Selasa, 27 Desember 2016

Sepuluh Hari

Sepuluh hari yang lalu, aku mimpi bertemu denganmu di sebuah tempat yang asing. Katamu di dalam mimpi, itu adalah tempat favoritmu. Aku heran, kenapa mimpi membawaku ke sana bersamamu? Oh, aku tau, sepertinya kamu sedang rindu padaku, ya? Curang! seharusnya kalau kamu merindukanku, kamu bisa mengabariku, kamu bisa menghubungiku saja, bukannya datang di mimpiku seperti ini!

Hari ini, sepuluh hari semenjak kamu menyapaku di mimpi. Awalnya aku ingin tidak teralalu ambil pusing soal urusan mimpi, toh cuma mimpi. Namun tetap saja, beberapa saat yang lalu memori mengingatmu kembali membangunkanku di tengah kesibukanku, membujukku paling tidak untuk menuliskan bahwa aku pernah memimpikanmu, sepuluh hari yang lalu (karena pasti berat untuk memberitahumu bahwa semalam kita sudah bertemu untuk pertama kalinya, di alam mimpi). Ya, paling tidak, dengan menulis aku bisa menyimpannya untuk suatu saat akan kubaca, kalau nada suara lembutmu yang membuatku hanya menerka-nerka seperti apa rasanya berada dekat denganmu, telah kutemui di mimpiku.

Aku lupa tepatnya kapan kita mulai akrab. Sungguh keren dunia maya, mempertemukan kita dalam sebuah diskusi ringan, yang membawa kita akhirnya bisa saling berteman akrab. ah.. kapan tepatnya itu terjadi? Yang jelas, beberapa saat sebelum sepuluh hari itu, menjadi hari yang berat bagiku. Entah apa yang menjadi penyebabnya, sepertinya mulutku yang suka sembarangan ini telah menyinggung perasaanmu, hingga membuatmu mundur dari pertemanan dunia maya ini denganku. Mungkin selama ini aku masih belum menyadari betapa berbahayanya memiliki mulut yang sembarangan. Namun belakangan aku sudah mulai disadarkan, betapa aku harus lebih berhati-hati lagi mengontrol apa saja yang keluar dari mulutku, kalau aku tidak ingin ditinggalkan lagi.

Sepuluh hari yang lalu. Mimpiku memungutku di sebuah tempat yang ramai oleh suara air. Sekelilingku hanya ada pohon-pohon dan rumput liar. Sunyi. Sepertinya tidak ada siapa-siapa selain aku di sana. Lama aku terdiam sampai sebuah suara memanggil namaku. Aku menoleh heran. Orang itu siapa? Mengapa ia mengenaliku? Kemudian ia berbicara, "Ini tempat favoritku, akhirnya aku bisa ke sini ditemani perempuan favoritku." Tawanya yang lembut membuatku teringat suara yang pernah aku dengar di seberang telepon. Oh... Kamu.

Minggu, 11 Desember 2016

welcome back!

Aku percaya, kita yang telah berpisah bisa dipertemukan kembali dengan cara yang hanya Tuhan yang tahu. Dan itu, terjadi akhir pekan ini.

Di awal perkuliahan, aku dipertemukan Tuhan dengan tiga orang sahabat. Mereka adalah Ante Linda, Mbak Ika, dan Uni Elsa. Iya, aku paling kecil antara kami berempat.
Di semester 1 perkuliahan, kami berempat amat kompak, kemana-mana selalu berempat. Kami memiliki perbedaan, namun saling melengkapi. Ada yang pintar masak, beres-beres, cekatan kalau ada yang membutuhkan, jago merayu polisi bila di jalan kena razia, dan pintar dalam studi. Banyak lagi deh pokoknya.

Btw, nih foto kita pas ngumpul di kampus sama kosan Mbak Ika.
   



   

Namun, pertengahan semester 2 sesuatu terjadi. Salah satu di antara kami, Eca mengalami musibah, sehingga ia memutuskan untuk berhenti kuliah, dan setelah itu kami mengalami masa-masa diuji untuk kelangsungan hubungan kami. Termasuk Salah satu mimpi kami, untuk bisa wisuda berempat sama-sama pun akhirnya kandas.

Ketika kami hanya tinggal bertiga:



 (monmaap kualitas gambarnya jelek. Cuma punya foto yang ini, abisan kita udah mulai jarang foto bertiga sih 😞)

Entahlah, banyak saja yang terjadi. Mama Linda meninggal, IP Mbak Ika turun, Mbak Ika punya pacar baru, Linda putus, aku yang katanya “direbut” oleh Rici dari pertemanan (sebenernya aku sih, dekat sama semua teman sekelas, Cuma ya… yang nyambung n sering ngumpul ya sama mereka), dan hal-hal sepele yang sering jadi bahan kami berselisih.

Meskipun kami sering berselisih, tidak pernah terlalu berlarut-larut. Karena memang kami saling membutuhkan. Kalau tidak ada salah satu dari kami, rasanya ada yang kurang. Ditambah, tidak hadirnya Eca di antara kami, menambah deretan panjang kerinduan. Ngumpul pun jadi tidak seru lagi, karena Eca dengan suara cemprengnya yang selalu bikin heboh kosan Mbak Ika, basecamp kami, sudah tidak pernah muncul lagi semenjak pergi tanpa salam perpisahan. Ya, Eca perlahan menarik diri dari kampus, berangsur jadi susah ditemui, berangsur jadi tidak bisa dihubungi, dan putus komunikasi sama sekali. Siapa yang paling merana? Aku! Karena kalau Eca nggak ada, akulah yang dapat bagian kena bully aku memang paling sering direpotkan dengan urusan Eca. Rasanya canggung begitu Eca tidak lagi ada. Teman-teman pun jadi sering menertawakanku, “Kamu sudah kayak orang ditinggal mati suami, tahu nggak!” saking aku galaunya ditinggal Eca. Lebay.

Singkat cerita, Eca yang sudah bertahun-tahun menghilang, akhirnya keluar dari sarangnya berkat pancingan Mbak Ika. Hebat banget itu orang sumpah! Aku yang deket sama Eca aja nggak pernah dibalas pesan atau diangkat teleponnya. Mbak Ika, cuma sekali sms (sebelum ditelpon), langsung teleponnya diangkat dan mau datang. Saking ingin tahunya dengan trik yang dipakai Mbak Ika, aku lacak smsnya yang membuatku ternganga.
Emm… begini…???




 (kenapa harus pake alasan diriku sakit sih mbak 😭😭)

Oke, alhasil si Eca keluar dari sarangnya, datang dengan kerudung kuning, baju hitam, sepatu merah. Aku langsung peluk sampai kurus, ga mau tau pokoknya pengen luapin rasa kangen. Anaknya cuma ketawa-ketawa bahagia gitu. Ga ada yang berubah dari Eca (selain ia tambah manis), cemprengnya ga berubah, seenaknya belagak bos di kosan orang-nya juga ga berubah, makan gapernah abisnya ga berubah, suka nyama-nyamain aku sama dia (dia suka banget bilang kita mirip) juga ga berubah.. hahaha

Oke.. welcome back to our circle Eca. Kupikir kisah kita telah usai, namun Tuhan masih memberikan kesempatan kita kembali berkumpul, meski dengan cara yang, ah sudahlah… alhamdulillah kembali dipersatukan. we love Eca, and I love them so much! 😘😘

Bonus nih, foto kita jalan kemarin J

Minggu, 04 Desember 2016

Tiada

Aku takut,
Tuhan mengabulkan doaku dulu tentangmu...

Karena kini, kita bukanlah lagi satu genggaman
hanya bahagian dari orang asing yang berlalu-lalang,
seketika hilang dalam penglihatan.
Menjadi asing dalam semalam, pasca pertengkaran.
tiada lagi kini sapaan akrab,
karena kita sudah selesai dalam kata tamat.

aku ragu,
Doa macam apa yang 'kan ku panjatkan,
agar Tuhan membatalkan doaku yang dulu, pernah kumunajatkan padanya,
Masa depan bahagia yang kuimpikan,
tentangmu,
tentang kita...
yang kini sudah tiada.

Senin, 28 November 2016

Masih

Masih berdiri di dalam kotakku. Menatap perlahan ke arah jendela kaca yang memburam karena embun yang terkena efek hujan dari pagi. Pertanda baru bangun, sesosok dengan mahkota kusut membayang dari sana. Segera kusapu uap itu agar tidak melihat pemandangan kusam itu lagi. Tidak enak dilihat tengah malam begini.

