Minggu, 31 Juli 2016

Pernah

Aku pernah merasakan kehilangan, bahkan belum sempat memiliki sebelumnya.
Rasa yang kuciptakan sendiri dengan tanpa komitmen telah memiliki sakitnya sebelum sempat bersama.
Bodoh memang, namun tak apa. Toh hati tidak pernah minta izin terlebih dahulu ia akan tertarik pada siapa.
Wajar.
Kini kurasakan semua luka itu secukupnya. Sesekali berteriak dan menangis sekencang-kencangnya.
Akan menjadi pengingat diri, bahwa ada beberapa hal seperti itu, bagaimana pun kita berusaha meraihnya, tetap tidak bisa dipaksakan.

Ikhlaskan, Layaknya bunga yang tetap setia bermekaran di musim semi, meski akan tahu musim gugur selalu datang.

Senin, 25 Juli 2016

Kesalahanku

sudah  empat puluh delapan hari semenjak kita bertemu untuk pertama kali setelah setahun lamanya berpisah. Ada rindu yang hanya kubungkus dalam kulum senyumku. Entah kenapa meski sudah tiga tahun lamanya semenjak kita pertama kali bertemu dahulu, aku masih setia menyimpan saja rasaku padamu.
Takut? Mungkin lebih tepatnya aku malu. Malu, bagaimana mungkin seorang gadis lugu memulai pembicaraan terlebih dahulu?

Kalau semesta mengetahui kemampuanku menyimpan beban rasa padamu selama tiga tahun ini, mungkin aku akan memperoleh penghargaan karenanya. Memendam tanpa berani menguak kebenaran yang ada. Menjaga hati seolah-olah ia adalah milikmu saja.

Ah... Aku merindukan empat puluh delapan hari belakangan. Kala kutangkap kau tengah menatap ke arahku cukup lama. Tapi bodohnya aku hanya menunduk dan membuang muka. Takut, malu, aku jadi membuang kesempatan untuk hanya sekadar melempar senyum terbaikku padamu. Aku rindu kala berhadapan denganmu. Bukan berjauhan seperti ini. Sayangnya aku tak punya mesin waktu. Itu artinya, aku tidak akan bisa menjemput kesalahanku di masa itu, hingga kini aku menyesal. Iya, andai saja kala matamu mengekoriku, aku ikut menatapmu, memberi senyum, lalu menyapa dengan hangat. Mungkin kita akan akrab, dan bukan tidak mungkin aku akan mengutarakan maksudku padamu. Ahh...

Hari ini, lelaki yang tak kukenal akan datang ke rumahku untuk bertemu orang tuaku. Kamu tau artinya? Ya, aku takut untuk mengatakannya. Aku tak sanggup membayangkannya. Terlebih, aku tak punya daya menolak orang tuaku. Orang tuaku sudah memberiku waktu tiga tahun untuk mencari sendiri dan membawanya kepada orang tuaku, dan aku sudah menemukannya sejak tiga tahun lalu.  Itu kamu. Tapi... Ah sudahlah... Usiaku 30 tahun di tahun ini, dan orang tuaku semakin renta, aku hanya tidak ingin menambah-nambah beban pikiran mereka di usianya sekarang.

Maafkan aku yang tidak pernah bisa jujur padamu tentang apa yang sudah aku sembunyikan selama tiga tahun ini. Ini kesalahan terbesar dalam hidupku. Dan kini, tinggal menunggu waktu hingga aku harus melepaskan bayang-bayang bersamamuu. Melupakan keinginan membina keluarga denganmu. Aku pasrah.

Waktuku

Waktuku

Aku banyak menghabiskan waktu dengan melarikan diri. Menonton film dari bangun tidur sampai tidur lagi, bahkan sampai lupa makan. Mengunjungi tempat-tempat yang mungkin bisa menghibur, atau tidur sepanjang hari demi membuang masa.

