Selasa, 20 September 2016

Si Cantik di Kepulan Asap

Nyaman. Aku masih menikmati kesendirianku di kedai kopi langgananku, tempat aku selalu melepas penat sepulang kerja, –sebelum  kembali ke rumah. Apa yang membuatku menjadikan tempat ini kunjungan wajib di sore hari? Aroma intim dan kelana rasa nikmat dari atmosfernya telah memberi rasa nyamanku mengadukan penat seharian dengan rutinitas kantor yang terkadang membawa stres bersarang di kepalaku. Melepaskannya seiring kepulan asap menguap dari cangkir kopi. Terlebih dari aroma dan atmosfer kedai kopi ini, furnitur dan ornamen kedai kopi ini cocok untuk menarik minat setiap pengunjung berlama-lama dan santai dengan kopi mereka masing-masing. Meski mereka datang sendiri, –sepertiku yang selalu begitu, pengunjung tidak akan pernah merasa bosan. Ada beberapa buku kuno bernuansa filosofi kopi, atau novel-novel modern yang juga memuat cerita senada. Kurasa, pemilik kedai kopi ini sudah menghabiskan banyak waktu untuk mengoleksi semua ini, dan tentu ia adalah pecinta kopi sejati.
Tidak hanya sekadar kedai kopi biasa, di sini, kopinya berbeda. Tidak kutemukan di seduhan kopi yang coba kubuat sendiri di rumah, atau dari kopi di tempat-tempat makan biasa. Kopi yang enak dan pas untuk penikmat kopi. Kedai kopi ini tidak terlalu ramai, tetapi selalu ada pengunjungnya. Sudut-sudut favoritnya tidak pernah kosong.
Ada secangkir kopi hitam hangat yang sudah tinggal seperempat dan kentang goreng yang tinggal beberapa biji di atas meja. Ku arahkan pandangan ke luar jendela yang berembun terkena tempias hujan. Langit kotaku sedang sendu semenjak siang tadi. Untung tidak sampai banjir.
Kusapu embun yang mengaburkan pandanganku ke luar. Kedai kopi yang berada di perempatan jalan, menghadap ke sisi persimpangan yang identik dengan perhentian dan perjalanan kembali kendaraan., identik dengan lampu lalu-lintas. Aku melihat seorang perempuan dengan payung berwarna hitam berjalan menuju sisi trotoar, mungkin ia hendak menyeberang. Iseng, kuamati gerak-gerik perempuan itu. Wajahnya pucat, kuramalkan karena di luar begitu dingin dan ia lupa memakai riasan walau sekadar lipstik. Sungguh pun demikian, wajahnya tetap menarik dan cantik. Ah, mungkinkah kecantikannya yang membuatku tertarik memerhatikannya berlama-lama? Kuperhatikan lagi perempuan yang mengenakan baju terusan sebetis itu hanya diam di samping lampu merah. Mata indahnya terlihat kosong, apakah yang sedang dipikirkannya? Entahlah.
Kuseruput kopi terakhirku dan meraup seluruh kentang goreng ke dalam mulutku. Hujan sudah mulai mereda. Aku harus segera pulang, kalau tidak ingin hujan kembali mengurungku di sini. Kuletakkan kembali buku yang tadi sempat kubaca di tempatnya semula. Kulupakan sejenak perempuan yang masih berdiri di samping tiang lampu lalu lintas itu. Kutinggalkan bersama cangkir kopiku yang sudah kosong.
Keesokan harinya, –seperti rutinitasku biasa, aku kembali ke kedai kopi. Rasanya menyenangkan menghabiskan sisa soreku untuk duduk berlama-lama menikmati kopi sambil memperhatikan kehidupan lalu lintas di sekitarku. Sesekali menghisap satu-dua batang rokok pelepas suntuk.
Aku kembali memilih tempat duduk favoritku, –di samping meja yang tepat mengarah ke arah jalan, kebetulan tempat itu selalu kosong di jam-jam segini. Seolah-olah seluruh pelanggan di kedai kopi itu sudah mematenkan tempat ini adalah milikku kalau sudah sore di ambang senja begini. Setelah pesananku datang, aku tidak langsung menikmatinya, karena kopinya masih terlalu panas, asapnya mengepul di bibir cangkir. Kutelusuri asapnya, sambil meluruskan pandanganku ke luar jendela. Samar-samar, wajah cantik itu tampak dari balik kepulan asap. Kutinggalkan sebentar meja dan santapan soreku untuk membersihkan ujung kemeja dan celanaku yang tadi terkena cipratan hujan ketika mencari parkir motor.
Di dalam toilet aku bertemu dengan dua orang lelaki yang sepertinya tengah membahas sesuatu. Sambil berpura-pura khusyuk membersihkan pakaianku, dengan iseng kubagi pendengaranku dengan obrolan mereka
“Kamu melihat perempuan cantik itu lagi, kan?” tanya si pemilik baju berwarna merah. Ah, meskipun bajunya merah, tetap saja hari ini kembali hujan.
“Iya, seperti biasa, ia hanya berdiri dengan tatapan kosong di sana.”
Mengetahui topik pembicaraan mereka, kupertajam pendengaranku.
“Ternyata bukan cuma aku yang tertarik dengan kecantikannya, kau memerhatikannya juga?” si baju merah menyeringai lebar, sepertinya senang mengetahui bukan ia satu-satunya yang suka memperhatikan perempuan di bawah tiang lampu lalu-lintas itu.
“Iya, karena tiap hari ia berdiri di sana, aku pun jadi tertarik memerhatikannya. Kamu?”
“Ya… selain karena ia memang cantik, aku lumayan penasaan dengan ekspresi yang selalu kutangkap dari wajahnya. Penuh misteri dan mengundang rasa ingin tahu.”
“Kamu kepo juga, ya!” Keduanya kemudian tertawa bersama.
Setelah beberapa saat terdiam, “Apa yang ia lakukan?”
“Menjemput anaknya.”
“Anaknya yang mana? Kemarin gue lihat dia cuma mematung di sana, nggak ada anak-anak, tuh.” Kejar si baju merah makin penasaran.
“Anaknya sudah meninggal setahun lalu.”
“Ha?”
“Iya, kudengar anaknya meninggal karena tertabrak mini bus tahun lalu. Ketika itu ia terlambat menjemput anaknya pulang dari sekolah. Dan entah kenapa, anaknya pulang saja sendiri dan mencoba menyeberang di depan sana. Mungkin ia sangat menyesal karena tak memprioritaskan anaknya yang harusnya ia jemput ketika itu. Makanya, ia menghabiskan waktu untuk berdiri di sana. Menunggu anaknya datang.”
“Yaampun.”
Tidak ada perbincangan lagi. Kedua lelaki itu menyudahi percakapannya dan meninggalkanku di toilet sendirian. Aku pun beranjak keluar beberapa saat setelahnya. Teringat kopiku pasti sudah tidak panas lagi menunggu di samping jendela.
Aku terduduk cukup lama menatap kopiku. Masih terngiang percakapan dua orang di toilet tadi. Entah kenapa hatiku ikut perih. Sambil menikmati kopiku yang sudah hampir dingin, aku kembali melihat perempuan itu, perempuan manis berwajah pucat yang berdiri di samping tiang lampu lalu lintas di seberang jalan. Terusan sebetisnya sudah basah terkena tempias hujan yang jatuh dari payungnya ke genangan air. Hujan turun sangat deras sore itu.
Tiba-tiba perempuan itu menjatuhkan payungnya, terlihat tubuhnya mulai goyah. Rintikan hujan tiada ampun merajam tubuhnya. Melihat pemandangan itu, aku bersiap-siap demi memikirkan kemungkinan buruk yang akan terjadi. Tidak lama tubuhnya terduduk lesu.  Aku keluar kedai kopi sambil berlari menuju perempuan itu. Tak kupedulikan bunyi klakson dan teriakan marah pengendara begitu aku menyeberang seenaknya.
“Bangunlah…” aku mendekap perempuan lemah itu. Dari dekat, baru bisa kulihat mata bening dan indahnya berkaca-kaca dipenuhi air mata. Banyak duka dan derita tersorot dari sana, yang sudah ia simpan selama setahun belakangan.
Kudekap makin erat tubuh yang dingin itu, “Kak, bangunlah… ayo kita pulang, Jasmine tidak akan kembali lagi.”
Mulut beberapa orang yang mungkin juga selalu memerhatikan sosok kakakku satu-satunya dalam beberapa bulan belakangan, terbuka begitu mendengar kalimatku. Ada kalimat bisikan yang kudengar, “Jadi dia adiknya?” ada lagi kalimat lain seperti “Loh, bukannya setiap sore dia selalu memerhatikan perempuan itu? tetapi malah diam saja, ternyata adiknya?”

