Jumat, 15 Desember 2017

Hari Ibu

Siapa sih yang nyiptain tanggal 22 sebagai hari ibu? Andai tidak pernah ada tanggal yang dikhususkan untuk merayakan hari ibu. Tentu air mata ini tidak keluar lagi –seperti tahun-tahun lalu–.
*
Aku merunduk mencari sendalku di tumpukan rak sepatu. Pagi itu aku ingin keluar membeli gula. Persediaan gulaku sudah habis. Sedangkan hasrat untuk ngopi tidak terbendung lagi. Di warung aku bertemu anak-anak tetangga yang tengah asyik bercakap-cakap.
“Jadi nanti malam kamu bakal ngajak mama kamu makan di restoran sama papa kamu?”
“Iya dong. Kalau kamu? Bakal ngerayain hari ibu ke mana?”
“Aku sih cuma di rumah sambil potong kue dan berfoto bersama, tidak lupa berdoa untuk ibu. Trus, kamu kasih kado apa buat mamamu?”
“Aku sama papa beliin mama baju. Hehe… kalau ibumu?”
“Foto kami sekeluarga bersama ibu, kubingkai dalam bingkai yang besar sekali. Nah… itulah kado spesialku untuk ibu.” Keduanya tertawa bersama. Kemudian mereka mulai sadar kehadiran mataku yang tak lepas menatap mereka. Seketika mereka terdiam. Seperti salah tingkah, dan tak lama memutuskan untuk pergi. Aku hanya menghela nafas.
Tidak hanya di warung, di seluruh akun jejaring sosial, setiap aku membuka halaman home, selalu terbaca “Selamat hari ibu. Hari perempuan hebat yang cintanya tak pernah palsu.” Begitulah kira-kira kalimatnya. Entah kenapa, rasanya aku (lagi-lagi) merasa tersindir dan tersisih sendiri.
*
“Dinda, ada orang tua kaya ingin bertemu kamu. Mungkin kali ini giliranmu.” Aku bangkit dengan ogah-ogahan memenuhi panggilan Kak Fatimah, kakak yang menjadi kakak anak-anak di panti ini. Meski giliran yang ia maksud adalah impian sebagian besar anak di panti ini, tapi aku merupakan salah satu anak yang enggan untuk diadopsi.
Ketika aku sampai di ruang tamu, kedua suami-istri muda itu menatapku sambil tersenyum, membalas wajah cemberutku.
“Dinda berapa umurnya?”
“13” jawabku jutek. Perempuan yang lebih pantas kupanggil kakak itu bertanya lagi.
“Dinda sekolah di mana?” sebelum menjawab, kualihkan pandangan ke arah Bu Siti, meminta penjelasan kenapa aku yang dipanggil ke ruang tamu ini, namun Bu Siti hanya diam menatapku.
“SMP Pamungkas”
“Juara ya, di sekolah?” aku hanya mengangguk dan menunduk. Khawatir kalau memang suami-istri muda ini menginginkan aku sebagai anak angkatnya.
“Dinda, tau, ini hari apa?”
“Minggu.” Jawabku. Keduanya tertawa.
“Iya, tapi ada peristiwa apa yang diperingati di hari ini?” sudah pasti maksudnya adalah hari ibu. Tapi aku enggan menjawab.
“Gini sayang, bunda sama ayah mau ngajak Dinda jalan-jalan buat memperingati hari ibu. Bu Siti udah ngizinin. Dinda mau ya?” aku menatap mata perempuan yang menamai dirinya bunda itu. Terlihat tulus. Atau memang disetting begitu oleh riasan tebalnya? Entah… kemudian kulihat Bu Siti mengangguk. Aku kembali tertunduk. Kemudian memutuskan…
*
Ibu? Mama? Atau siapapun panggilan untuk perempuan yang melahirkan anak itu. Sama sekali aku tidak pernah tau sosoknya. Kelam. Tak ada gambaran. Tapi yang jelas, yang kutahu hanyalah…
Perempuan itu telah membuangku. Perempuan itu tidak menginginkan aku menemani hari-harinya. Perempuan itu… tidak mengakui aku.
Jadi, bagaimana bisa aku mengucapkan selamat hari ibu untuk perempuan yang entah di mana itu?
Iya. Aku cemburu dan sangat iri pada setiap kali ada pemandangan ibu menggandeng tangan anaknya atau ibu mencium kening anaknya, tapi hatiku selalu berpaling dari setiap kalimat setiap teman sekolahku.
“Ibu itu orang yang selalu ada untukmu bahkan ketika seluruh dunia berpaling darimu.” Kurasa mereka memang sangat mengagungkan sosok ibu mereka. Tapi mereka lupa. Pada setiap helaan kalimat pujiaan pada ibu mereka, ada hatiku yang teriris. Aku cemburu. Aku iri. Aku juga ingin merasakan hangatnya kasih ibu seperti mereka. Tetapi, di mana ibu kandungku saat ini saja aku tidak tahu. Mendapatkan pelukannya saja aku belum pernah, bagaimana kau bisa merindukan rasa pelukan yang tidak pernah ada?
Kuhapus tetesan terakhir air mataku. Kemudian meneruskan melipat baju bagus yang baru saja kukenakan untuk jalan-jalan dengan ayah dan bunda tadi.

Kamis, 09 November 2017

Jadilah si "Tidak Peduli" daripada Pembenci

Seberapa banyak kita memiliki orang lain di hati kita, masuk dalam kategori orang-orang yang tidak kita sukai? Kurang dari 5? Lebih dari 5? 10? 20? Tahu persiskah kita apa alasan kita menempatkan mereka pada golongan orang yang kita tidak sukai? Logiskah alasan itu?

Kehidupan seperti apapun, tentu ada saja konflik dan masalah yang terjadi, meskipun dengan bersusah payah kita hindari untuk bermasalah dengan orang lain. Namun, pilihan kita untuk menempatkan perasaan kita pada orang tersebut. Apakah kita harus membencinya atau tidak? Kadar kebenciannya tinggi atau tidak? 