Sesekali Mendengarkan lagu yang liriknya sama sekali tak kumengerti, mengangguk-anggukkan kepala seolah menikmati. Berpura-pura.

Sisa hari, saat sinar layar laptop dan ponsel sudah terlalu banyak menyakiti mata, atau alunan nada-nada telah berubah menjadi denging yang memekakkan telinga, aku akan berbaring di lantai kamarku, menatap langit-langit, menangis.

Menganggap bahwa semesta tahu semua yang kurasakan sekaligus merasa tak ada siapapun atau apapun yang mampu memahami apa yang kurasakan. Berkelahi dengan diri sendiri di antara dua pilihan takut untuk menyalahkan atau disalahkan.

Aku sering memikirkan banyak hal yang membahagiakan. Berharap ketakutan akan lekas-lekas pergi dan membiarkan kehangatan kenang menelusup ke dalam jiwa, tapi anehnya, semakin teringat banyak hal membahagiakan yang telah kulewati selama ini, makin kuat rasa menyalahkan bersarang di dada.

Aku sering memaki diriku sendiri dalam kepalaku. Dengan penuh air mata dan kemarahan, aku menampar, menerjang. Beratus kali. Hingga membuatku yang tertampar melemah. Yang ujung-ujungnya kembali mengeluarkan air mata.

Entah bagaimana lagi aku menahan sesak di dada ini. Tiap detik yang berharga tetap terbuang percuma hanya karena kecemasan yang ditimbulkan karenanya. Rasanya, aku ingin menyerah tapi takut disalahkan. Untuk tetap berjuang, aku malah menyalahkan diriku sendiri yang ternyata tak mampu melakukan.

“Kenapa kamu begituu tolol untuk berjuang? Kamu mau disalahkan dengan hanya diam?”

Kemudian hening.


Sekali lagi kubiarkan kesedihan merayakan dirinya sendiri di langit-langit kamarku. Menguap.

Rabu, 20 Juli 2016

Rindu

“Kita pernah, —di negeri yang sesak 
oleh jutaan orang ini— menjadi sepasang 
genggaman membelah awan hingga 
menguak rintikan hujan…”

Rindu bukanlah gurauan yang ingin aku lontarkan. Karena merindukanmu adalah pekerjaan paling mudah dan mengandung candu berdosis tinggi. Banyak hal di sekelilingku hampir tak luput untuk tak memberitahu kalau dahulu tangan kita selalu bergenggaman erat. Seperti waktu itu, di suatu sore yang basah, kita berlarian, mengecipakkan air dari hentakan sepatu-sepatu kita yang sudah kuyup. Bukannya meneduh, kita tetap saja menikmati serangan air yang mengerumuni tubuh kita. Kita tertawa seolah-olah hari itu adalah hari paling membahagiakan dalam hidup kita.

Apa kamu tahu?

Rindu begitu mudah mengundang kenangan. Sekali tawa mengingatnya, setelah itu hanya ada dada yang getir mengetahui bahwa hal itu takkan pernah kembali lagi. Selanjutnya, rindu menghantarkan awan yang memberi ruang pada aliran air merosot dari mataku.

Aku di sini sekarang, di suatu sudut di sisian pantai tempat kita pernah bermandikan hujan melepaskan beban. Saling berbagi mimpi kalau persahabatan kita harus setua nenek-nenek kita saat itu. Menikmati sisa hujan sendirian. Pada waktu dan tempat yang sama ketika tubuhmu terlempar pasca disenggol mini bus berwarna orange.

Tenanglah di sana, sahabatku tercinta…
Maafkan aku yang tidak sigap membawamu menghindar dari hantaman si orange itu.
Aku merindukanmu, lagi.


