudah mengaliri air mata. Sudah setahun semenjak penyakit kronis itu merebut ayah dariku. Tidak pernah mata ini alfa dari air mata setiap mengingatnya. Sosok gagah yang sangat aku banggakan itu kini pasti sudah beristirahat dengan tenang tanpa pernah lagi merasakan sakit yang bertahun menghimpitnya. “Ayah, aku merindukanmu. Begitu banyak beban yang ingin kubagi padamu, kini entah siapa lagi yang dapat menggantikanmu memberikan petuah kehidupan padaku. Yang tenang di sana yah…”

Langit semakin gelap, kuseka air mata dengan punggung pipi yang mulai dingin. Angin mulai usil memainkan ujung rok dan rambutku. Perlahan berjalan meninggalkan tempat penuh kenanganku bersama ayah. Sebelum sepeda kukayuhkan menuju rumah, kepalaku sekali lagi ingin melihat alam indah ini. Tempat terindah dengan penuh kenangan indah bersama lelakiku. Bibirku tersenyum sebelum akhirnya sepeda kukayuhkan dan benar-benar meninggalkan tempat itu.

7 komentar:

  1. bersyukurlah kita, yang masih punya ayah... semoga umur ayah kita panjang. aamiin

    BalasHapus
  2. bersyukurlah kita, yang masih punya ayah... semoga umur ayah kita panjang. aamiin

    BalasHapus
  3. jadi kangen ayahku, ketika baca ceritanya...
    btw salam kenal

    BalasHapus
  4. halo~ siapa pengarang dari cerpen ini ya? saya membutuhkan biografi pengarangnya untuk tugas analisis cerpen saya :) terima kasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo~ too late for reply ya
      Silahkan mampir di Twitterku @u_chiya

      Hapus