Ada saja, seseorang yang baru mendengar nama orang yang dibenci saja sudah langsung badmood. Ada juga, walaupun bertemu dengan orang yang tidak disukai, ia masih bisa bersikap normal dan biasa saja, memperlihatkan seolah hatinya berdamai dengan orang tersebut.

Jadilah si tidak peduli daripada pembenci. Sengaja tulisan ini ditulis hari ini. Barusan, ada kejadian di samping saya, seseorang yang di hatinya menyimpan kebencian yang dalam terhadap seseorang, mencak-mencak begitu mengetahui yang dibenci tengah berbahagia, padahal tidak membuatnya terlukai sedikitpun. Namun, hati yang membenci, tetap mencari celah untuk tidak menyukai. Hampir setiap hari peduli, mencari tahu, tentang orang yang tidak disukai. Dapat apa? Hati yang semakin keras dengan kebenciannya. Lelah dengan kebencian yang menguras kalori, tidak kenyang.

Untuk apa kita terlalu peduli? Bukankah lebih baik kita tak acuh dengan orang yang tidak kita sukai, ketimbang menyediakan waktu kita untuk memperhatikan hidupnya? Jadilah tidak peduli daripada pembenci, karena lebih aman, tentram, dan mengurangi potensi dosa.

Selasa, 31 Oktober 2017

Hey! Kamu...

Hey! Kamu...
Sudah berapa lama hingga saat ini? Kepura-puraan yag nyaris tanpa cela, terlihat begitu sempurna dan natural.
Kurasa, kita adalah pelakon yang baik. Melakoni peran kita masing-masing seperti mereka yang sangat baik-baik saja. Tapi, aku yakin, kita tidak baik-baik saja, kan? Paling tidak, aku tahu, kalau bukan hanya aku yang merasakannya. Tentu kamu juga merasakan keanehan atas image kita ini. Benar begitu, kan?

Hey! Kamu...
Seseorang yang "mereka" anggap adalah bagian dari hidupku. Apakah kamu tahu dan peduli, sedikit saja dengan aku, seperti kelihatannya? Ya, kelihatan dari luar kita adalah wujud sempurna dari kepedulian dua kutub. Namun, kurasa, kita sangat berbeda dari kelihatannya, kan?
Apakah kamu pernah mendukungku? Kurasa tidak. Yah.. Walaupun aku pernah berpura-pura menjadi pendukungmu yang tulus, rasanya tidak sekalipun kamu memotivasi langkahku yang sering terseok. Kamu hanya diam. Di saat mereka bertanya, kamu melemparkan kesalahan padaku, bahwa aku tidak ingin dicampuri urusannya. Benar begitu, kan?
Nyatanya selama ini, aku selalu berjalan dengan kakiku, kamu melangkah dengan rodamu.


Hey! Kamu...
Sejujurnya aku pernah mencoba untuk menjadi separuhmu. Hanya saja, hmm... Tidakkah kamu merasa ada kecanggungan di antara kita? Rasa kikuk yang seringkali kurasakn bila memainkan peran sebagai perempuan terbaikmu. Oke, aku adalah seorang yang kaku, namun kakunya aku berbeda dari rasa canggung yang mengelilingi kita.

Hey! Kamu...
Aku tidak paham dengan diriku sendiri, masih rela dan bertahan dengan kepura-puraan yang tidak nyaman ini. Padahal aku tahu, seringkali aku gelisah bila berada di dekatmu. Tidak jarang aku risih pura-pura peduli padamu. Kuharap semoga kamu masih bisa memahami dirimu setidaknya, jangan seperti aku yang payah ini. Jangan!

Hey! Kamu yang semestinya sering aku banggakan, seharusnya selalu membuatku bersemangat bila bersamamu, jika saja kita dipertemukan kembali, ingin aku bertemu dalam rasa yang damai, menerimamu menjadi bagian dariku, menyayangimu setulus yang aku mampu.

Rabu, 11 Oktober 2017

Lembaran

Aku sedang menikmati pagi, menikmati setiap lembar buku yang kubolak-balik sesekali. Sesekali menyeruput teh hangat di atas meja. Hari yang berbeda, waktu yang berbeda, namun tetap dengan hati yang masih sama. Santai menunggu ucapan "selamat pagi" di layar ponselku yang akan menambah semangat pagi hariku. Tetapi kali ini tidak lagi ada.

Lembaran terakhir buku yang masih kupegang sudah selesai kubaca. Aku jadi tertegun sambil mengingat isi buku yang baru saja kuakhiri. Hidup ternyata seperti membaca buku. Kita harus menyelesaikan lembarannya, untuk bisa lanjut ke halaman selanjutnya, jika tidak? Maka tidak akan ada kemajuan. Stagnan. Namun entah rasanya hidupku tidak seperti sedang membaca buku. Tidak ada lembaran berikutnya karena aku masih belum menyelesaikan halaman sebelumnya. Aku terpaku di satu halaman. Berhenti. Tidak bergerak. Cerita yang hampir sama setiap hari, penuh kebosanan.

Kemudian, pagi beranjak petang. Repetisi membosankan yang masih harus aku jalani. Terkungkung dalam imajinasi bahwa aku mungkin masih bisa bersamamu. Kamu mungkin akan kembali menemuiku lagi. Seperti petang lalu, kamu berdiri di bawah jingganya mentari yang hendak pergi, memantulkan siluet wajahmu yang sepertinya tengah tersenyum bahagia.

Ketika mulai gelap...
Lagi-lagi aku menantimu dengan cahaya. Entah mengapa sepertinya ada keyakinan bahwa kau pasti akan datang kembali, membuat repetisi-repetisi kehidupanku, tidak lagi mebosankan. Dan aku bisa membalik lembaran kehidupanku yang baru. Tidak berhenti di halaman kosong yang hampa cerita.

Selasa, 19 September 2017

Pengelana








               = Setelah lelah berkelana di luar sana
                  Kamu kembali ke rumah
                  Namun ternyata aku bukanlah tuan rumah yang ramah
                  Sehingga kamu tidak pernah betah
                  Kamu bergegas berkemas untuk melangkah
                  Meninggalkanku yang tak bisa marah *







                                                                                                              .