Selasa, 19 Juli 2016

Senja Bersama Ayah

Sesore ini entah mengapa kakiku kembali ingin menemui sebuah tempat kenangan yang mulai jarang kusapa. Mungkin kalau di tidur siangku tadi ia tak memanggil-manggilku, takkan aku datang sore ini. Akankah ia merindukanku? Atau bahkan ia membutuhkan perawatanku? Sepeda yang setia tersandar di bagasi kukeluarkan. Setelah memastikan ban dan rantainya aman, aku mulai mengayuhnya menuju tempat tujuan. Tempat kenangan.
Setelah menjatuhkan standar sepeda, aku terdiam cukup lama dengan mata mengitari setiap inci ruangan terbuka ini, merasakan hawa sejuknya, aroma udaranya, dan suara khas alamnya. Tempat ini… Dari sinilah ayah dulu mengajariku berenang, mengajariku bunyi gemeletar punggung buaya lapar dan kecipak anak-anak ikan kemuring. Di sini juga ayah mendidikku membedakan suara daun dan suara keciap ular manau, yang menyaru suara katak untuk melahapnya. Sering aku dan ayah menyusupi celah-celah nifah, menyelam di bawah gemerisik pelepahnya, saling menguji ketahanan dengan tidak bernafas.
Bunyi gelak, tawa, dan teriakanku kala ayah mulai iseng berpura-pura mendorongku ke air, kini kembali terngiang di telingaku. Bayangan ayah melompat-lompat menjangkau buah jambu di pohonnya yang tidak terlalu tinggi itu sekilas lewat. Cerita-cerita dongeng serta petuahnya yang selalu ayah sempatkan untuk membaginya padaku, perlahan kembali teringat. Ada sebuah batu besar membelakangi pohon jambu, di sana dahulu ayah sering duduk bersila kaki memangkukan tangan kirinya ke bahuku, dan kita bercerita apa saja. Kurasa, wajahku membentuk raut senyum sekarang demi kenangan hangat tersebut.
...Lamunanku buyar ketika telapak kakiku yang mencelup air dikerumuni ikan nari dan batu tempat aku duduk tidak tersinari lantaran matahari hampir tenggelam. Kulengahkan kepalaku menuju barat demi menikmati hangatnya senja. Jingga warnanya meronakan pipiku yang sudah mengaliri air mata. Sudah setahun semenjak penyakit kronis itu merebut ayah dariku. Tidak pernah mata ini alfa dari air mata setiap mengingatnya. Sosok gagah yang sangat aku banggakan itu kini pasti sudah beristirahat dengan tenang tanpa pernah lagi merasakan sakit yang bertahun menghimpitnya. “Ayah, aku merindukanmu. Begitu banyak beban yang ingin kubagi padamu, kini entah siapa lagi yang dapat menggantikanmu memberikan petuah kehidupan padaku. Yang tenang di sana yah…”

Langit semakin gelap, kuseka air mata dengan punggung pipi yang mulai dingin. Angin mulai usil memainkan ujung rok dan rambutku. Perlahan berjalan meninggalkan tempat penuh kenanganku bersama ayah. Sebelum sepeda kukayuhkan menuju rumah, kepalaku sekali lagi ingin melihat alam indah ini. Tempat terindah dengan penuh kenangan indah bersama lelakiku. Bibirku tersenyum sebelum akhirnya sepeda kukayuhkan dan benar-benar meninggalkan tempat itu.

Hujan

Rintik perlahan berjatuhan

Di saat asap merelakan kelabunya terhapus oleh rintik hujan
Wangi udara mulai meracuni bersama debu pembuangan

Jalanan membasah pertanda dinginnya keadaan

Hujan tak terelakkan
Wiper ikut menyapu debar-debar dua orang di hadapan

Suara riuh di sekitar kederasan kian reda oleh genggaman tangan

Pelukan hangat dari hati dingin dua orang dengan kasih berkepastian semu
Namun tak sering meragu

Langit memecahkan kesunyian

Tidak ada asap debu yang akan terhapus hujan
Karena hujan terus ada dan akan melekat di jalan