Bukannya lupa. Di akhir tahun seperti ini, hujan memang lebih rajin mendatangi kotaku setiap harinya. Dan akibatnya, aku jadi terkurung dalam kotak peraduanku, seharian. Tidakkah ia rindu untuk pulang barang sebentar bertemu awan?

Tidak ada yang menyakitkan dari hujan yang datang memang. Dengan aroma tanah dan hawa sepi yang dibawanya sesampainya di bumi, Ia hanya berusaha setia. Hujan terjatuh berkali-kali, tetapi tak pernah enggan untuk kembali, meskipun itu untuk terjatuh lagi. Ia selalu datang lagi. Terjatuh pada tempat yang tepat.

Pelajaran yang diberikan hujan, tentu saja bagaimana ia menunjukkan kesetiaan. Setelah pulang, ia menjanjikan untuk kembali. Tentu saja, dengan jaminan usianya yang semoga masih panjang.

Hawa dingin mulai menembus kaca yang masih kusentuh, menyadarkanku. Hujan yang enggan berhenti, membangunkanku yang merasa sangat lapar. Ternyata hujan masih saja berbaik padaku, meski aku tidak pernah berterima kasih padanya, atau sekadar menyambutnya kala ia datang mengunjungi. Sambil menikmati sisa roti yang kubeli tempo hari, aku masih menatap ke luar jendela, menembusnya untuk dapat menyapa sang hujan. Mencoba menggenggam butirannya yang terjatuh, agar tidak begitu sakit.


Kurasa, hujan tengah tersenyum dengan usahaku itu. Bukan apa-apa, aku tidak lagi berbaik hati padanya. Hanya ingin menyampaikan surat yang kuselipkan di antara jemariku padanya. Barangkali hujan berkenan, menyampaikannya pada sang Illahi, bahwa aku masih menanti.

Kamis, 24 November 2016

Musim yang Canggung

Tahun ini, pesta olahraga sedang digelar di Sumbar. Gelaran olahraga bergengsi sekelas PORPROV yang diselenggarakan tanggal 19-29 November ini, membuat Kota Padang yang biasanya tidak ramai dengan spanduk dan baliho, kali ini semarak dengan ucapan "Selamat Datang Kontingen (nama daerah) di Kota Padang". Biasanya, aku ikut merasakan disambut dengan kalimat di baliho tersebut. Tapi musim ini tidak lagi, semenjak musim PORPROV sebelumnya aku memutuskan "Ini pertandingan terakhirku" atau bahasa lainnya, aku memutuskan untuk pensiun.

Oke, meskipun memilih untuk berhenti, sejatinya aku tidak bisa benar-benar memalingkan wajahku dari dunia yang membesarkan namaku ini (Lebay banget, pake bahasa membesarkan nama segala, padahal yang kenal aku juga teman sekelas, tetangga, sama teman2 kosan doang). Jadi, sudah lebih kurang tiga bulan ini aku memiliki adik didik. Emm... bukan aku tok yang ngelatih sih, aku cuma jadi asisten pelatihnya papa (pelatihku dulu) aja sih, tapi ya, jadilah, buat nyombong! ehe~

Nah, kembali ke gelaran PORPROV Sumbar yang kebetulan musim ini tuan rumahnya adalah Kota Padang (Kota tempatku sekarang menetap untuk kuliah), jadi aku menyempatkan diri untuk bisa ikutan nonton, dan, yaaa... tentu saja aku menonton dengan style yang sudah jadi jati diriku sekarang (Tidak lagi pakai training dan sepatu olahraga, tetapi pakai rok dan kerudung lebar ☺️). Pokoknya, beda lah, dari penampilanku biasanya. Buktinya, banyak teman-teman atlet dan para wasit (wasitnya kita di sini selalu itu-itu aja dari zaman SD dulu, jadi udah pada kenal) yang nggak kenal lagi sama aku 😭

oke, ini nggak point dari cerita ini sih.

Aku datang biasanya selalu siang, ba'da dzuhur gitu laah, karena pagi aku ke kampus dulu. Jadi, sampai sana awalnya aku cuma berdiri aja di depan pintu. sumpah, canggung! Gitu asyik celingak-celinguk bego meratiin yang lagi tanding, namaku di panggil (Alhamdulillah, ada juga yang kenal) begitu aku menoleh, ternyata itu Uni Aulia, partnerku sejak jaman main pake baju putih merah dulu (jelas aja dia kenal, kan di kampus kita juga ketemu. Sialan, gagal Geer deh!). Jadi, langsung aja aku gabung sama dia dan suaminya. Uni Aulia ini pengantin baru.

"Uni ga nyangka dedek ikutan nonton, tau gitu, tadi ngajakin pergi bareng"
"Iya, dedek juga nggak nyangka uni datang, kan udah sibuk jadi bu dosen sekarang"
lalu kita ber-hehe-ria

beberapa saat kami saling diam, karena pandangan mata asyik menatap ke lapangan pertandingan. yang mataku ikuti saat itu pertandingan beregu antara Sawahlunto vs Dharmasraya. Dan, yaa... meskipun memang tidak ikutsertanya aku dalam pertandingan ini adalah inginku sendiri, rasanya canggung banget! :((

"Sedih Juga ya, kita cuma jadi penonton." seolah tengah membaca pikiranku, Uni Aulia membisikiku, aku hanya mengangguk sambil tersenyum. kemudian, datanglah Keke, atlet asal Padang yang musim ini turun membela Kab. 50 Kota

"Kakak, kok nggak main?"

"Hehe" cuma itu yang bisa kujawab.

"Sayang loh, prestasi lagi di atas, tapi berenti gitu aja."

Makjleb! Keke! plis lah, nggak usah bikin aku gamang gini sama keputusanku sendiri dong...

"Karena udah hijrah ya kak?" aku senyum saja menanggapi.

"Eh, tapi kan, musim kemarin, kakak udah hijrah juga, masih tetap ikutan tanding kok."

"Iya, ya."

Uni Aulia akhirnya ikutan menimpali, "KONI Solok lagi bermasalah kemarin Ke, jadi kami nggak bisa berangkat. Tapi iya sih, Si Lusi ini udah ditelponin, bilangnya nggak mau turun. Padahal kan sayang."

"Oh, ada masalah, tapi, besok-besok masih main kan, Kak?" Keke mengejarku dengan pertanyaan lagi.

"Masih ragu, Ke. Niatnya emang yang kemarin itu terakhir kakak main, tapi nggak tau juga. hehe"

"Jangan dong, kak. Kan sayang. Apa nggak canggung, cuma jadi penonton sekarang?"

Iya ke, semakin lama ngobrolin ini, aku jadi pengen main lagi.

***
Hari ini, pertandingan tunggal semi final, dilanjut final akan digelar, sebelum kemudian dilanjut dengan double dan mixed double. jadi teringat, dulu pernah berada di fase ini. ah... canggung sekali rasanya, aku jadi pengen megang bet lagi 😢




Rabu, 16 November 2016

Aku menyadarkan diriku

Dengan apa lagi kusembunyikan raut wajah kecewaku kala mendapati pernyataan menyakitkan datang dari orang lain, mengulang kalimat pedasmu yang melebihi silet itu?
Sudah kutarik ujung bibir untuk dapat membuat senyum, tapi masam. Jatuhnya malah lebih menyeramkan.

Memang rasanya adalah sebuah kesalahan besar mempersatukan kita dalam satu petak yang sama, kamu jadi sering terlihat, dan –mau tidak mau bercengkerama. Kenapa tidak menolak? Hey! Sudah berupaya kulakukan. Tetapi tetap saja bukan aku yang berkuasa di sini.

Aku masih ingat dengan jelas bagaimana aku mencoba meyakinkan, bahwa kita memang lebih baik tidak bersama. Tetapi membuang kaloriku. Semua tidak berhasil. Sudah lebih 10 bulan lamanya menjalani hidup bagaikan dalam neraka. Semua sungguh tidak mudah untuk berpura-pura bahwa semua baik-baik saja. Karena memang tidak pernah sebaik yang kutampilkan. Aku tertindas di sini.

Tapi satu hal yang tetap kupastikan. Tiada satu kata pun mau kubagi dengan siapapun, tentang keluhanku selama ini padamu. Biarlah, kusimpan semua yang tidak menyenangkan ini. Aku lebih memilih mengalah, dari pada menambah-nambah masalah.