Sabtu, 19 Agustus 2017

Sebuah pesan

Ada apa kita? Tidak ada...
Aku berani menegaskan karena memang belum ada ikatan yang menyatakan ada apa-apa di antara kita.
Tentang perasaan yang sama-sama kita jaga, biarlah hanya kita ungkapkan lewat doa, kita tunjukkan pada pemilik hati semata.
Tentang akan bagaimana kelanjutannya setelah ini? Mengapa tidak kita pasrahkan saja padaNya?
Usahlah kita mencoba memanjat dinding pembatas yang memang seharusnya menjaga kita dari praduga untuk tau akhirmya.
Karena... Memang tidak ada yang benar-benar tau, akan seperti apa jadinya sebuah perjalanan akan bermuara ke mana. Hati? Siapa yang bisa menjamin akan bisa menetap pada rasanya saat ini? Wallahu a'lam...


Rabu, 16 Agustus 2017

Kelak, Suatu Hari...

Bening pantulan silau mentari dari luar, mengenai pipimu yang sedikit gembul menutupi mata. Namun, mungkin karena silaunya lumayan mengganggu, akhirnya mata bulat bening itu membuka perlahan diiringi gerakan meregangkan badan khasmu di setiap terjaga. Setelah itu? Tentu saja tangan mungilmu akan merangkulku sambil berkata "Assalamualaikum, Mi... Selamat pagi..." dan akan kuciumi kepalamu dengan lembut dan penuh cinta. "Waalaikumussalam sayang, selamat pagi!" kemudian tanganmu akan kugenggam erat, menuntunmu masuk ke kamar mandi.

Sedang di meja makan...

Nampak hidangan mengepul asap dengan aroma yang sangat lezat telah kuhidangkan. Duduk di pinggir meja paling kanan seorang lelaki berbaju rapi sedang menikmati minuman pagi harinya, yang tentunya sudah kusiapkan terlebih dahulu. Begitu melihatmu sudah rapi dan wangi, ia akan meletakkan cangkirnya, kemudian menggendong dan menciumimu penuh cinta. "Assalamualaikum... Masya Allah... Anak ayah sudah wangi". Pemandangan yang tentu saja akan kutemui di setiap rutinitas pagi kita, dear keluarga kecilku, suatu hari nanti...

***

Rabu, 19 Juli 2017

Permintaan maaf pada pemberi berita bahagia

Sungguh, aku baru ingin mempersilahkan bahagia membingkai senyum di wajahku, namun tahukah kamu? Kadang kabar datang begitu saja menarik kembali garis senyum yang padahal baru beberapa saat tertata di sana. Berganti mulut menganga akan ketidakpercayaan diri ini atas apa yang baru saja didengarnya.

Sempat aku negosiasi dengan Tuhan, memintaNya mengulang kembali semuanya, di hari ketika kamu datang membawa kabar gembira, harusnya hari itu aku tidak terbawa suasana, tidak berharap banyak, bersikap biasa saja. Maka tentulah ketika hari ini, mendengar sebuah cerita yang tak kusangka sebelumnya, aku tidak akan se terkejut ini. Aku baru saja mulai berharap, Tuhan... kenapa malah begini rumitnya? Ternyata, kalimat yang pernah kuselorohkan pada teman: "Untuk merasakan bahagia saja, kamu memang harus berjuang dan melawan bahagia yang lain dulu." itu kini kurasakan benarnya.

Tidak, aku tidak menyalahkanmu sebagai pemberi berita bahagia yang semu. sesungguhnya, kamu berhak menentukan. Berpindah tempat, setelah tempat pertama ternyata tidak baik bagimu. Bukan salahmu kalau ternyata aku adalah tempat kesekian yang kau datangi, aku terlambat kau temui. Aku tidak peduli bagaimanapun masa lalumu. Aku tidak berhak menghakimimu, karena aku juga memiliki masa lalu yang sama buruknya denganmu. Hanya saja, mengapa di antara tempat singgahmu terdahulu, tertulis nama seseorang yang tidak asing bagiku? Mungkin itupun tidak jadi masalah kalau seandainya tempat itu sudah ada tuan yang baru dan merelakan kepergianmu. Tapi... ah sudahlah, bahkan untuk menuliskannya jariku tidak sanggup melakukannya.

Harusnya teori yang mengatakan "rezeki kita tak akan pernah tertukar" itu bisa dengan mudah kuterima. Namun percayalah, teori atau kalimat motivasi yang terbaca bagus, kadang akan sulit dimengerti bila kita sendiri sudah mengalami dan merasakan sendiri terjebak di kisah yang sama.

Maafkan aku, memilih mundur dan menolak kebahagiaan yang kamu tawarkan pada kami. Aku tidak sanggup kehilangan lagi...

Senin, 17 Juli 2017

p e m b e l a j a r a n

Dari apa-apa yang hilang, sungguh kumenyesali telah kehilangan selera. Bukan, bukan selera makan, tetapi selera untuk kembali memulai menyapa muka-muka lugu yang bertatapan semu dengan lugu.
Benar penyebabnya adalah raibnya sebuah harapan yang pernah kugantungkan pada malam yang membawa kita menyusuri satelit untuk dapat saling menerima dan mengirimkan sinyal itu.
Telah lama setelah kita menjalani hidup masing-masing. Mungkin malam ini kau tengah tersenyum bahkan tertawa bersamanya, yang memilih menetap di hatimu. Aku hanya bisa membayangkan bagaimana tawa khasmu yang mengandung kelembutan. Sedang tawaku di sini hanya singkat tanpa irama, terkadang seperti tersedak. Benar, ada sesuatu yang mengganjal tentang tiadanya penjelasan yang membuatku terpaksa membiarkanmu memilih mundur.