Setiap usapan, genggaman, dan dekapan telah bertahun menggenang

Ujung jari mengusap kaca berembun demi terbentuk nama yang dirindukan

yang hanya tersisa sekarang...
Melalui hujan, langit memberikan kesempatan untuk mengenang

Balada Teh

Siang itu panas begitu terik. Matahari yang ketika itu tepat berada di ubun-ubun memeras keringat bercucuran. Tampak dua anak sedang berjalan di bawah pancaran silaunya. Tetapi mereka tidak berjalan bersisian. Yang satu berjalan dengan langkah cepat, yang satu, kaki-kaki kecilnya berusaha untuk berlari.
Renata menatap kesal ke belakang, dilihatnya lelaki kecil itu tergopoh berusaha mengejar dan mengimbangi langkahnya. Renata berbalik dan kembali menata langkahnya, seolah tidak peduli dengan kesulitan bocah kecil yang mengejarnya dengan kesusahan di belakangnya. Renata tetap dengan muka ditekuk dan bibir manyunnya.
“Ayo cepetan, dasar lelet!” dengusnya kasar, sedangkan anak lelaki itu hanya diam menurut seraya berlari.
“Minta duit aja susahnya minta ampun, malah disuruh nemenin lu jajan dulu, capek tau. Dasar ibu pilih kasih.” Renata ngomel-ngomel
“Kakak nggak boleh gitu sama ibu, kan nanti mau dikasih duit.”
“Diem lu! Mau gue cubit, ha?” Renata mengacungkan tangannya hendak mencubiti adiknya itu.
“Ampun kaaaak” anak itu berlari ketakutan, Renata segera mengejarnya, takut kalau-kalau ia sampai di rumah langsung mengadu, pastilah ibu akan menghukumnya lagi baru akan memberikan uang yang dimintanya untuk membayar kerusakan sepeda teman yang dipinjamnya tempo hari. Jelas saja ia tak menginginkan itu. Renata sudah merasa tidak enak hati dengan ibu temannya. Karena sudah seminggu lebih ia belum juga membayarkan uangnya itu.
Kehidupan Renata memang berubah semenjak kepergian ayahnya dua tahun lalu, tepatnya ketika Renata masih berusia 9 tahun dan adiknya berusia 1 tahun. Ibunya yang seorang guru SD lumayan merasa kewalahan dengan beban hidup yang ditanggungnya. Renata menjadi harus prihatin dengan hidupnya. Kalau menginginkan sesuatu, ia pasti harus bekerja dulu untuk bisa mendapatkannya.
Renata tidak pernah menyukai adiknya, karena baginya semenjak adiknya lahir, kasih sayang yang didapat dari almarhum ayah dan ibunya menjadi terbagi. Mungkin karena Renata cemburu. Meski memang seharusnya adiknya yang kecil mendapat perhatian khusus untuk merawatnya, tetapi Renata tidak menyukai itu.
Setibanya di rumah.
“Ibu, Re udah tepatin janji bawa Ivan main, nemenin dia jajan, sekarang Re udah bisa dapetin uangnya? Ayolah bu, Re mau ganti uang perbaikan sepeda Venny yang Re rusakin. Ga enak lama-lama, bu.” Ibunya kemudian memberikan uang yang diminta Renata, ia bersorak kegirangan dan melambai-lambaikan uang itu ke hadapan adiknya tanpa peduli tatapan menghiba di wajah adiknya. Renata kemudian beranjak pergi, hendak menuju rumah temannya. Adiknya yang merasa kesepian dan masih ingin bermain dengan kakaknya hendak menyusul, Rena jelas tidak suka adiknya mengikutinya, langsung menghardiknya.
“Nggak boleh ikut! Tinggal aja di rumah! Nyebelin banget sih, lu!” Renata mendorong kasar adiknya seraya terus berjalan sampai ke rumah temannya, tanpa peduli wajah mengiba adiknya.
Setibanya di rumah Venny.
“Ini uangnya Ven, maaf ya rada telat ngasihnya, tadi disuruh ibu nemenin adekku yang resek dulu.”
“Oke, nggak apa kok Re. makasih, ya. Oiya, aku mau Tanya sesuatu deh, sama kamu.”
“Apa, Ven?”
