Minggu, 11 Desember 2022

Aku Menyerah, Kehilanganmu

 Aku sudah teramat sering mendengar janjimu. “Aku tidak akan pernah”, katamu.

Di lain waktu, kamu bilang, “Aku akan selalu”. Atau kamu juga berikrar, “Pokoknya cuma kamu”.

Jujur, aku selalu takut setiap kali mendengar rentetan kalimatmu itu. 

Mungkin, di saat kamu mengucapkannya, kamu memang sedang sangat yakin, kamu percaya diri.

Tetapi, alangkah bodohnya kita, aku dan kamu. Kita tidak pernah membayangkan apa yang akan terjadi di hari esok, bulan depan, atau tahun depan. Sungguh sangat mungkin hati kita berubah, sungguh sangat bisa bertukar arah.

Dan tentu, sudah seringkali kamu meninggalkanku tanpa aba-aba, untuk waktu yang cukup membuat tamanku kering. Kemudian, kamu akan datang kembali dengan biasa, seolah-olah tidak ada apa-apa sebelumnya, seolah-olah hari sebelumnya berjalan normal. Sering terjadi. 


Berkali-kali juga aku ingin mengakhiri, menyerah sampai di sini. Berkali-kali kamu datang dengan harapan dan membuatku mencoba lagi.


Sungguh sering terjadi. Dan sekarang terjadi Kembali.


Aku Lelah, masih merasa kita ada kesempatan, dengan semua khayalan gila. Namun ternyata tak nampak kemungkinan kita bersua dan bisa bersama. Aku tidak menemukan masa depan yang kamu ceritakan. Ditambah kamu yang sering pergi tiba-tiba mengacuhkanku. Rasanya kalau selalu begini, tidak akan pernah ada ujungnya. Aku Lelah menerka-nerka. Aku Lelah terlalu sering ditinggal tiba-tiba. Aku menyerah sajalah, kehilanganmu.


Wahai… Kamu, kehilangan terpahitku. Dan walaupun aku tau ini tidak abadi nanti, tapi kali ini aku akan bilang, untuk selamanya.

Rabu, 30 November 2022

Patah Hati Terburuk

 Aku punya teman dekat. Tentu aku punya.

Tapi masalah kali ini sama sekali aku tidak bisa membagi dan cerita kepada siapapun.

Sebab, sedari awal aku tau kalau aku cerita sama siapapun itu, aku pasti akan dijauhi atau dimusuhi. Aku salah dan tidak akan ada yang bisa menoleransi itu. 

Di saat aku merasakan patah hati terburukku, aku bahkan tidak punya tempat untuk sekadar bercerita. Aku hanya bisa berpura baik-baik saja terhadap sekitarku dengan dada yang sesak setiap kali ingat kisah ini.

Apakah ini hukuman bagiku? Mungkin. Beratkah kesalahanku padamu, padanya, pada semua? Sepertinya begitu.

Meski aku sudah bersiap dengan kehilangan ini, tetapi nyatanya kita manusia tidak pernah benar-benar bisa menghadapi kehilangan dalam perpisahan. Apalagi, kisahku yang tidak akan pernah bisa dipahami siapapun itu.

Maaf…,

Maaf telah membuang2 waktu selama ini denganku.

Meski aku berharap ada kata pamit darimu (seperti yang selama ini selalu kuminta, kalau kamu mau pergi), tapi biarlah kali ini aku yang pamit. Hati-hati ya di jalan. Semoga bahagia membalasimu yang selama ini selalu berbuat baik.

Senin, 14 November 2022

Nyatanya, Bukan Aku

Kita bertemu, sudah semenjak lama merentang kisah. Meski kita tidak pernah benar-benar bertemu; kamu di sana dan aku di sini. Bagaimana rupamu pun aku masih abu-abu, samar.

Ajaib bukan? Wanita lugu ini sebegitu percayanya bahwa sinar yang kau nyalakan di kala temaram senja itu adalah sebuah pengorbanan atas nama cinta.

Padahal, sebenarnya tentu aku bisa menghidupkan sendiri lentera itu. Atau dalam artian lain, lentera hanya sekadar penerang, semestinya tidak perlulah aku berlebihan mengartikan pengorbanan cintamu kau jadikan penerangku. Bukan begitu.

Atau, mungkinkah keraguanku selama ini benar? Bahwa aku hanya terlalu berharap kau menghadiahiku cahaya cinta dalam setiap ketikan kalimatmu padaku.