Sempat, sesaat setelah menyadari benar-benar kepergianmu, aku mempertanyai Tuhan, tentang mengapa kita harus diperkenalkan sampai bahkan bisa seakrab bisa bercanda ringan satu sama lain, kalau Ia akhirnya memperbolehkanmu menjauh dariku? Mengapa aku diizinkan bisa menjadi diriku sendiri tanpa beban bila berhadapan denganmu? Namun, perlahan aku tersadarkan akan satu hal, bahwa waktu bisa lebih manis menjelaskan semuanya. Walau sempat khawatir tentang hari-hari yang baru, Tuhan membawa kakiku melangkah bersamanya, agar aku tidak lagi takut merasa sendiri. entah itu benar atau tidak, yang kutahu, setiap yang pernah singgah menemaniku, mereka adalah pembelajaran yang dititipkan Tuhan padaku, agar aku bisa lebih menghargai dan menjaga sesuatu ketika ia masih bersama denganku.

Selasa, 30 Mei 2017

Berbicara

Dikelilingi banyak kaum hawa, sedikitnya bisa membuatku mengambil kesimpulan tentang karakter alamiahnya mereka, ditambah lagi begitu banyaknya artikel bahkan meme, berseliweran yang terkadang iseng kubaca menambah pengetahuan tentang perempuan. Mengapa butuh artikel dan pengamatan? Karena sejatinya memang perempuan itu sulit dimengerti, iya, aku pun sering tidak bisa memahami bagaimana perempuan itu sesungguhnya, apa yang ada di pikiran mereka, apa yang sebenarnya diinginkan, dan bagaimana mereka bisa merasa senang ataupun nyaman.

Dari sekian pengetahuan yang kudapat dari hasil pengamatan, ada satu hal yang menarik untuk ditulis: berbicara. Jujur aku baru sadar bahwa perempuan itu ternyata memang suka sekali berbicara. Baik yang memang terlihat dari luar adalah ia yang “aktif” ataupun yang terlihat pendiam sekalipun. Pokoknya berbicara adalah kebutuhan pokok seorang perempuan.

Mama, perempuan pertama yang menjadi objek pengamatanku. Baru disadari, ternyata mama sangat sering berbicara kepada kami di rumah (meskipun mungkin di luar mama tidak begitu suka berbicara). Sepulang dari mengajar, apa yang terjadi di sekolah, mama langsung bercerita dengan tanpa diminta dan tidak perlu tanggapan. Lain hari, ketika ada masalah di sekolah, mama langsung mengadu pada papa dan meminta solusi dari apa yang terjadi di sekolah. Ketika sedang memasak, mama dengan “cerewet” akan menceramahiku ini dan itu. Petuah hidup lah, pengalaman jadi ibu rumah tangga lah, sampai cara mengupas buah pun, mama menggunakan “mulutnya”. Kalimat sakti mama kalau tengah mengajari hal-hal kecil di dapur adalah, “Ini terlihat sepele, tapi tidak akan kamu dapatkan ilmu ini di sekolah, tidak akan pernah gurumu mengajari ini.” Dan yaa.. itu memang benar.

Kakak, saudara tertua yang memang terlihat paling menonjol soal urusan berbicara. Memang sudah terlihat dari luar kalau kakak sangat “hobi” berbicara. Tidak jauh berbeda dengan mama, sepulang sekolah, aku sudah harus mempersiapkan diri mendengarkan cerita-cerita yang sudah pasti dibawa dan disiapkan kakak sepanjang perjalanan menuju rumah. Terkadang, kakak dan keponakanku −yang juga perempuan, berebut untuk bercerita dan ingin didengar terlebih dahulu olehku. Dulu, sebelum kakak berumah tangga pun, kecerewetannya sudah terkenal seantero rumah.

Mbak Ika, yang saat ini paling sering menghabiskan waktu denganku kalau di Padang, tidak kalah terampil soal urusan berbicara. Tidak akan pernah ditemui masa-masa kami berdua di kosan, terasa hening dan canggung. Never! Mustahil. Selalu ada saja bahan untuk dibicarakan, selalu ada saja yang ingin dikatakan dan diceritakan, meskipun mungkin kami sudah hampir seharian bersama, entah kenapa bahan obrolan tidak pernah habis. Ya, mulai dari hanya sekadar bercerita tanpa butuh tanggapan, atau memang curhat yang mulai butuh solusi. Pernah suatu ketika Mbak Ika sedang asyik bercerita dan aku sedang membalas pesan dari teman, ia langsung protes “Dengerin mbak dulu, Ci.” Oke. Aku paham, perempuan bercerita, butuh fokus kita mendengarkannya.

Ternyata, memang dengan berbicara itulah, cara seorang perempuan untuk dipahami. Ia merasa, dengan apa yang telah diutarakannya, orang-orang yang berada di sekelilingnya bisa memahami dirinya dan kondisinya. Memang tidak berbicara ke semua orang, tetapi, pasti dengan orang terdekat, yang sudah membuatnya nyaman, ia akan leluasa bercerita, apa saja yang dirasakannya. Dengan begitu, tentu orang-orang sekelilingnya sedikit-banyaknya bisa memahami tentang si perempuan tersebut.

Tapi... entah berbeda dari mana, rasanya tidak begitu denganku. Ada pengecualian tersediri. Aku yang mungkin terlihat dari luar adalah orang yang suka bercerita dan cerewet, justru sangat susah untuk mulai berbicara dengan orang-orang sekitar. Entah apalah penyebabnya, rasanya sangat sulit untuk bisa mengutarakan isi hati, untuk memberitahu apa yang kuinginkan, kurasakan, meskipun itu kepada orang terdekat. Ternyata, meskipun ketika waktu kuliah dulu, di mata kuliah keterampilan berbicara aku mendapat nilai sempurna (baca:A), namun ternyata tidak semudah itu mengaplikasikannya. Aku baru merasakan perbedaan itu karena akhir-akhir ini mulai sering mendapat kalimat yang senada, “Kamu sih, tidak ngomong, jadi gimana orang bisa tahu?” baru setelah kuingat-ingat, memang benar aku sulit berbicara kalau itu sudah menyangkut diri sendiri. Beda cerita kalau itu menyangkut orang lain di sekitarku, aku mungkin jadi orang paling cerewet dan bawel. Kalimat seperti “Makan dulu, baru tidur.” “Jangan lupa sholat” “Minumnya pakai tangan kanan, jangan sambil berdiri” dan kalimat-kalimat nyinyir lainnya, sering kali aku utarakan sehingga mendapat predikat “mak tiri yang bawel” dari teman-temanku.

mungkin, kenapa aku lebih nyaman menghabiskan waktu sendiri untuk menulis adalah sebagai bentuk "pelarian" karena tidak terampilnya aku bercerita tentang diriku pada orang lain. dibaca atau tidak, paling tidak aku sudah mengeluarkan apa yang tersimpan di dalam sini.