“Gini, ngomong-ngomong, kok kamu benci banget sih sama adikmu itu? Padahal dia anaknya baik, nurut lagi, nggak bandel kayak adikku. Adikku yang bandel aja aku sayang banget sama dia. Karena kan emang harusnya gitu. Kita harus sayang sama adik kita sendiri.” Renata hanya diam, dia tidak bisa menjawab pertanyaan Venny yang juga sering ditanyakan orang-orang kepadanya. Ujungnya Renata hanya tersenyum menjawab pertanyaan Venny tersebut.
Setibanya di rumah, Renata mendapati adiknya yang sedang tidur. Ditatapnya wajah polos itu, tidak terdapat raut menjengkelkan di sana, hanya wajah manis dan lucu yang ditangkapnya. Raut yang mirip dengan raut ayah ketika sedang tidur. Tetapi entah kenapa Renata masih saja enggan untuk sekedar berbaik hati padanya.
*
Keremangan cahaya lampu di ruang makan itu tidak mampu menyembunyikan kehangatan yang terpancar dari keluarga kecil Renata. Perempuan yang teramat dicintainya sedang menyendokkan nasi ke piringnya. Raut wajah keibuannya mulai membentuk garis-garis halus, menandakan betapa kerasnya hidup yang telah ia lewati tanpa suami.
“Makasih, ya bu.” Renata tersenyum, ibunya juga ikut tersenyum. Kemudian Renata melanjutkan. “Makasih, ibu masih kuat sampai sekarang menjadi ibu terhebat yang pernah Re kenal. Ibu nggak pernah ngeluh, ibu nggak pernah berenti menebarkan cinta kasih ibu, demi anak ibu. Re sayaaaang banget sama ibu.” Air mata perempuan keibuan itu mengalir perlahan. Tangan siempunya beralih dari sendok nasi ke kepala anak sulungnya.
“Ibu juga sayang banget sama kamu, sama Ivan. Kalian lah sumber kekuatan ibu, nak.” Cepat tangannya menepis air mata itu.
“Ibu, nggak boleh cengeng, kan? Kakak nggak boleh bikin ibu nangis lagi, ya.” Dengan polos Ivan yang melihat air mata keluar dari sudut mata ibunya menegur kakaknya. Renata hanya diam. Agaknya ia tidak begitu berselera untuk merusak keharmonisan malam itu dengan keributan.
Dalam hati Renata sangat bersyukur. Meski ditinggal terlalu cepat oleh ayahnya, tetapi sama sekali tidak pernah ia kekurangan. Terutama kekurangan kasih sayang. Meski sering kesal dengan kehadiran Ivan di tengah ia dan orang tuanya, tetapi Renata tetap merasa dirinya beruntung ia diperbolehkan terlahir dari keluarga yang sederhana ini.
*
Kamar yang dengan ukuran tidak begitu besar itu tampak berantakan. Tas sekolah yang tergeletak di atas kasur menyembulkan beberapa buku, jelas ia seperti telah dilempar oleh pemiliknya. Di atas meja tergeletak jam tangan dan telepon genggam serta beberapa komik yang berserakan. Di bawah kaki kasur, setengah kayu kertas karton, penggaris, pensil, pensil warna, spidol, dan atlas bertebaran. Renata dengan serius menggaris-garis di atas kertas karton. Tak lama kemudian adiknya dengan mainan pesawat di tangan, muka sedikit cemong oleh coklat datang menghampiri dan bertanya.
“Kak Ena lagi apa?”
“Bikin peta!” jawabnya ketus. Ivan yang sedang memegang mainan sejenak asik memainkan mainannya. Kemudian, ia tiba-tiba bertanya kembali,
“Kaaak.” Tak ada jawaban. Kemudian ia mengulang, dengan nada suara yang lebih manja.
“Kakak, kaaaaak.”
“Ih, apaan sih?” Renata merasa terganggu dengan adiknya, mulai kesal dan meninggikan nada suaranya.
“Kak, kakak cayang nggak cama Ipan? Ipan cayang banget lo ama kakak” Renata menoleh heran.
“Kenapa sih lu?” kemudian Renata tidak ambil pusing pertanyaan Ivan dan kembali melanjutkan pekerjaan rumahnya.
“Iya loh kak, walaupun kakak celing malah-malah, tapi Ipan tetep cayang Kak Ena.” Renata tetap diam, meskipun ia sedikit tersindir oleh perkataan polos adiknya itu. Ivan kembali asik dengan pesawat yang dipegangnya, menerbangkannya mengitari kamar Renata yang setengah berantakan, membalik-balik halam komik dengan asal. Kemudian ia kembali mendekati Renata.