Tapi apa yang baru saja kudengar? Cacian yang tidak seharusnya kau ucapkan kepada mereka-mereka yang tidak mengerti kita. Membuatku terlihat begitu hina. Kamu membongkar keseharian kita yang entah kenapa itu tak sesuai fakta, tentang kerusakan yang aku lakukan padamu, yang bahkan aku lupa, memang apa yang kulakukan?
Dan, ini bukan untuk yang pertama kalinya kamu lakukan.
Dengan seringnya mendengarkan kalimat seriusmu tentangku, mereka pasti bilang, aku ini monster bertopeng setan. Busuk dan menyeramkan!

Ternyata seperti ini hidup yang tengah kita jalani.

Aku menyadarkan diriku sekali lagi, bahwa tidak akan mungkin 
memiliki hidup yang benar-benar sempurna. 
Dan kalimat “Semuanya baik-baik saja” tidak pernah benar-benar ada.

Senin, 14 November 2016

Ada

Ada orang yang memilih untuk tidak mengeluhkan kesahnya, karena tidak ingin melihat kecemasan terpantul dari wajah orang lain karenanya, atau tidak ingin terlihat lemah, atau mungkin ia tak percaya bahwa benar-benar ada orang yang peduli akan sakitnya.

Ada orang yang memilih lebih terbuka dengan terdekatnya. Membagi kesah hanya kepada orang-orang sekitar yang benar-benar mendapati kepercayaan darinya. Tujuannya? Mungkin dengan hanya membagi kesah, hatinya sedikit lega.

Ada orang yang memilih terbuka dengan siapa saja yang dikenalnya. Menceritakan keluhannya, membagi kesahnya, tanpa beban dan kekhawatiran. Karena baginya, ia telah melepaskan sebagian bebannya dengan keterbukaannya.

Apapun keluhannya, bagaimana pun wujud kesahnya, setiap yang bernyawa pasti pernah terkurung di dalamnya. Merasa sedih, sepi, seakan mati. Ada yang berat sampai tidak kuasa berdiri, ada yang masih bisa diatasi oleh lapang hati. Aku pun, dan kamu juga.

Kamu, yang entah sedang apa dan di mana saat ini, yang masih kusebut dalam doaku pada Illahi, semoga kelak hatimu yang mungkin sedang tersakiti, bisa kembali berdiri. Tegar menjalani aktivitasmu sebagai makhluk Illahi Robbi.
Dan, entah dengan cara apa,
aku selalu mengharap padaNya, segera bisa dipertemukan dalam rangkaian kita.
Sehat dan selalulah berbahagia di sana. 😊
Ingatlah aku di sini ada!

Minggu, 13 November 2016

Dear...

Dear…
Gadis lugu berwajah sinis
Apa kabarmu? Sudah lama sekali kamu menghilang dari pandanganku,
Tidak, mungkin memang secara langsung aku tak dapat menatapmu, tetapi aku tahu, dari foto yang barusan kulihat, kamu sedang beristirahat di pangkuan selimut saat ini
Yah, meski kamu menghilang dari pandanganku, kamu tetap hidup dan sehat dalam sanubariku

Ada hal apa, sayang, sampai kamu memilih untuk tidak kembali ke kota kecil ini dalam waktu yang tidak singkat? Baik-baikkah kamu di sana?
Semoga saja kecemasanku tidak pernah terjadi, walau sejentikpun rasa sakit itu.
Kamu mau tahu?
Banyak hal berubah di sini semenjak kamu memilih diam bersembunyi
Aku dan satu lagi sahabat kita, hampir mati berjuang berhadapan dengan monster. Hebat bukan? Monster!
Di tengah-tengah napas tersengal, kami pasti berandai, “Andai gadis jutek itu ada di sini, kita tidak akan dibiarkannya mati seperti ini.”
Yah, kami memang sangat tergantung padamu.

Kamu tau? Gedung tempat mengadu nasib terakhir kita, sudah banyak kemajuan.
Terakhir, kamu hanya tau ada tiang-tiang yang didirikan, kan?
Sekarang sudah ada dindingnya, sebagian juga sudah punya atap. Duh… aku jadi membayangkan, kita dapat menelusup nanti ke ruangan beraroma khas bangunan baru, untuk hunting foto,nanti kita beri caption “Si penyusup gedung sang petinggi!” keren ya?
Makanya, kamu cepat ke sini, jangan sampai ada orang lain yang mendahului kita ‘membismillahi’ gedung itu!

Dear cintaku…
Gadis sombong berhati lembut
Marahkah kamu padaku?
Sudahlah, perbincangan kita tempo hari tidak usah menjadi wacana panjang dalam benakmu
Aku tahu kamu membenci kalimatku, tapi aku hanya kasihan padamu, oh maaf, bukan kasihan, aku terlanjur sayang padamu.
Bukan maksudku meremehkan statusmuu. Bukan sama sekali!
Aku hanya ingin kamu bisa mengenal sosok bernama laki-laki.
Tentu, ada secuil laki-laki baik di dunia ini, yang aku yakini dia adalah salah satunya.
Kenapa tak kamu coba mengenalnya dahulu? Mungkin kamu bisa menilainya menyenangkan?

Dear sayangku…
Gadis aneh si penyendiri
Maafkan aku, orang yang menamai dirinya sahabatmu
Jangan pergi karena marah padaku, karena banyak teman-temanmu di sini mencarimu,
Mereka membutuhkanmu…
Keluarlah dari persembunyianmu, kembalilah ke kota kecil kita ini,
Ingat! Dosen pembimbing menagih tesismu yang belum kelar. Hehehe

Cepat balik, cerewet!


*surat elektronik dari seseorang, yang merasa bersalah begitu diriku tiba-tiba tidak kembali selama lebih satu bulan. Ditulis ulang dalam bahasa yang lebih dramatis, biar lebih manis dibaca (karena bahasa aslinya kasar banget, ya Allah 😭😭)

Mati Berdiri

Sial!
Bulan November... Sudah 13 hari berlalu begitu saja. apa aku harus mati saja? Agar tidak lagi mendengar pertanyaan –lebih tepatnya interogasi memekakkan telinga dan menggalaukan hati
Tapi, mati bukanlah solusi, bukankah seharusnya aku bertanggung jawab, menjawab semua interogasi yang akan kuterima? Tapi sepertinya aku tidak sanggup menjalani ini sendiri, aku terlalu tidak mampu untuk itu.

Sudah tiga belas hari, dan aku masih diam di sini. Teronggok seperti sampah tanpa arti. Ah… sebenarnya aku ini apa? kenapa susah sekali mengajak tubuhku bergerak? Kenapa susah sekali membawa kakiku melangkah? Kenapa hatiku sepertinya beku? dengan apa lagi ia mampu kulelehkan agar hangat dan menyamankan?

Sungguh aku ingin mengakhiri semuanya. Karena mungkin memang kutak mampu menyelesaikan semua hal sulit ini. Tapi, aku tidak bisa sendiri. Menanti siapa saja mengulurkan tangannya padaku? Terlalu lama menanti, aku bisa mati berdiri.

Kamis, 10 November 2016

tidak akan

Katakanlah,
Apakah aku memang lebih pantas untuk pergi, atau masih ada yang berharap aku masih di sini.

Kalau ditanya pilihanku? Kamu dan hal-hal yang pernah kita lalui adalah alasan untukku agar bisa menetap lebih lama lagi. Bukan karena takut tidak terbiasa dengan tempat yang baru, karena bagiku mudah saja untuk menyesuaikan diri dengan rasa sunyi yang mungkin akan sama. Hanya saja, rasanya, segala yang pernah ada menjadi kasur empuk yang sudah melekat dengan hobi tidurku –sayang, jika harus ditinggalkan begitu saja.

Aku masih ingin bertahan di sini, menanti kemungkinan sekali lagi untuk bisa menjadi satu genggaman denganmu. Genggaman yang beriring, bersisian, tentu dengan visi yang satu.

Aku sudah memperjuangkannya sepenuh hatiku. Melakukan hal-hal yang mungkin gila, agar tak pernah kamu menginginkan jauh dariku. Karena sangat tidak mudah untuk jauh darimu. Canggung.