😊



Jumat, 19 Mei 2017

Bacalah

Pernahkah kamu berada di posisi, dunia begitu kelam, dan kamu rasanya ingin segera pergi meninggalkan kegelapan yang membuatmu berjalan tersandung, berlari terjatuh, diam ketakutan? Bagian mana yang membuatmu bisa bangkit dari situasi itu dan akhirnya bisa bertahan sampai sekarang? Bagaimana caramu menata kembali hatimu, dan menghiburnya bahwa semua akan baik-baik saja ke depannya? Apa yang membuatmu bisa kuat? Dapatkah kau bocorkan rahasiamu padaku?

Bacalah ini, pertanyaan yang mungkin semrawut telah kutumpahkan pada sebaris kertas usang luapan kekacauan isi hatiku belakangan. Tidak tahu kemana lagi akan kulayangkan pertanyaan ini selain padamu. Padamu yang kutahu, pernah berhasil membawa kabur hidupmu dari lingkar kelam ketakutan akan dunia yang kelam.

Bacalah ke dalam mataku yang mulai kosong, ada setitik harapan yang tak ingin redup. Berharap semuanya akan kembali baik-baik saja seperti sedia kala. Padamu yang kutahu  pernah mati terpuruk kemudian berjalan gagah berani memerangi emosi, aku punya pertanyaan padamu, bacalah...

Minggu, 14 Mei 2017

Dari aku

Dear...

Mungkin aku adalah manusia penakut nan berani. Aku harus berani mengalah, karena begitu takutnya aku dengan kata pisah. Aku harus berani tersakiti, karena sangat takut kamu pergi. Tahukah kamu soal itu?

Sejujurnya aku tidak pernah berharap kita bisa seperti ini, dulunya. Bertemu tidak sengaja untuk kemudian bisa dekat, sebenarnya tidak pernah terpikirkan. Karena kupikir aku bukan tipemu untuk bisa bersama-sama tersenyum. Tapi toh semesta seperti telah merancang pertemuan kita, dan mendukung kita untuk saling bergenggaman tangan.

Sampai hari ini, aku masih sering bingung dengan sikapmu padaku, kadang-kadang baik, kadang-kadang sangat menyebalkan. Oke, ini memang lumrah ada pada diri setiap orang, tetapi yang aku bingungkan, apakah masih tetap sayang, kalau memang akhir-akhir ini kamu sering memarahiku bahkan sampai membentakku? Apakah fatal setiap kesalahanku yang menyulutmu? Bosankah kamu padaku?

Bukannya aku baik-baik saja dengan semuanya. Aku hanya tidak ingin kita menjadi lebih buruk lagi kalau aku memilih melawan dan membela diri. Meskipun diam dan mengalah tidak membuatmu merasa bahwa aku adalah manusia sabar yang pantas kamu pertahankan.

Aku tahu, kamu yang aku kenal memang kaku selama ini. Tidak pernah bermanis-manis padaku, tidak pernah memujiku, kamu aneh kalau mengutarakan betapa kamu berterima kasih padaku. Karena telah mengerti sifatmu begitu, aku tidak pernah paksa dan menuntut kamu untuk lebih romantis lagi padaku. Dan selama ini kita bisa baik-baik saja dengan itu.

Tapi tidak kali ini. Beberapa waktu belakangan yang terasa berat bagiku. Tidak pernah lagi ada waktu untukku sekadar bercerita, oh.. Jangankan bercerita, berbicara denganmu saja sudah sangat sulit rasanya. Tidak pernah lagi kamu mau meluangkan waktumu untuk mengajak aku jalan-jalan sebentar sekadar melepas penat sehabis bekerja. Tidak pernah lagi aku melihat binar kekhawatiran dengan penuh kasih sayang ketika kukatakan bahwa aku sedang tidak enak badan.

Aku cukup tahu, bawa setiap kita pasti mengalami perubahan. Tidak, aku bukanlah orang yang menolak perubahan. Hanya saja, bukan berarti kamu yang kukenal baik dan ramah, bisa begitu drastis menjadi kasar dan temperamental, khususnya hanya padaku. Kulihat, ketika berhadapan dengan yang selain aku, kamu tetap baik dan ramah.

Besarkah kesalahanku? Kenapa kamu terlihat begitu tidak menyukaiku? Lupakah kamu, bahwa kita bersama bukan untuk ribut dan menebar aroma kekesalan? Aku masih bertahan hingga kini, hanya karena tidak sanggupnya aku mengulangi berpisah kembali denganmu. Aku berani tersakiti, karena tidak ingin ketakutanku yang dulu terulangi: kamu tinggal pergi.


-dari aku

Selasa, 02 Mei 2017

Untuk Sipenggores Warna Ungu

Setiap orang yang datang dan mengisi hidup kita, punya warna dan aroma berbeda. Rasa yang ditimbulkan pun tak sama. Pahitnya perpisahan dan manisnya pertemuan, dengan saling berbagi emosi dengan orang-orang di sekeliling kita. Ada yang kita kenal dari awal, dan memilih menetap sampai sekarang, mungkin sahabat dari kecil, atau bakan mungkin hanya tinggal keluarga (di saat teman yang lain sudah memilih menjalani kehidupan barunya di tempat lain). Ada yang kita kenal lama namun memilih pergi, dan ada yang baru saja datang mencoba peruntungan sebagai orang dekat kita.