“Kakak mau minum? Ipan ambilin yah?” Renata hanya menganggukkan sedikit kepalanya, nyaris tak terlihat.
“Terserah lu aja!” Kemudian Ivan keluar dari kamar Renata, berjalan ke dapur, dan kembali dengan membawakannya segelas teh manis, namun karena gelasnya yang besar, teh tersebut tumpah ke kertas karton yang hamper selesai digaris-garis oleh Renata.
“Aaaah! Ivan!” Renata marah besar, dipukulnya adiknya itu dengan pukulan yang bertubi-tubi.
“Kurang ajar kamu! Selalu saja membuat orang susah, liat! Ini udah hampir selesai digaris tau! Ah… ngulang lagi deh, ngerepotin! itulah kenapa aku benci sama kamu!” Pukulan demi pukulan mendarat di tubuh Ivan. Disaat mendengar jeritan yang menyayat hati, ibunya datang untuk melerai. Renata langsung didorongnya kuat dan memeluk anak lelakinya yang sudah menangis kesakitan. Matanya menatap tajam dan penuh amarah ke arah Renata, tidak menyangka Renata akan menyakiti adiknya yang masih kecil.
“Kenapa kamu Re? Mana perasaanmu? Adikmu masih kecil dan kamu menyiksanya begini? Apa salah dia sama kamu? Kenapa kamu begitu membenci adikmu sendiri? Ibu kecewa sama kamu, ibu nggak suka kamu kayak gini, Re.” Renata hanya terdiam terpojok. Kemudian ibunya pergi membawa adiknya yang masih menangis entah kemana.
Renata masih terduduk lesu, peristiwa itu terjadi dan berlalu begitu cepat. Tapi jantungnya masih belum normal berdetak. Perlahan Renata mencoba bangkit dan meraih kertas karton yang sudah basah, kini rasa sesal dan kesal bercampur aduk di benaknya. Dipaksanya tubuhnya untuk berdiri. Diambilnya kertas karton baru yang setengah kayu lagi dari atas kasur. Mencoba mengulang kembali menggar-garisi kertas kartonnya dengan meneteskan air mata.
*
Peta yang sudah jadi dan diberi tali itu dipampangnya di dinding kamar. Meski dibuat dengan suasana hati yang tengah tidak baik, tapi Renata cukup puas melihat hasilnya. Ia keluar dari kamar, rumah itu masih sepi. Disusurinya setiap sudut rumah itu. Nihil. Kamar ibu juga kosong, dapur juga masih sama seperti keadaan tadi siang. Renata menatap jam dinding berkali-kali, sudah pukul 20.00 tetapi ibunya belum juga kembali, apakah ibu segitu marahnya padaku sampai ibu tega meninggalkanku? Lagi-lagi ini terasa tidak adil, mengapa hanya aku yang disalahkan, padahal dia yang memulai. Renata meratap, karena perasaannya semakin tidak enak, Renata berjalan ke luar rumah mencari jejak sosok ibu dan adiknya, tetapi nihil. Ia hanya bertemu dengan tetangga yang kemudian menegurnya.
“Rena, ibumu sudah pulang? Gimana Ivan?” Renata hanya mengerutkan dahinya, memangnya ibu kemana? Kenapa tante ini bertanya seperti itu? Batinnya.
“Ng… Ibu belum pulang tante, memangnya tadi ibu bilang kemana?” jawabnya ragu-ragu. Ia khawatir dengan pemikiran tetangganya dengan ketidaktahuan dirinya.
“Lho, kamu gimana sih? Adikmu kan dilarikan ke rumah sakit tadi siang! Katanya adikmu sakit step” Renata langsung kaget tidak percaya, apakah sakit itu dikarenakan perbuatannya? Ya Tuhan. Maafkan aku, aku tidak berniat membuatnya sakit. Ivan, maafin kak Re, kakak sayang kok sama Ivan. Renata membatin. Teringat pertanyaan Ivan tadi siang yang belum sempat dijawabnya. Kini ia menyadari, tangisnya yang meledak tadi siang itu bukan tangis kesal, melainkan tangis sesal. Dan ia baru menyadari betapa ia menyimpan sayang yang teramat besar kepada adiknya, ia bahkan takut kehilangan adiknya. Kini ia masih menunggu penuh harap kedatangan ibu dan adiknya ke rumah dengan membawa berita gembira dan memberikan maaf untuknya. Ia tulus dan benar-benar merasa bersalah.