Berkali-kali aku jatuh dalam perjuanganku, aku mencoba menghibur diriku. “Jangan sedih, jika semesta sedang mencoba membuat semangatmu patah” dan itu berkali-kali berhasil. Namun sekarang, sepertinya itu tidak mempan lagi. Ada yang membuatku tersadar akan suatu hal, ternyata aku terlalu percaya diri bahwa aku masih penting di sini. Entahlah, kamu yang sepertinya sudah terlebih dahulu ikhlas jika kepergianku adalah nyata, membangunkanku.


Jika nanti pada akhirnya memang aku harus pergi, percayalah bukannya aku ingin meninggalkanmu di sini. Kau dan segala yang pernah ada selalu kubawa. Karena bagaimana pun jauhnya, jarak tidak akan pernah menghapus tentang kita.

Kamis, 27 Oktober 2016

Rindu adalah Hujan

Sepakatkah kamu
Bahwa...
Rindu adalah hujan
Datang menyerang, tanpa perlu persetujuan
Dentingan di atapnya menyanyikan nada sunyi
Dingin yang mendatangkan hawa sepi
Tiba-tiba menyusupi hati

Aroma tanah basah pembawa nuansa
Kenangan memantul di permukaannya
Tentang keberadaanmu, kisah lama

Rindu adalah hujan
Merintik, melebat, membuat genangan...

Dan kau hujan, datang sendiri di malam kelam
Dalam diam
Akulah genangan air
Menantikan rintikmu..
Bergenggaman dalam tempias hujan

Selasa, 25 Oktober 2016

Mimpi

Memiliki mimpi dalam tidur sendirimu, menjadi teman istirahat malam panjang, tempat menyandarkan lelah hari sebelumnya dan menggantungkan harapan untuk hari selanjutnya.

Mimpi semalam, mengingatkan aku bahwa kamu masih ada di sudut tak terlihat dalam hati ini. Bahwa ternyata masih saja aku punya harapan untuk dapat melihatmu bersamamu lagi.

Tiada yang salah dengan memiliki mimpi, meski aku selalu takut setiap kali mimpi datang lagi, aku tetap saja menikmati, apalagi itu mimpi tentang kamu.
Tentang harapan yang lama kugaungkang ke langit dalam barisan doaku menuju Ilahi. Harapan tentang masa panjang yang masih jadi teka-teki.

Aku menikmati, pun juga terselip rasa takut akan kesenangan sesaat yang muncul, akan kembali hilang bersama bayang-bayang mimpi yang segera lenyap begitu terbangun.

Terima kasih mimpi, kau hantarkan ia masuk dalam mimpiku, memberi kesempatan beberapa menit untukku melihat kembali senyuman renyah khas miliknya.
Membawa otakku memerintahkan bibirku untuk tersenyum senang.
walau sesaat.
Walau hanya mimpi.

Selasa, 20 September 2016

Si Cantik di Kepulan Asap

Nyaman. Aku masih menikmati kesendirianku di kedai kopi langgananku, tempat aku selalu melepas penat sepulang kerja, –sebelum  kembali ke rumah. Apa yang membuatku menjadikan tempat ini kunjungan wajib di sore hari? Aroma intim dan kelana rasa nikmat dari atmosfernya telah memberi rasa nyamanku mengadukan penat seharian dengan rutinitas kantor yang terkadang membawa stres bersarang di kepalaku. Melepaskannya seiring kepulan asap menguap dari cangkir kopi. Terlebih dari aroma dan atmosfer kedai kopi ini, furnitur dan ornamen kedai kopi ini cocok untuk menarik minat setiap pengunjung berlama-lama dan santai dengan kopi mereka masing-masing. Meski mereka datang sendiri, –sepertiku yang selalu begitu, pengunjung tidak akan pernah merasa bosan. Ada beberapa buku kuno bernuansa filosofi kopi, atau novel-novel modern yang juga memuat cerita senada. Kurasa, pemilik kedai kopi ini sudah menghabiskan banyak waktu untuk mengoleksi semua ini, dan tentu ia adalah pecinta kopi sejati.
Tidak hanya sekadar kedai kopi biasa, di sini, kopinya berbeda. Tidak kutemukan di seduhan kopi yang coba kubuat sendiri di rumah, atau dari kopi di tempat-tempat makan biasa. Kopi yang enak dan pas untuk penikmat kopi. Kedai kopi ini tidak terlalu ramai, tetapi selalu ada pengunjungnya. Sudut-sudut favoritnya tidak pernah kosong.
Ada secangkir kopi hitam hangat yang sudah tinggal seperempat dan kentang goreng yang tinggal beberapa biji di atas meja. Ku arahkan pandangan ke luar jendela yang berembun terkena tempias hujan. Langit kotaku sedang sendu semenjak siang tadi. Untung tidak sampai banjir.
Kusapu embun yang mengaburkan pandanganku ke luar. Kedai kopi yang berada di perempatan jalan, menghadap ke sisi persimpangan yang identik dengan perhentian dan perjalanan kembali kendaraan., identik dengan lampu lalu-lintas. Aku melihat seorang perempuan dengan payung berwarna hitam berjalan menuju sisi trotoar, mungkin ia hendak menyeberang. Iseng, kuamati gerak-gerik perempuan itu. Wajahnya pucat, kuramalkan karena di luar begitu dingin dan ia lupa memakai riasan walau sekadar lipstik. Sungguh pun demikian, wajahnya tetap menarik dan cantik. Ah, mungkinkah kecantikannya yang membuatku tertarik memerhatikannya berlama-lama? Kuperhatikan lagi perempuan yang mengenakan baju terusan sebetis itu hanya diam di samping lampu merah. Mata indahnya terlihat kosong, apakah yang sedang dipikirkannya? Entahlah.
Kuseruput kopi terakhirku dan meraup seluruh kentang goreng ke dalam mulutku. Hujan sudah mulai mereda. Aku harus segera pulang, kalau tidak ingin hujan kembali mengurungku di sini. Kuletakkan kembali buku yang tadi sempat kubaca di tempatnya semula. Kulupakan sejenak perempuan yang masih berdiri di samping tiang lampu lalu lintas itu. Kutinggalkan bersama cangkir kopiku yang sudah kosong.
Keesokan harinya, –seperti rutinitasku biasa, aku kembali ke kedai kopi. Rasanya menyenangkan menghabiskan sisa soreku untuk duduk berlama-lama menikmati kopi sambil memperhatikan kehidupan lalu lintas di sekitarku. Sesekali menghisap satu-dua batang rokok pelepas suntuk.
Aku kembali memilih tempat duduk favoritku, –di samping meja yang tepat mengarah ke arah jalan, kebetulan tempat itu selalu kosong di jam-jam segini. Seolah-olah seluruh pelanggan di kedai kopi itu sudah mematenkan tempat ini adalah milikku kalau sudah sore di ambang senja begini. Setelah pesananku datang, aku tidak langsung menikmatinya, karena kopinya masih terlalu panas, asapnya mengepul di bibir cangkir. Kutelusuri asapnya, sambil meluruskan pandanganku ke luar jendela. Samar-samar, wajah cantik itu tampak dari balik kepulan asap. Kutinggalkan sebentar meja dan santapan soreku untuk membersihkan ujung kemeja dan celanaku yang tadi terkena cipratan hujan ketika mencari parkir motor.
Di dalam toilet aku bertemu dengan dua orang lelaki yang sepertinya tengah membahas sesuatu. Sambil berpura-pura khusyuk membersihkan pakaianku, dengan iseng kubagi pendengaranku dengan obrolan mereka
“Kamu melihat perempuan cantik itu lagi, kan?” tanya si pemilik baju berwarna merah. Ah, meskipun bajunya merah, tetap saja hari ini kembali hujan.
“Iya, seperti biasa, ia hanya berdiri dengan tatapan kosong di sana.”
Mengetahui topik pembicaraan mereka, kupertajam pendengaranku.
“Ternyata bukan cuma aku yang tertarik dengan kecantikannya, kau memerhatikannya juga?” si baju merah menyeringai lebar, sepertinya senang mengetahui bukan ia satu-satunya yang suka memperhatikan perempuan di bawah tiang lampu lalu-lintas itu.
“Iya, karena tiap hari ia berdiri di sana, aku pun jadi tertarik memerhatikannya. Kamu?”
“Ya… selain karena ia memang cantik, aku lumayan penasaan dengan ekspresi yang selalu kutangkap dari wajahnya. Penuh misteri dan mengundang rasa ingin tahu.”
“Kamu kepo juga, ya!” Keduanya kemudian tertawa bersama.
Setelah beberapa saat terdiam, “Apa yang ia lakukan?”
“Menjemput anaknya.”
“Anaknya yang mana? Kemarin gue lihat dia cuma mematung di sana, nggak ada anak-anak, tuh.” Kejar si baju merah makin penasaran.
“Anaknya sudah meninggal setahun lalu.”
“Ha?”
“Iya, kudengar anaknya meninggal karena tertabrak mini bus tahun lalu. Ketika itu ia terlambat menjemput anaknya pulang dari sekolah. Dan entah kenapa, anaknya pulang saja sendiri dan mencoba menyeberang di depan sana. Mungkin ia sangat menyesal karena tak memprioritaskan anaknya yang harusnya ia jemput ketika itu. Makanya, ia menghabiskan waktu untuk berdiri di sana. Menunggu anaknya datang.”
“Yaampun.”
Tidak ada perbincangan lagi. Kedua lelaki itu menyudahi percakapannya dan meninggalkanku di toilet sendirian. Aku pun beranjak keluar beberapa saat setelahnya. Teringat kopiku pasti sudah tidak panas lagi menunggu di samping jendela.
Aku terduduk cukup lama menatap kopiku. Masih terngiang percakapan dua orang di toilet tadi. Entah kenapa hatiku ikut perih. Sambil menikmati kopiku yang sudah hampir dingin, aku kembali melihat perempuan itu, perempuan manis berwajah pucat yang berdiri di samping tiang lampu lalu lintas di seberang jalan. Terusan sebetisnya sudah basah terkena tempias hujan yang jatuh dari payungnya ke genangan air. Hujan turun sangat deras sore itu.
Tiba-tiba perempuan itu menjatuhkan payungnya, terlihat tubuhnya mulai goyah. Rintikan hujan tiada ampun merajam tubuhnya. Melihat pemandangan itu, aku bersiap-siap demi memikirkan kemungkinan buruk yang akan terjadi. Tidak lama tubuhnya terduduk lesu.  Aku keluar kedai kopi sambil berlari menuju perempuan itu. Tak kupedulikan bunyi klakson dan teriakan marah pengendara begitu aku menyeberang seenaknya.
“Bangunlah…” aku mendekap perempuan lemah itu. Dari dekat, baru bisa kulihat mata bening dan indahnya berkaca-kaca dipenuhi air mata. Banyak duka dan derita tersorot dari sana, yang sudah ia simpan selama setahun belakangan.
Kudekap makin erat tubuh yang dingin itu, “Kak, bangunlah… ayo kita pulang, Jasmine tidak akan kembali lagi.”
Mulut beberapa orang yang mungkin juga selalu memerhatikan sosok kakakku satu-satunya dalam beberapa bulan belakangan, terbuka begitu mendengar kalimatku. Ada kalimat bisikan yang kudengar, “Jadi dia adiknya?” ada lagi kalimat lain seperti “Loh, bukannya setiap sore dia selalu memerhatikan perempuan itu? tetapi malah diam saja, ternyata adiknya?”