Kenal dan dipertemukan secara tidak sengaja denganmu, aku jadi memiliki banyak pemahaman. Mengerti bahwa yang introvert jauh lebih perhatian akan hal-hal kecil. Mengerti bahwa manusia kaku ternyata bisa bercanda. Paham kalau kekaguman bisa datang karena kebaikan-kebaikan kecil. Paham kalau yang sabar ternyata bisa mundur dan memilih pergi dengan perlahan.

Ya, kamu adalah bagian dari yang pernah hadir di hidupku, kemudian memilih mundur menjauh daripada terus-terusan harus diuji kesabaran dengan sikapku. Pergi dengan menyeret langkah kaki diam-diam, tanpa salam perpisahan. Entahlah... Mungkin kamu punya rencana dengan kepergian yang tidak pernah kusangka sebelumnya.

Sejak ditinggal olehmu dengan rasa kecanggungan, aku memilih untuk tetap seperti ini, tidak berubah. Dengan keegoisanku, kekanakanku, dan kesinisanku. Kita yang belum pernah bertemu, mungkin saja suatu saat bisa bertemu secara tidak sengaja. Jadi, kuyakin kamu akan dengan mudah mengenali siapa aku karena tidak ada yang kuubah.

Terima kasih telah pernah memberikan warna ungu di hidupku. Terima kasih selama ini menjadi inspirasi tulisan-tulisanku. Kamu jagan khawatir, tidak ada yang berubah, termasuk menjadikan dirimu abadi, di setiap tulisanku.

Minggu, 30 April 2017

Keentahan

Ada keentahan yang membuat rasa gelisah tidak bisa kusimpan rapi sendiri dalam sanubari. Rasanya ia ingin keluar, tumpah ruah bersama deguban jantung yang semakin kacau. Ah.. Kenapa aku harus menanti? Padahal seharusnya tidak ada yang ditunggu. Namun serapi apapun kucoba tata kembali resah ini, tetap saja ia memang tidak baik-baik saja. Gelisah tidak tenang.

Ah... Kenapa seperti ada yang kurang kalau hal biasa yang kulakukan tiap hari, kini tidak seperti dulu lagi? Tidak ada yang benar-benar pergi sebenarnya. Hanya saja, sesuatu yang dari dulu sudah menjadi kebiasaan, kesukaan, yang menyamankan kualami dan kudapati setiap hari, tiba-tiba berganti sudah tidak lagi.

Ada keentahan, ketika rasa yang hilang ini tidak bisa terungkapkan dengan hati-hati. Jauh dari lingkungan familiar bukan hal yang mudah, melepaskan keterikatan dengan orang tersayang bukan perkara gampang.

Setelah debar yang entah keberapa, aku masih saja terdiam, berpikir mungkin rasa ini hadir karena 'kebiasaan' yang sudah tercipta dulu, yang kini tidak terjadi lagi. Tentang cerita-cerita yang setiap hari kudapati, tentang keceriaan yang hinggap disetiap nada-nada mulai berbunyi, tentang pengharapan yang secara tidak sengaja kutitipkan dalam hati.

Minggu, 23 April 2017

Hey!

Hey!
Mungkin kita tidak sedang berada di suasana yang sama saat ini. Aku dengan kekhawatiranku, kamu dengan kesibukanmu (sehingga tak sempat untuk merasakan kekhawatiran).
Bilamana kesibukan adalah mata pencaharianmu, maka khawatir adalah selimut di tidurku. Tapi tenanglah, bukan khawatir ini membawaku menjadi buruk. Justru, ia akan membawaku semakin sering lagi berdoa padaNya untukmu. Ya, tentu saja untukmu, yang mungkin, karena kesibukanmu, jangankan untuk mendoakanku, bahkan mengingatku saja mungkin tidak. Tak apa. Kita sudah berada di porsi kita masing-masing. Tinggal kita jalani saja peran, apakah sebagai perindu, atau sebagai yang menghilang dan mengabaikan.

Hey!
Aku tidak apa-apa di sini. Hanya sedikit merasa sepi. Tapi semoga ini tidak berlangsung lama. Sebentar lagi juga aku akan lupa, atau mulai terbiasa. Jadi tidak perlu memaksakan diri berobah menjadi peduli. Justru itu akan asing sekali. Akan terlihat, itu bukanlah kamu yang hanya 'kan membuatku risih.

Hey!
Memang kita masih di negeri yang sama meski beda kota. Semoga suatu ketika, ada kebaikan semesta yang menemukan jalan kita kembali bersua, meski tidak untuk bersama.

Jumat, 07 April 2017

Tersentak Dini Hari

Aku tersentak. Sekilas nampak jam dinding menunjukkan pukul tiga dini hari
Masih meraba-raba perihal mimpi barusan
Apakah kamu masih menghantui, Ataukah aku yang tak pernah benar-benar beranjak pergi?

Malam ini aku sadari, -lagi. Bahwa aku memang benar-benar sendiri. Tergopoh menanggung rindu dan luka tanpa teman sepenanggungan. Tanpa kamu. Tanpa dekap yang dulu membuatku tenang saat menggigil kedinginan. Tanpa teduh wajahmu yang menenangkan saat kepalaku begitu sesak dengan sepi dan kebosanan.

Sudah berapa lama hingga kini? Rasanya baru kemarin kamu pergi, membawa koper dengan terseok sambil melangkah hati-hati sekali. mungkin yang dalam pikiranmu saat itu, rasa sakitnya akan berkurang dengan melangkah hati-hati. Sembari menatap punggungmu, mataku yang sudah sembab, enggan untuk tak membasah. Entah air mataku akan kering setelah itu, aku tidak peduli. Pokoknya hanya air mata rasanya yang bisa mengerti, bagaimana perihnya kehilangan karena ditinggal pergi.