Cinta Tak 'kan Salah

D
erunya memekakkan sekali, menjentik gendang telinga, jalanan yang berbatu-batu jadi menambah kesan angker dan memilukan keadaannya yang sudah reyot, ditambah lagi bau pesing yang menyengat menyayat indera penciuman. Salsa yang baru saja sembuh dari sakitnya berasa ingin muntah. Berapa lama lagi aku harus menderita? Aku sudah tidak kuat. Salsa merintih sendiri.
Tiba-tiba bus berhenti mendadak, membuat Salsa hampir terlempar ke kaca depan. Supir yang tidak tahu arah jalannya ke mana, menunggu panitia yang akan memandu perjalanan ini. Huh! Dengus Salsa kesal.
Sial sekali rasanya Salsa hari itu, melakukan perjalanan studi tour tetapi harus berpisah bus dengan teman-temannya, padahal empat temannya bisa satu bus. Tetapi kenapa Salsa harus terpisah sendiri? Hanya orang asing yang bersamanya sekarang, ditambah lagi Salsa dalam keadaan belum fit betul dari sakitnya. Salsa membutuhkan teman selama perjalanan. Tetapi panitia melarangnya berpindah bus karena kelompoknya memang berbeda jauh dari kelompok teman-temannya.
Perjalanan dengan bus tua, jalanan rusak, bau pesing, duduk sempit serta membuatnya mual benar-benar menjadi hukuman bagi Salsa selama perjalanan. Teman sebangkunya yang aneh tidak sedikit pun mengeluarkan suara. Entahlah, orang-orang yang berpenampilan seperti perempuan itu memang mempercayai suara itu adalah aurat, diam itu adalah emas, dan Salsa tidak pernah merasa mengerti dengan alasan itu.
Begitu lepas dan keluar dari besi reyot dan tua itu, Salsa berlari mencari-cari kamar kecil, Salsa benar-benar tidak tahan pengen muntah. Anggra yang melihat sahabatnya itu langsung menghampiri.
“Kamu kenapa Ca?”
“Mual, aku kepengen muntah! Sumpah nggak enak banget”
“Yasudah, muntahin di sini aja, sepertinya tidak ada kamar kecil di sekitar sini, lagian ini hanya semak-semak, tidak akan ada yang marah kalau kamu muntah di sini” Anggra yang kasihan melihat wajah Salsa yang pucat pasi menahan muntahnya jadi tidak tega. Dan tiba-tiba. Huek..huek.. cairan itu akhirnya keluar juga.
*                      *                      *
Hamparan hijau segar yang terpampang jelas di depan matanya tak mengusik kegalauan Salsa. Padahal burung-burung telah bernyanyi meneriakkan kegembiraan. Namun Salsa tetap setia dengan bibir manyunnya.