Kuangkat dan kugendong kakakku untuk menyetop taksi yang lewat. Aku ingin segera membawanya pergi dari sana, tubuhnya mulai menggigil, geliginya bergemeletuk dan menyeracau tidak jelas. Kusandarkan kepalanya ke badanku demi menyembunyikan air mataku yang mulai menitik dari balik kepalanya.


Kamis, 15 September 2016

Pagi

Malam dengan kotak-kotaknya telah memberikan pelajaran
bahwa yang tidak ingin terus ada, akan kemudian pergi.
dan pagi menampilkan segala riuh
tentang jejak langkah yang kian menjauh

Pagi dihiasi embun
dengan kristalan-kristalan
sebutir air menduduki selembar daun
berkilauan diterpa surya yang perlahan menyapa
membangkitkan dari malam yang getir
bahwa surya masih bersedia
memberi kehangatan untuk lanjutan kehidupan

Rabu, 31 Agustus 2016

Sewajarnya

Ketika kamu merasa bahagia memiliki kehidupan yang sempurna, –dengan begitu banyak orang yang benar-benar peduli berada di sekelilingmu, Pernahkah kamu mencoba membuka mata lebih lebar lagi? Keluar dari lingkaran lingkungan yang mengerubungimu. Menebas dinding tinggi yang menghalangi pandanganmu. Mungkin, ada di luar sana, di sekitarmu yang tidak pernah mendapat perhatianmu, ada sosok yang tengah sepi dan terasingkan.
Apa yang kamu pikirkan ketika mendapati pemandangan demikian?

Mereka tentu dapat melihat dengan jelas bagaimana kamu begitu bahagianya, tertawa lepas dan melayang sambil menari-nari, karena tidak ada sekeliling yang melingkarinya untuk menghalangi pandangannya menujumu. Kamu tahu, apa yang mereka pikirkan ketika meihatmu terlalu nyaman dengan lingkungan sempurnamu? “Mungkin orang yang terlalu bahagia menunjukkan kebahagiaannya lupa, di sekitarnya ada orang lain yang sedang berusaha dengan keras untuk tidak ketahuan dengan luka di hatinya”.

Kembali lagi, bagaimana perasaanmu? Apakah masih ingin menunjukkan pada dunia betapa bahagianya dirimu dengan kehidupanmu yang tanpa cela?
Layaknya kesedihan dan kesusahan yang akan segera berlalu. Berbahagialah sewajarnya, mungkin kau bisa lebih bijak demi memikirkan perasaan orang-orang yang tidak sengaja terluka hatinya melihatmu tertawa begitu bahagia.

Minggu, 28 Agustus 2016

Kepingan Puzzle

Kamu pernah menjadi bagian dari kepingan puzzle hidupku. Ambil bagian penting di beberapa keping, dan beberapa keping lagi menjadi bagian yang kurindukan. Terkadang kamu harus pulang dan hanya ada aku sendirian di kota rantauan kita. Menunggumu di depan pintu sambil sesekali mengecek ponsel, kalau-kalau kamu memberitahu akan datang. Biasanya, tidak lama menunggu, aku sudah bisa tersenyum mendapatimu datang membawa tentengan yang sudah pasti isinya oleh-oleh buatku. Itu biasanya.
Kali ini tidak ada lagi. Tidak pernah lagi: aku menunggumu, dan kamu akan datang. Semua telah berbeda. Sudah setahun. 
Ah... waktu yang memperjelas, atau memang kita yang sudah berubah?

Jarak.
Mengapa dalam jarak yang sudah semakin jauh, Tuhan mengizinkan aku sekali lagi mengingat kenangan bersamamu? Mungkinkah ini seperti memberi harapan bahwa kita mungkin masih saja bisa memperbaiki kolase yang sudah kita sama-sama pecahkan?

Aku tidak menulis untuk membahas penyebab retaknya kepercayaan di masing-masing kita, hanya kuingin memberitahumu, tiada pernah hatiku memberi ruang untuk benci padamu sedikitpun. Kesalahan yang ada padaku, menjauhkanmu. Kesalahan yang ada padamu, mendiamkanku. Namun mengapa kamu langsung pergi menjauh? Mengapa tidak ingin mencoba berbicara, menanangkan hati masing-masing, atau mengulang untuk tertawa bersama, memberi irama pada hati yang mulai beku?

Sudah setahun kamu pergi. Memang tidak ada hal buruk yang terjadi padaku, aku pun masih dapat bernafas. Hanya saja, mungkin kamu lupa, kalau kamu adalah pemegang setengah kepingan puzzle hidupku. Kepingan puzzle yang menjauh demi menghindari keributan antara kita.

Semalam, tetangga kamar kos membeli sebuah puzzle dari toko buku. Kami membuat permainan siapa yang paling cepat menyusun-nyusun kepingan puzzle yang sudah diacak, permainan berjalan lancar, sampai akhirnya tiba giliranku, permainan tidak bisa kuselesaikan, karena salah satu puzzlenya tiba-tiba saja menghilang.

aku jadi teringat akanmu. kapan kamu akan kembalikan kepingan puzzleku?