Sejujurnya aku pernah mencoba. Memaknai dengan logika. Tetapi mungkinkah asaku akanmu teramat besar, sehingga mataku terbutakan dengan kenyataan.

Kenyataan bahwa aku bukanlah bintang malammu, seperti yang selalu kau tuliskan dalam beberapa baitmu.

Yang selalu kau prioritaskan untuk menghabiskan sisa umurmu, nyatanya bukan aku.

Minggu, 13 November 2022

Bukan Lagi Kamu yang Dulu

Aku tidak tahu, mana yang lebih buruk. Besarnya gengsiku atau marahku karena kamu selalu menomorduakan posisiku. 


Tentu, sebagai seorang yang terlalu sering menunggu, aku teramat gengsi sekadar memulai sapaan "Hai".

Dan

Karena aku sering dinomorduakan, kurasa aku pantas marah kamu sering mengabaikanku. 


Tadi, dini hari aku bermimpi, bertemu denganmu. Rasa canggung dan seperti orang yang baru kenal membuatku berpikir ulang, apa mungkin selama ini aku salah mengartikan komunikasi ini?


Siang ini, saat aku membuka mata, aku teringat kapan pertama kali cinta mengalir untukmu. Di saat itu, aku hanya kompas rusak, hilang arah dan porosnya. Yang kerap menghabiskan waktu dengan bayangan atau goresan tangan di buku catatan. Lalu kamu datang dengan kupu-kupu warna-warni. Membuat gugup menjadi tenang, kacau jadi nyaman, dan kosong terisi sempurna. 


Ah... Rasa yang masih sangat ingin kunikmati sampai hari ini. Tapi nyatanya kamu... Tidak lagi seperti kamu yang dulu rela menemani sepiku. 

Selasa, 23 Februari 2021

Orang Asing yang Datang

 Hai..

Kamu yang sedari tadi duduk menekuri layar kecil yang sinarnya memantul di wajahmu, orang asing yang entah kenapa kini ada di satu ruangan bersamaku. Kutatap lamat-wajah yang di beberapa titiknya mulai tergaris kerutan halus bukti kerasnya hidup di masa lalu yang sudah kau lewati. Ah... Apakah masa depanmu kelak akan menjadi penambah kerutan di wajahmu, atau bisa mengubahnya menjadi sedikit terawat?

Tuan, beberapa waktu lalu kamu adalah orang asing bagiku. Datang entah dari mana dan untuk keperluan apa, mengetuk pintu dan mempersembahkan sebait senyuman. Hatiku yang sedang gersang hanya acuh dan membiarkanmu membuka obrolan dengan lelaki tua si pemilik rumah. Di dalam kamar aku masih asyik menulis surat cinta kesekian untuknya yang sudah 7 bulan kabur membawa mimpiku menjadi mataharinya.

Tuan, waktu begitu cepat memutar balik keadaan, bukan? Cangkir yang dingin bekas kecupan rindu telah kau basuh hingga luka yang basah perlahan mengering. Kau tata ia bersama piring yang kau olesi madu teman mengopi di petang yang hangat. 

Kamu si orang asing yang masih kuamati cara kerja otakmu, bagaimana kamu bisa tersesat di tandus rumahku? Dengan sabar memupuk dan menyiramnya setiap hari, repetisi yang katamu suatu saat akan menghasilkan madu. Ah... Kamu begitu suka dengan madu, Tuan.

Hai, kamu beralih menatap mataku. Layar ponsel sudah mati. Tanganmu berpindah meyentuh jemariku. Tatapanmu masih penuh binar dengan senyuman yang kembali membhat garis halus di setiap titik wajahmu. Jemariku mulai kau genggam hangat. detik setelahnya dadaku berdebar dan badanku dingin. Kamu ini apa? Kenapa bisa mengaliri hangat dan dingin bersamaan? 

Bibirmu kemudian berkata kalimat sederhana yang tanpa basa basi namun tegas. 

Tuan, sampai hari ini pun kita masih saling belajar, mencoba mengenal lebih dalam, menyatukan bawel dan usil, menyelaraskan perbedaan budaya, berusaha bahagia dan membahagiakan.

Aku berharap, kerutan masa lalumu tidak bertambah karena tingkahku yang memusingkan. Biarlah ia tampak setiap kali kita menertawakan hidup dan takdir yang tsrkadang lucu ini. Izinkan aku membersamaimu hingga ending yang bahagia.