Apakah hingga kini, kamu masih tetap menghantui, Ataukah aku yang tak pernah benar-benar pergi?
Hingga hadirnya mimpi, kembali membawaku menikmati hangatnya kehadiranmu kembali mengisi cerita-cerita di setiap lembaran hari-hariku beberapa saat ini.




Jumat, 31 Maret 2017

Stop Komen!

Self reminder.
Sesuatu yg bukan kapasitas kita, mending tidak usah dicampuri, dikomentari, apalagi kalau tidak ada yg meminta pendapat kita.
Memang sepertinya sudah jadi kebiasaan manusia, apa-apa dikomentari, di-sok tahu-i.

Dulu, dulu sekali, saya menganggap orang-orang yang "trauma" akan sesuatu itu seperti orang lebay alias berlebihan.
Misalnya, mendengar bunyi ambulans lewat, langsung tutup kuping dan bersembunyi. Komentar saya: lebay.
Misalnya lagi, tiap ada mobil besar lewat yang menghasilkan bunyi gemuruh dan getaran ringan ada yg langsung panik karena menyangka itu gempa. Komentar saya: lebay.
Sekarang, semakin bertambahnya usia dan pengalaman, jadi mengerti apa itu trauma. Saya sendiri pun mengalaminya. Setiap kali mendengar bunyi keran air yang dibuka besar, bunyi airnya menyambar-nyambar, air yang keluar bak tsunami yang menghantam daratan (oke ini lebay), saya langsung tidak nyaman, bahkan bisa sampai gelisah dan keluar keringat dingin.
Itu terjadi karena satu kata: trauma.

Yah... Kita memang belum benar-benar akan mengerti apa yang dirasakan seseorang, sebelum kita mengalaminya sendiri. Setelah mengalaminya langsung? Baru mengerti dan menyisakan sesal di hati.

Kini saya mengerti, tidak ada trauma yg dibuat-buat, tidak ada juga yang ingin punya trauma. Mengetahui ini saya jadi banyak merasa bersalah, pada siswa saya, tetangga, teman-teman di kampus, teman-teman di kosan, atau di mana pun, saya benar2 bersalah sudah men-cap mereka lebay.

Pelajarannya: tidak usah sok tahu! Mengomentari apa-apa yang menimpa orang lain, seolah-olah kita tahu segalanya, bahkan sampai memberi cap yang tidak mengenakkan pada orang lain. Ini mungkin hal sepele, tapi terkadang hal sepele itulah yang bisa merusak perasaan seseorang, hingga mungkin mempengaruhi hubungan baik. Betapa banyak hal sepele di sekitar kita yang kita remehkan, seolah-olah tidak apa-apa kalau kita cela. Padahal, kita tidak pernah tahu, bisa jadi hal sepele yang menjadi kesalahan kita itulah yang akan membawa kita pada azabNya. Na'uzubillahimindzalik. Sebaliknya, hal sepele dalam kebaikan, mana tau bisa menghantarkan kita pada rahmatNya, (termasuk membagikan tulisan ini, mungkin? Hehehe).
Oke, kurang-kurangi mengira-ngira dan mengomentari kehidupan orang lain saja mulai dari sekarang, tidak ada yang tau apa yang tersimpan di palung hati orang, bahkan orang yang punya indera keenam sekalipun, tidak pernah tahu dalamnya hati seseorang.

Teruntuk Kekasih Sahabatku

Sejujurnya, aku masih tidak begitu yakin, apakah yang kuinginkan itu, tulisan ini bisa bertemu dengan panca inderamu atau tidak, tetapi jemariku rasanya greget ingin menulisnya beberapa waktu belakangan, jadi ya... kutulis saja, jadi biar semesta yang menentukan, apakah tulisan ini akan sampai padamu, atau tidak.

Aku tahu, bahwa dari segi penampilan wajah, aku ini adalah sosok antagonis yang mungkin ingin dihindari sebagian besar orang. Ya, anggaplah aku memang perempuan yang tidak baik bagimu di hidupmu, tapi tunggu, kurasa tidak begitu bagi sahabatku, setidaknya, jauh sebelum ia mengenalmu.

Belakangan, jujur tentangmu sedikit banyaknya sudah mengganggu pikiranku. Betapa tidak, hampir setiap hari aku mendapatkan pengaduan yang rasanya membuatku mual ingin memuntahkan amarahku, tapi entah mendapatkan kesejukan dari mana, aku yang sejatinya adalah seorang yang emosional, masih bisa menahan gejolak ingin berontakku. Aku beruntung masih bisa diam ketika harus berhadapan denganmu, tapi tidak di depan sahabatku.

Wahai laki-laki yang baru saja berhubungan dengan sahabatku.
Kamu tahu? Gara-gara kamu akhir-akhir ini aku jadi sering memarahi sahabatku. Betapa bodohnya ia, sungguh! kukatakan ia sangat bodoh. Kamu yang masih seumur jagung dekat dengan sahabatku, tetapi sudah lebih dari seorang bapak. Kamu berlebihan kalau semua yang dilakukan sahabatku harus berdasarkan izin darimu. Kamu berlebihan kalau lama-lama kamu jadi melarang sahabatku menemuiku. Kamu berlebihan karena kamu membuat kami para sahabatnya jadi orang asing bahkan di saat kami berkumpul bersama. Kuingatkan, kamu keterlaluan, sungguh!

Aku bersalah, memang. Seharusnya aku marah padamu, aku tidak meluapkan kekesalanku atas kesalahan hubungan kalian ini padanya yang sangat lemah, yang apa-apa hanya bisa menangis. Padahal selama ini, ia adalah perempuan yang tegar. Bahkan ketika ibunya meninggalkannya untuk selama-lamanya, walaupun dengan berat, tapi ia bisa menjalani semua itu, dengan kami selalu berada di sampingnya. Kini? Dia harus menangis, setelah kau marahi hanya karena dia pergi ke pasar denganku, kamu memarahinya, di dekatku, kamu memarahinya? Dia hanya pergi denganku, sahabatnya yang jauh sebelum kalian kenal kami sudah menjadi saudara. Bukan pergi dengan laki-laki lain. Bahkan ketika salah seorang dari kami membicarakan ini padamu, kamu membela diri dengan memfitnahku! oh, sorry... tolong jangan bawa-bawa kerudungku ke dalam masalah ini, apalagi ini hanya kalimat fitnah yang kau lontarkan.