Jumat, 19 Agustus 2016

Mungkin

Mungkin kita pernah sama-sama merasakan hidup yang panjang melelahkan yang kita lalui dengan begitu banyak aktivitas, ternyata tak berpihak pada kita.
Saat sebuah keinginan kecil tak jadi kenyataan
Saat memiliki harapan berujung kekecewaan
Saat semua yang dimiliki perlahan menghilang
Laksana berada di tengah padang di terik siang,
Diam tak memberimu apa-apa, berteriak meminta pertolongan malah membuat semakin dahaga
Atau ketika kita berlarian penuh ceria di bibir pantai, namun tiada teman untuk berbagi keindahan.
Apalah arti sedih pun bahagia, jika tak ada satu orang pun untuk berbagi akan nya?

Mungkin kita pernah sama-sama merasakan, merasa begitu sepi di dalam benak sendiri. Membuat lupa cara tersenyum karena dirasa rugi tak ada juga tempat untuk berbagi. Duduk tersudut memangku kaki, menekur, membenam duka dalam sunyi.

Atau... berdiri di samping bangku dekat jendela, kemudian melangkah memunggungi kaca yang berembun terkena tempias hujan. berjalan pelan menuju kamar yang digerogoti kesunyian. Berharap bisa menuliskan catatan tentang hujan di bulan ini: perihal aku, kamu, dan kehilangan tanpa salam perpisahan.

Kepergian dan kehilangan adalah bagian paling menjemukan.
Aku sudah terlalu bosan menjalani malamku dengan cerita-cerita kesedihan, hingga air mataku rasanya sudah jenuh untuk menetes.
Maka inilah yang aku lakukan sekarang, menuliskan setiap kenestapaan dalam menghadapi kehilangan.
Mencoba menghapus jejak kekecewaan, berpaling mengikhlaskan.

Selasa, 16 Agustus 2016

Debar

aku yakin
kita sama memiliki debar
bedanya, kita tak saling menyamakan persepsi kita tentang kehadiran.
kehadiranmu memiliki irama debar yang berbeda, tanpa hadirmu, debarku berujung kerinduan.
akankah kehadiranku begitu jua untukmu? mungkin tidak.
karena aku terhalang bayang ribuan orang yang berlalu-lalang di sekitarmu
bak debu yang beterbangan tanpa arti
mungkin tampak, sekilas, tetapi tiada pernah terasa kehadirannya, apalagi terperhatikan.
lantas, debarmu kepada apa?

Sabtu, 13 Agustus 2016

Dulu

Aku masih saja terlena dalam buaian angin lembut membelai kulitku.
Terduduk membeku menatap lurus ke luar jendela kamarku.
Iya, aku sendiri. Dan sepertinya memang sudah mulai terbiasa sendiri.
Memang siapa lagi yang sudi masih di sini? Saat semua impian sudah mulai dapat diraih satu- per satu, kamu memilih hengkang. Berpisah denganku yang masih jauh berbeda.

Kamu ingat tidak? Dulu, hampir setiap hari kamu selalu datang walau sekadar menumpang rehat dan mengobrol di tempatku. Tidak jarang juga kamu memintaku menemanimu kesana kesitu mengurus urusan ini itu. Aku menurut. Kamu selalu memberi embel-embel, "Temani aku dulu, kalau aku sudah selesai, kamu pasti akan kutemani balik, tidak akan kutinggalkan." 

Aah.. aku jadi terlihat seperti seseorang yang haus budi, seolah-olah kalau tidak kau katakan kalimat demikian, aku enggan menemanimu? Tidak, jangan seperti itu. Aku tulus menerima keadaan itu dulu.
iya, dulu, saat kamu masih menyenangkan menjadi temanku, masih mau berbicara denganku, masih mau meminta pendapatku tentang apa apa.

Itu dulu, saat aku kelimpungan menenangkan debarmu yang kau bagi, mengusir kecemasan. Saat kamu masih butuh aku. Hingga ketika kamu sudah bisa meraih semuanya mendahului aku. Mendapatkan teman-teman baru yang juga sudah sama-sama lulus berjuang. Kamu mulai berubah pongah. Kamu mulai melupakan tempatku, dan aku. Kamu menjauh, tidak pernah lagi berkunjung untuk melepas penat.

Terpaan angin mulai menguat, kulitku teriris dinginnya. Menyadarkan aku yang masih terdiam di belakang jendela, mengingat kalimat janjimu dulu, bahwa kamu, tidak akan meninggalkanku. Mungkin kamu memang tidak berbohong tentang itu. Buktinya, dulu kamu selalu bersamaku. Dulu.

Sebuah undangan terjatuh dari tanganku. Undangan pernikahan yang kuterima sore tadi dari teman seangkatan dengan kalimat asing, "Kalau tidak sempat datang, juga tidak apa-apa." sebenarnya apa maksudnya? apa kamu berniat mengundangku atau tidak? Apa kamu tidak ingin lagi aku ada di sampingmu bahkan di hari bahagiamu?
Duh... aku jadi merindukan kamu yang dulu.

Kamis, 11 Agustus 2016

Jangan Mau Bertahan, Jika Enggan

Kita pernah, memilih dengan lugu untuk terlihat terlalu kasihan hanya karena bertahan pada kondisi yang sebenarnya mengganggu dan menyiksa batin.
Kita mengorbankan banyak hal untuk itu. Waktu, tenaga, pikiran, terlebih perasaan.
Ketika ketidaknyamanan saja tidak cukup menjadi alasan kita untuk meninggalkan, apakah masih ada pertolongan?
Mengapa kita masih bertahan? Apa karena "tidak ada pilihan lain, saya bertahan" yang masih menjadi penahan kaki kita untuk hengkang?
Jangan terlalu naif, kita memiliki pilihan sendiri untuk memutuskan sesuatu, apalagi yang berhubungan dengan hidup kita sendiri. Terlalu lama berada di posisi tidak mengenakkan akan berdampak tidak baik juga untuk diri kita nantinya.

Jangan mau bertahan, jika sebenarnya hatimu enggan.
Engkau berhak meninggalkan.
Engkau boleh berpaling arah.
Hidup sekali, jangan dibuang sia-sia hanya karena kita tidak berani mengambil resiko, keluar dari zona nyaman.
Eh, tetapi ini juga bukan kategori nyaman, karena sudah enggan.

Lepaskan keluguan, mulailah memutuskan.
Tinggalkan keraguan untuk melepaskan.
Jangan mau bertahan, jika enggan.

Senin, 08 Agustus 2016

Sesaat

kita bertemu baru saja. di ambang senja yang mendung, tanpa kehangatan semburat jingga.
kita berpisah baru saja. saat kegelapan dan dentingan suara tetes-tetes air hujan mulai mencuat.
kita bertemu ketika ingin bertemu, dan berpisah dengan terpaksa. bukan karena keinginan. ya, dipaksa keadaan.
...
saat itulah kulihat sinar ceria matamu yang pertama kali kulihat saat kita bertemu meredup.
pipimu, membulat karena tidak suka dengan perpisahan ini. ingin rasanya jemariku membelai lembut pipimu. tapi aku terlalu malu dengan lingkungan.
"kita akan bertemu lagi, nanti, kan?" rajukmu.
aku mengangguk ragu. takut berkata "tidak" demi tak melihat lagi embun di pipimu. sudah cukup rasanya kamu menunggu kesempatan untuk bertemu aku, sudah terlalu banyak air mata yang kau keluarkan untukku. aku tak ingin menambahkannya lagi. namun, untuk berjanji pun, aku terlalu takut.
"hujan, nanti kamu demam. mari kita pulang dulu." hanya itu yang mampu aku utarakan demi melihatmu melangkahkan kaki yang berat itu.
kita berjalan bersisian hanya sepuluh langkah saja, setelah itu, di persimpangan kita berpisah. kamu berbelok ke arah kiri, aku ke kanan.
aku takut menoleh ke belakang, meskipun sangat ingin. namun, aku tak sanggup melihatmu menangis lagi.
*

Kamis, 04 Agustus 2016

Tujuan

pagi ini, aku berjalan santai menuju kampus
menikmati setiap tapak kaki melangkah
menikmati uap embun dan udara sejuk sisa hujan semalam
kecipak kecil yang diciptakan dari telapak sepatuku memberi irama
ada burung-burung kecil yang bermain di depan
berkejaran, kemudian terbang
ada beberapa mahasiswa yang asyik bercengkerama
bercerita apa saja
dan, kakiku terhenti seketika
ada sesuatu yang menarik perhatiaku
sebutir air yang menduduki selembar daun
berkilauan diterpa surya yang perlahan menyapa
seakan bersuara, "lihatlah padaku barang sejenak"
senyum tersungging begitu saja melihatnya
kemudian teringat, aku harus berjalan lagi
menuju tujuan yang belum terjalang
menjemput mimpi yang harus segera dibenahi
ya... aku harus segera revisi