Selasa, 19 Februari 2019

Bingkai Buram Senja

Dingin. Tetes-tetes sisa hujan yang menghuni serat dedaunan pohon raksasa itu menjentik kepalanya yang sudah basah kuyup. Ujung-ujung rambutnya yang ikut meneteskan air menambah dingin tubuhnya. Badannya menggigil, berkali-kali suara bersin terdengar, sesering ia menghembuskan ingusnya. Badan yang ia dudukkan di atas batang pohon tumbang itu dipeluk erat oleh kedua tangan mungilnya, sekedar berusaha menahan rasa dinginnya. Bibirnya pucat, geliginya bergemeletuk, karena bersinggungan satu sama lain. Matanya yang berair liar menatapi setiap orang yang lewat dengan berlari kecil menutupi kepala dengan tangan. Ia terlihat tengah menunggu seseorang, yang mungkin akan menjemputnya.
Sahut menyahut nyanyian petir menggelegar membelah angkasa. Langit seakan rapuh dan menyerah untuk bertahan. Namun tampaknya itu gemaan terakhirnya. Petang yang harusnya hangat itu tidak lagi romantis oleh lukisan alam senja. Tidak tampak jingganya langit yang biasanya menghias kepergian senja menjemput gelapnya malam. Hanya terbingkai kelam dan berkabut.
Setapak kemudian, lelakinya datang dengan tergesa. Tubuhnya lembab –tidak sampai basah– rambutnya yang panjang terurai berlari kecil seirama langkah kakinya yang jenjang. Kharismanya masih seperti pangeran dengan kedua tangannya membawa handuk dan sebuah botol, sepertinya itu kopi hangat.
“Kamu nggak papa?” tangannya yang memegang handuk sudah melingkari handuk ke tubuh perempuannya, tangan satu lagi menyodorkan kopi hangat itu. Dan tangan yang terbebas mulai memegang dahi perempuannya dengan lembut, penuh cinta, untuk memastikan tidak ada tanda-tanda perempuannya akan demam.
“Kamu kenapa cemas banget sih, aku nggak apa-apa kok. Ini baru basah karena hujan. Never mind.” Jawabnya dengan suara serak bergemetar sambil meminum kopi hangatnya.
“Jelas saja aku cemas, setiap kali turun hujan pasti dingin akan selalu melanda, dan setiap itu pula tubuhmu akan menggigil kedinginan dan flumu pun akan kambuh.” Dirabanya kantong celana untuk menemukan beberapa bungkus tisu yang juga telah ia siapkan.
“Biar aku saja.” Diambilnya cepat tisu dari tangan lelakinya itu. Ia memang tidak ingin terlalu dimanja. Lelakinya datang untuk membawakan ini semua saja sudah membuatnya merasa tidak enak, karena diperlakukan seperti ratu. Ia tidak ingin orang-orang berpikiran macam-macam. Ia tidak ingin orang-orang berpikiran kalau lelakinya adalah budaknya.
“Kamu jangan keluar hujan-hujan lagi, ya.” Tangannya kini mulai beralih memegang handuk dan mengusap-usap lembut kepala perempuannya. Mengeringkan rambutnya yang basah. Tangan perempuan itu meraih tangan lelakinya. Seketika pekerjaan tangan laki-laki itu terhenti.
“Aku nggak mungkin juga bakal keluar kalau hujan. Tapi hujan kali ini kan mendadak banget datangnya. Aku aja hampir nggak bisa nyariin tempat berteduh tadi. Kamu bisa liat, di sekitar sini tempat yang paling bisa buat berteduh ya cuman di bawah pohon yang gede ini doang.” Lelaki itu kembali menyuguhi perempuannya dengan senyuman.
“Iya, tapi andai aja tadi kamu mau aku jemput lebih awal, kan nggak bakal gini juga kejadiannya sayang.” Perempuan kemudian mengangkat wajahnya, mencoba melakukan pembelaan.
“Ya, udah terlanjur, mau digimanain lagi coba? Kan kita sama-sama nggak tau kalau sore ini bakal turun hujan, orang tadi siang panasnya terik banget.” lelaki itu hanya mengangguk maklum sambil kembali tersenyum. Dilanjutkannya mengusap-usap rambut ikal perempuannya yang melurus karena air hujan.
“Kamu nggak papa kan?” suara yang mulai serak itu tampak ikut mengkhawatirkan sosok di hadapannya itu.
“Jelas aku nggak papa.” Senyum keduanya beradu melalui pandangan mata penuh cinta.
“Tapi kamu kan juga basah.” Tangannya spontan memegang ujung lengan baju lelaki tersebut.
“Basahnya aku nggak kuyup. Nggak separah kamu. Lagian aku kan nggak papa kalau kena hujan. Nggak bakal bersin-bersin kayak gini nih”. Lelakinya tertawa renyah begitu perempuannya kembali bersin-bersin, tiada henti.
“Makasih, sayang. Untuk semuanya. Aku sayang kamu.” Perempuan itu akhirnya mengalah dari perdebatan, bersin berkali-kali seperti menguras tenaganya. Lelaki itu tersenyum sangat puas. Mungkin kalimat itulah yang ingin didengarnya sedari tadi. Refleks, dipeluknya perempuannya erat. Kepala yang rambutnya basah itu diciuminya berkali-kali.
“Aku juga sayang banget sama kamu. Ini semua aku lakuin buat ngasih apapun yang bisa aku kasih.” Ia terdiam sejenak mengatur napasnya yang mulai diburu emosi, kemudian melanjutkan. “Mungkin aku emang nggak bakalan selalu bisa bikin kamu ketawa, tapi selagi aku bisa, aku akan usahain akan selalu ada buat kamu. Aku nggak mau kehilangan kamu, sayang.” Pelukan itu kembali erat. Segala rasa cinta membaur di dalamnya. Jelas tampak dari kedua mata berseri itu, mereka sungguh bahagia. Seakan dunia mereka berdua yang menghuninya.