Wahai laki-laki yang menduduki peringkat teratas di hati sahabatku kini.
Tidak apa kalau kalian memang sebentar lagi akan menikah. Aku justru senang jika sahabatku yang baru saja diwisuda akan menikah. Izinkan aku memberitahumu sesuatu yang mungkin kamu tidak mengerti bagaimana terlukanya kami, para sahabat kekasihmu melihat dia terus-terusan menangis setiap kali selesai kau hardik. "Bahwa perempuan sejatinya hanya ingin disayang, diperlakukan lembut. Marahlah dengan bijak kalau memang sahabatku memiliki kesalahan, tidak haruslah kau menghardiknya sampai membuatnya memompa matanya sampai bengkak. Semoga status Magister Pendidikanmu yang baru saja kau peroleh bisa membuatmu lebih dewasa secara emosional, sebagai calon kepala rumah tangga. Kalau memang kau berjodoh dengan sahabatku, aku hanya bisa mendoakan semoga sahabatku bahagia dan menjadi istri yang baik untuk suaminya, tapi tolong, jangan beri jurang pemisah antara kami dengan dia, karena... semenjak ibunya tiada, kepada siapa lagi ia akan bercerita kalau tidak kepada kami sahabat perempuannya?"



Rabu, 08 Maret 2017

Ikhlaskan atau Perjuangkan?

                                     PART 4

Kini, setiap hariku hanya jadi mimpi buruk yang ingin kuhapus perlahan demi hidupku. Ya, aku tidak boleh berhenti berjalan. Seberat apapun rasanya melangkah tanpa ada kamu dalam wujud nyata ataupun sekadar pemberi semangat, aku tidak boleh diam dan tidak memperjuangkan hidupku. Aku harus sadar, semakin aku terpuruk dengan pernikahanmu dan Tiara, semakin aku terlihat menyedihkan dan tiada gunanya. Aku harus kuat!

Tiara, bagaimana kabarnya? Pasti perutnya sudah semakin jelas sekarang. Masihkah kamu mengacuhkannya seperti janjimu padaku? Atau kamu malah mulai belajar menerimanya di hidupmu, seperti saran dan nasihat yang selalu menyertaimu selama ini? Sungguh aku tak kuasa rasanya, apakah harus membiarkanmu menyayangi istrimu, atau malah memintamu untuk tetap berpaling padaku. Aku tidak tahu, sayang.

Sore ini aku akan bertemu dengan klien dari luar kota, laki-laki. Biasanya, kamu akan menemaniku, tapi kali ini aku harus siap menghadapi sendiri. Bagaimanapun, aku harus tetap menjalani kehidupan pekerjaanku meski kini itu tanpamu. Ah, lagi-lagi rasanya canggung sekali sekarang apa-apa harus kulakukan sendiri. Setelan berwarna pastel sudah kukenakan untuk bersiap-siap menuju hotel tempat perjanjian dengan klien. Dengan percaya diri, aku melangkah perlahan keluar dari kantor, meskipun jadwal pertemuan masih satu setengah jam lagi, aku hanya ingin sedikit bersantai dengan datang lebih awal.

Sebelum taxi yang kupesan datang, di seberang jalan aku melihat ada seorang nenek-nenek seperti tengah ribut dengan seseorang, itu menggerakkan hatiku untuk tahu lebih pasti apa yang sedang terjadi. Kuseberangi jalan kemudian mencoba bertanya persoalan yang terjadi. Ternyata si nenek hampir ditabrak oleh pengendara motor tersebut. Kasihan sekali, nenek tua ini kenapa berjalan sendirian di sini? Akhirnya aku mengajak nenek tersebut ikut denganku berteduh di depan lobi kantor. Setelah sekitar sepuluh menit berbincang, akhirnya taxi yang kupesan datang. Aku berpisah dengan membawa semangat yang ditularkan dari nassihat nenek tadi padaku. Bahwa, apapun yang terjadi, aku harus tetap memaksimalkan kualitas diriku. Toh, hingga saat ini, seberat apapun hidupku tanpamu, aku masih tetap baik-baik saja.

Pertemuan dengan si klien berjalan lancar, semua baik-baik saja. Aku bersyukur meskipun selama ini selalu tergantung dengan hadirmu menemaniku, tapi kali ini aku dapat mengambil pelajaran lain yang kutimba bersamamu, bahwa aku bisa melakukan komunikasi yang baik agar klien terkesan denganku dan kerja sama bisa terjalin dengan baik-baik saja. Selesainya aku dari menemui klien, aku memilih untuk jalan-jalan sebentar di grand mall di samping hotel tempat pertemuan tadi. Toh tidak ada salahnya berjalan-jalan sebentar barang sekadar untuk mencuci mata. Namun, apa yang kulihat, bukanya malah membuat suasana hatiku segar, hatiku malah teriris karenanya.


Tangan tegasmu, tengah menggenggam tangan mungil seorang perempuan berperut besar. Tatapanmu lembut mengikuti matanya yang senang melihat-lihat beberapa perlengkapan bayi yang lucu-lucu. Perasaan tidak rela merasukiku. Harusnya aku yang berada di posisi perempuan yang kau genggam dengan tatapan kelembutan itu! Aku ingin, lantai tempatku berpijak segera roboh dan menelanku ke dalamnya agar aku bisa sembunyi saat ini juga dari pemandangan yang membuat mataku panas itu. Namun tak mungkin dan sudah terlambat, seiring mata Tiara mengekori keberadaanku, saat itu juga entah kenapa kakiku berjalan menujumu. Oh tidak! Mengapa langkah kaki ini malah mendekat? Mengapa tak ia pilih untuk menjauh saja?

*bersambung⏩ 

* untuk tahu cerita sebelumnya, silahkan klik ➡ PART 1  PART 2  PART 3