Senin, 01 Agustus 2016

Hei Agus! Terima Kasih untuk Cahaya Terang di Langit Mendungmu

 Entah kenapa, aku suka hari senin, apalagi hari senin yang tepat di bulan baru. Seperti kehidupan baru yang memberikan kesempatan kita memperbaiki kesalahan di masa silam dan memulai hidup dengan produktifitas yang maksimal.
Seperti hari ini. Sesubuhnya hari aku sudah bangun dan beraktivitas. Dengan harapan hari ini akan baik dan penuh keberkahan jika kumulai dengan bangun pagi. sejak aku bangun, langit lumayan sendu, namun masih bersahabat. Perjalanan hidup berjalan lancar, sampai sekitar pukul sembilan pagi, aku bertemu dengan juniorku di jalan menuju kampus (kenapa aku baru pukul sembilan ke kampus, karena aku tidak tidur di kosan semalam, tetapi tidur di rumah orang tuaku yang jaraknya sekitar 2 jam lebih). Kita bercerita banyak, sambil melepas rindu pasca sudah lama tidak bertemu. Ada titik terang yang aku dapatkan dari pertemuan dan obrolan pinggir jalan itu. Apa? Bahwa hidup memang harus dijalani dengan bersyukur. Terutama aku. Ya, kuakui kisah perjalanan tesisku memang tersendat, tetapi kendalanya hanya ada pada diriku sendiri. Kesibukan kerja dan organisasi yang kujalani menjadi penghalangnya (ditambah sedikit rasa malas, hehe), ditambah aku yang penakut untuk sekadar menghadap dosen pembimbing. Tetapi juniorku yang sudah selesai seminar hasil itu, ia harus mengulang kembali dari awal: ganti pembimbing, ganti judul, ulang menulis proposal dari awal, dan ulang lagi untuk seminar. Dijelaskan bahwa ia memiliki masalah dengan pembimbing duanya –yang sama dengan pembimbing duaku. Ya Allah…
Dengan tanpa maksud menertawakan kemalangannya, aku mengucap syukur berkali-kali pada Allah, setelahnya mengucap istighfar (merasa bersalah dengan banyaknya keluhanku selama ini). Begitu berat masalah yang orang lain hadapi dibanding masalahku.
Sama-sama tersendat di tesis, tetapi pokok permasalahannya berbeda. Setidaknya, aku yang hanya punya masalah dengan diriku sendiri, ya hanya aku dan dirikulah yang harus berdamai. Sementara dia? Dirinya dengan egonya sendiri, pembimbingnya dengan ego pembimbingnya, dirinya dengan ego pembimbingnya. Pasti rumit, sehingga harus mengganti pembimbing dan ulang lagi dari awal.
Sekali lagi, aku bersyukur bukan untuk mentertawakan dia, tetapi mensyukuri nasibku yang ternyata jauh lebih beruntung dari padanya.
Kulanjutkan perjalanan ke kampus, di perjalanan bertemu lagi dengan teman sekelasku dengan pakaian sangat rapi, tetapi tampang orang kebingungan. Kira-kira percakapan kami begini.
“Alhamdulillah.. untung kita bertemu di sini.”
“Kenapa bang?”
“Lusi bantulah abang jadi moderator seminar hasil, ya. Karena tidak ada satu pun teman-teman di tempat.”
Aku yang tahu betul dosen pembimbing satunya sama dengan dosen pembimbing satuku langsung ciut. Terbayang bagaimana nanti bertemu beliau, akankah beliau menginterogasiku kenapa belum juga menghadap untuk bimbingan? Duh…
“Duh bang, tapi kan ada Pak At, Ci takut, ah. Yang lain saja.”
“Nggak ada yang lain, makanya abang pusing nyari. Udah, Lusi sajalah… tolong bantu abang.”
Rasa iba mulai datang, tetapi tetap takut berhadapan dengan profesor pembimbing. Tapi kasihan, tapi takut. Akhirnya seluruh nomor teman-teman yang aku punya, kuhubungi satu per satu, dan NIHIL. Tidak ada yang bisa. Pasrah deh.
Singkat cerita, di saat si Bang Stefen menjemput dokumen seminar ke kantor TU, masuklah Pak At ke ruangan yang ketika itu hanya ada aku di dalamnya. Allah…
“Nah, kemana saja?” kalimat pertama yang lumayan membuatku berpikir keras untuk menjawabnya.
“Kapan lagi mau seminar? Jangan lama-lama, rugi kalau harus bayar uang kuliah hanya untuk menyelesaikan tesis.”
“Iya pak.” Sial! Jawaban yang singkat banget
“Apa lagi yang tinggal? Bersegeralah.”
“Iya, Pak, dikit lagi.”
“Kapan mau bimbingan? Mumpung perkuliahan belum dimulai dan saya masih belum terlalu sibuk.”
“Secepatnya, Pak.”
“Terkejar wisuda September?”
“Wallahu ‘alam, sepertinya tidak, Pak.”
Dan… mulailah aku diceramahi ini dan itu, panjang lebar, sampai keluar keringat dingin, sampai menggigil, dan sampai ada orang yang datang.
Aku takut dengan beliau bukan karena beliau terlalu galak, tidak! Bukan juga karena beliau jahat, tidak! tapi yaaaa…

Oke. Intinya. Terima kasih kepada cahaya terang yang disuguhkan bulan Agustus ini. Dengan pertemuan dengan junior dan wejangan dari dosen pembimbing, akhirnya aku kembali bersemangat menyelesaikan tesisku yang setahun terbengkalai (gila! Lama banget). Buka mata, lihatlah sekitar.. ada banyak pelajaranyang bisa kau cerna. Komitmenlah dengan apa yang sudah menjadi pilihan hidupmu dari awal. Bersyukurlah, karena dengannya hatimu jadi tenang untuk menjalani aktivitasmu. J

Minggu, 31 Juli 2016

Pernah

Aku pernah merasakan kehilangan, bahkan belum sempat memiliki sebelumnya.
Rasa yang kuciptakan sendiri dengan tanpa komitmen telah memiliki sakitnya sebelum sempat bersama.
Bodoh memang, namun tak apa. Toh hati tidak pernah minta izin terlebih dahulu ia akan tertarik pada siapa.
Wajar.
Kini kurasakan semua luka itu secukupnya. Sesekali berteriak dan menangis sekencang-kencangnya.
Akan menjadi pengingat diri, bahwa ada beberapa hal seperti itu, bagaimana pun kita berusaha meraihnya, tetap tidak bisa dipaksakan.

Ikhlaskan, Layaknya bunga yang tetap setia bermekaran di musim semi, meski akan tahu musim gugur selalu datang.

Senin, 25 Juli 2016

Kesalahanku

sudah  empat puluh delapan hari semenjak kita bertemu untuk pertama kali setelah setahun lamanya berpisah. Ada rindu yang hanya kubungkus dalam kulum senyumku. Entah kenapa meski sudah tiga tahun lamanya semenjak kita pertama kali bertemu dahulu, aku masih setia menyimpan saja rasaku padamu.
Takut? Mungkin lebih tepatnya aku malu. Malu, bagaimana mungkin seorang gadis lugu memulai pembicaraan terlebih dahulu?

Kalau semesta mengetahui kemampuanku menyimpan beban rasa padamu selama tiga tahun ini, mungkin aku akan memperoleh penghargaan karenanya. Memendam tanpa berani menguak kebenaran yang ada. Menjaga hati seolah-olah ia adalah milikmu saja.

Ah... Aku merindukan empat puluh delapan hari belakangan. Kala kutangkap kau tengah menatap ke arahku cukup lama. Tapi bodohnya aku hanya menunduk dan membuang muka. Takut, malu, aku jadi membuang kesempatan untuk hanya sekadar melempar senyum terbaikku padamu. Aku rindu kala berhadapan denganmu. Bukan berjauhan seperti ini. Sayangnya aku tak punya mesin waktu. Itu artinya, aku tidak akan bisa menjemput kesalahanku di masa itu, hingga kini aku menyesal. Iya, andai saja kala matamu mengekoriku, aku ikut menatapmu, memberi senyum, lalu menyapa dengan hangat. Mungkin kita akan akrab, dan bukan tidak mungkin aku akan mengutarakan maksudku padamu. Ahh...