Sedangkan, tidak jauh dari sana…
Kuambil tisuku yang terakhir. Aku baru sadar, tisuku sudah habis untuk mengelap ingusku. Kutatap lagi lelakiku yang dulu itu. Sungguh ia tak pernah tampak sekhawatir itu padaku dulu. Padahal badanku juga akan gemetar, dan flu ku juga akan kambuh setiap kali hujan menghujam.
Tidak ada yang kutunggu di sini. Tidak ada juga yang akan datang menjemputku dan membawakan segelintir perhatian padaku.
Kubuang tisu terakhirku, kemudian perlahan mencoba bangkit dari tempat dudukku yang dingin. Sebelum benar-benar beranjak, kuarahkan pandanganku ke sana, kupastikan sekali lagi. Lelakiku dulu sangat bahagia dengan perempuannya yang sekarang. Jadi aku harus bisa yakinkan diriku untuk tidak lagi berharap padanya, untuk tidak lagi diam-diam masih menyimpan harapan dan cinta padanya.

Kamis, 31 Januari 2019

Mitos cangkir yang sama

Seperti itulah, kita menggulung lembaran kenangan, lalu menguburnya dalam-dalam. Namun pada suatu pagi, selepas mimpi, kita gali-gali sendiri kuburan itu sambil meratapi sepiring sepi dan secangkir kopi.
Dalam tepian cangkirnya, jejak bibir kita bertautan.

Barangkali begini skenarionya: engkau menjejakkan langkahmu pada kebun penuh ilalang dengan sebuah jemari halus dalam genggaman tanganmu. Sementara aku memotret senja dan menangkap setiap gerakan kalian: kamu dan jemari halus yang silih berganti itu melalui mata pena. Diam-diam mata pena itu juga pernah memotret senyum dan matamu yang penuh cinta di siang yang basah. Ketika air hujan kalah lembab oleh air mata di pelataran rumahku.

Atau skenario lain adalah: engkau diam-diam berusaha tak peduli dan pura-pura sibuk menggulung lengan baju dan berlari menuju ke sebuah tempat yang entah. Demi menghindari apapun yang bisa menenggelamkan perasaanmu.

Ah, mungkin aku sedang bermimpi ketika kedua tanganmu menggenggam erat harapan yang kita bagi, bersama dengan adonan air mata dan tawa. Barangkali aku hanya perlu bangun dan melupakan secangkir kopi dan jejak bibir yang bertautan itu. Barangkali, kemelekatan yang diramalkan akibat menikmati kopi dari cangkir yang sama itu hanya sebuah mitos. Sebuah delusi.

Delusi. Seperti cinta.
Selalu diam-diam pergi (atau berbagi).