Kuangkat dan kugendong kakakku untuk menyetop taksi yang lewat. Aku ingin segera membawanya pergi dari sana, tubuhnya mulai menggigil, geliginya bergemeletuk dan menyeracau tidak jelas. Kusandarkan kepalanya ke badanku demi menyembunyikan air mataku yang mulai menitik dari balik kepalanya.


8 komentar:

  1. Balasan
    1. Duh kak, yg namaya ending iyalah belakangan...
      Masak endingnya di ruang sidang, lagi sidang tesis sama Prof. At? Kan gak matching 😝

      Hapus
  2. Duh, bikin speechless di bagian ending-nya. Kirain si tokoh utama hnya sebatas pengamat saja. Ternyata adiknya.

    Makasih atas tulisannya, ini udah bikin saya terenyuh :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kena deh! Hehee.. emang sengaja menggiring pembaca berpikiran demikian... hmm, berarti aku berhasil dong ya kak? Hehee

      Makasih pujiannya kak :)

      Hapus
  3. dasar tukang tipu! sekali-kali ceritanya mengandung cinta kek!

    BalasHapus
    Balasan
    1. maafkan diriku yang sudah membuatmu merasa tertipu. sungguh bukan inginku :p

      Hapus
  4. aku suka caramu mengiring opini pembaca, dan aku tertipu! sialan!

    BalasHapus
    Balasan
    1. jangan mengumpat kakak...
      nikmati saja, toh aku juga jarang-jarang menipu :p

      Hapus