Hari ini, lelaki yang tak kukenal akan datang ke rumahku untuk bertemu orang tuaku. Kamu tau artinya? Ya, aku takut untuk mengatakannya. Aku tak sanggup membayangkannya. Terlebih, aku tak punya daya menolak orang tuaku. Orang tuaku sudah memberiku waktu tiga tahun untuk mencari sendiri dan membawanya kepada orang tuaku, dan aku sudah menemukannya sejak tiga tahun lalu.  Itu kamu. Tapi... Ah sudahlah... Usiaku 30 tahun di tahun ini, dan orang tuaku semakin renta, aku hanya tidak ingin menambah-nambah beban pikiran mereka di usianya sekarang.

Maafkan aku yang tidak pernah bisa jujur padamu tentang apa yang sudah aku sembunyikan selama tiga tahun ini. Ini kesalahan terbesar dalam hidupku. Dan kini, tinggal menunggu waktu hingga aku harus melepaskan bayang-bayang bersamamuu. Melupakan keinginan membina keluarga denganmu. Aku pasrah.

Waktuku

Waktuku

Aku banyak menghabiskan waktu dengan melarikan diri. Menonton film dari bangun tidur sampai tidur lagi, bahkan sampai lupa makan. Mengunjungi tempat-tempat yang mungkin bisa menghibur, atau tidur sepanjang hari demi membuang masa.

Sesekali Mendengarkan lagu yang liriknya sama sekali tak kumengerti, mengangguk-anggukkan kepala seolah menikmati. Berpura-pura.

Sisa hari, saat sinar layar laptop dan ponsel sudah terlalu banyak menyakiti mata, atau alunan nada-nada telah berubah menjadi denging yang memekakkan telinga, aku akan berbaring di lantai kamarku, menatap langit-langit, menangis.

Menganggap bahwa semesta tahu semua yang kurasakan sekaligus merasa tak ada siapapun atau apapun yang mampu memahami apa yang kurasakan. Berkelahi dengan diri sendiri di antara dua pilihan takut untuk menyalahkan atau disalahkan.

Aku sering memikirkan banyak hal yang membahagiakan. Berharap ketakutan akan lekas-lekas pergi dan membiarkan kehangatan kenang menelusup ke dalam jiwa, tapi anehnya, semakin teringat banyak hal membahagiakan yang telah kulewati selama ini, makin kuat rasa menyalahkan bersarang di dada.

Aku sering memaki diriku sendiri dalam kepalaku. Dengan penuh air mata dan kemarahan, aku menampar, menerjang. Beratus kali. Hingga membuatku yang tertampar melemah. Yang ujung-ujungnya kembali mengeluarkan air mata.

Entah bagaimana lagi aku menahan sesak di dada ini. Tiap detik yang berharga tetap terbuang percuma hanya karena kecemasan yang ditimbulkan karenanya. Rasanya, aku ingin menyerah tapi takut disalahkan. Untuk tetap berjuang, aku malah menyalahkan diriku sendiri yang ternyata tak mampu melakukan.

“Kenapa kamu begituu tolol untuk berjuang? Kamu mau disalahkan dengan hanya diam?”

Kemudian hening.


Sekali lagi kubiarkan kesedihan merayakan dirinya sendiri di langit-langit kamarku. Menguap.

Rabu, 20 Juli 2016

Rindu

“Kita pernah, —di negeri yang sesak 
oleh jutaan orang ini— menjadi sepasang 
genggaman membelah awan hingga 
menguak rintikan hujan…”

Rindu bukanlah gurauan yang ingin aku lontarkan. Karena merindukanmu adalah pekerjaan paling mudah dan mengandung candu berdosis tinggi. Banyak hal di sekelilingku hampir tak luput untuk tak memberitahu kalau dahulu tangan kita selalu bergenggaman erat. Seperti waktu itu, di suatu sore yang basah, kita berlarian, mengecipakkan air dari hentakan sepatu-sepatu kita yang sudah kuyup. Bukannya meneduh, kita tetap saja menikmati serangan air yang mengerumuni tubuh kita. Kita tertawa seolah-olah hari itu adalah hari paling membahagiakan dalam hidup kita.

Apa kamu tahu?

Rindu begitu mudah mengundang kenangan. Sekali tawa mengingatnya, setelah itu hanya ada dada yang getir mengetahui bahwa hal itu takkan pernah kembali lagi. Selanjutnya, rindu menghantarkan awan yang memberi ruang pada aliran air merosot dari mataku.

Aku di sini sekarang, di suatu sudut di sisian pantai tempat kita pernah bermandikan hujan melepaskan beban. Saling berbagi mimpi kalau persahabatan kita harus setua nenek-nenek kita saat itu. Menikmati sisa hujan sendirian. Pada waktu dan tempat yang sama ketika tubuhmu terlempar pasca disenggol mini bus berwarna orange.

Tenanglah di sana, sahabatku tercinta…
Maafkan aku yang tidak sigap membawamu menghindar dari hantaman si orange itu.
Aku merindukanmu, lagi.


Selasa, 19 Juli 2016

Senja Bersama Ayah

Sesore ini entah mengapa kakiku kembali ingin menemui sebuah tempat kenangan yang mulai jarang kusapa. Mungkin kalau di tidur siangku tadi ia tak memanggil-manggilku, takkan aku datang sore ini. Akankah ia merindukanku? Atau bahkan ia membutuhkan perawatanku? Sepeda yang setia tersandar di bagasi kukeluarkan. Setelah memastikan ban dan rantainya aman, aku mulai mengayuhnya menuju tempat tujuan. Tempat kenangan.
Setelah menjatuhkan standar sepeda, aku terdiam cukup lama dengan mata mengitari setiap inci ruangan terbuka ini, merasakan hawa sejuknya, aroma udaranya, dan suara khas alamnya. Tempat ini… Dari sinilah ayah dulu mengajariku berenang, mengajariku bunyi gemeletar punggung buaya lapar dan kecipak anak-anak ikan kemuring. Di sini juga ayah mendidikku membedakan suara daun dan suara keciap ular manau, yang menyaru suara katak untuk melahapnya. Sering aku dan ayah menyusupi celah-celah nifah, menyelam di bawah gemerisik pelepahnya, saling menguji ketahanan dengan tidak bernafas.
Bunyi gelak, tawa, dan teriakanku kala ayah mulai iseng berpura-pura mendorongku ke air, kini kembali terngiang di telingaku. Bayangan ayah melompat-lompat menjangkau buah jambu di pohonnya yang tidak terlalu tinggi itu sekilas lewat. Cerita-cerita dongeng serta petuahnya yang selalu ayah sempatkan untuk membaginya padaku, perlahan kembali teringat. Ada sebuah batu besar membelakangi pohon jambu, di sana dahulu ayah sering duduk bersila kaki memangkukan tangan kirinya ke bahuku, dan kita bercerita apa saja. Kurasa, wajahku membentuk raut senyum sekarang demi kenangan hangat tersebut.
...Lamunanku buyar ketika telapak kakiku yang mencelup air dikerumuni ikan nari dan batu tempat aku duduk tidak tersinari lantaran matahari hampir tenggelam. Kulengahkan kepalaku menuju barat demi menikmati hangatnya senja. Jingga warnanya meronakan pipiku yang sudah mengaliri air mata. Sudah setahun semenjak penyakit kronis itu merebut ayah dariku. Tidak pernah mata ini alfa dari air mata setiap mengingatnya. Sosok gagah yang sangat aku banggakan itu kini pasti sudah beristirahat dengan tenang tanpa pernah lagi merasakan sakit yang bertahun menghimpitnya. “Ayah, aku merindukanmu. Begitu banyak beban yang ingin kubagi padamu, kini entah siapa lagi yang dapat menggantikanmu memberikan petuah kehidupan padaku. Yang tenang di sana yah…”

Langit semakin gelap, kuseka air mata dengan punggung pipi yang mulai dingin. Angin mulai usil memainkan ujung rok dan rambutku. Perlahan berjalan meninggalkan tempat penuh kenanganku bersama ayah. Sebelum sepeda kukayuhkan menuju rumah, kepalaku sekali lagi ingin melihat alam indah ini. Tempat terindah dengan penuh kenangan indah bersama lelakiku. Bibirku tersenyum sebelum akhirnya sepeda kukayuhkan dan benar-benar meninggalkan tempat itu.