“Andai saja dari awal aku tahu kalau kegiatannya seperti ini, membosankan dan tak ada asiknya! Aku tak akan ikut, ditambah lagi kondisi badanku yg belum sembuh.” Salsa meratap lagi, sedangkan perempuan yang berada di sampingnya hanya menoleh sebentar dan diam lagi. Mana anak di sebelah ini kaku banget lagi, nggak asik banget dapet teman sekelompok pada pendiem semua. Salsa mengerlingkan matanya sebentar menatap teman-teman kelompoknya yang sudah tampak lelah seperti dirinya. Tiba-tiba getaran dari dalam kantong almamaternya mengagetkan Salsa, Ayu meneleponnya.
“Ya, Ayu, ada apa?”
“Ca, gimana kelompokmu? Wah... kelompokku asik-asik orangnya, kami kompak banget deh, walau baru kenal, aku suka.” Salsa hanya terdiam mendengar ocehan Ayu.
“Kenapa Ca? Kok diem aja? Kamu nggak papa kan?”
“Iya Yu, nggak papa, aku hanya capek, selamat ya, kamu seneng banget ya kayaknya”
“Ada apa sih Ca? Gimana kelompokmu?” Salsa berjalan agak menjauh dari teman-teman kelompoknya, kemudian menjawab.
“Sama sekali tidak asik dan tidak seenak posisimu Yu, teman kelompokku hanya satu perempuan, dan dia sangat kaku, yang laki-laki pun begitu, pada pendiam semua. Pokoknya aku ngerasa menyesal udah ikut hari ini. Sumpah nyesel!” Meski menekan volume suaranya tetapi jelas Salsa benar-benar kesal.
“Wah, maaf ya say, aku nggak tau kalau posisimu lagi nggak enak gini. Aku malah cerita-cerita sama kamu.”
“Nggak papa kok Yu. Selamat bersenang-senang aja ya sama teman kelompokmu!”
“yaudah deh Ca, hati-hati aja ya, mudah-mudahan kita cepet ngumpul lagi biar kita ketemu. Kasihan aku sama kamu” Ayu menutup teleponnya. Salsa hanya tersenyum pahit dan kembali berjalan mendekati rombongan kelompok kakunya. Membosankan.
*                      *                      *

“Itu dia busnya!” Seru Ari sambil menunjuk ke arah barat. Serentak semua kaget dan menoleh ke arah datangnya bus tersebut. Akhirnya Salsa mendengar juga suaranya. Anggota kelompok termuda itu memang hanya diam saja dari tadi. Hampir Salsa beranggapan kalau anak itu tidak bisa bicara. Tetapi hal yang terpenting sekarang adalah Salsa sudah berada dalam bus dan sebentar lagi akan bertemu dengan teman-temannya yang terbagi ke dalam kelompok yang berbeda-beda.
Sesampainya di pinggir pantai yang menjadi pelabuhan terakhir sebelum kepulangan ke kampus, Salsa segera mencari-cari empat orang temannya. Mana sih mereka? pikirnya. Tiba-tiba ada seorang lelaki memukul pundaknya dari belakang.
“Hai kakak, nyari siapa sih dari tadi?” Salsa ternganga, tidak menyangka bertemu dengan bocah usil itu di sini.
“Nyari teman-temanku. Kamu lihat mereka?”
“Mereka? Temannya ada banyak ya? Kupikir hanya satu, yang Anggra itu, kalian sering terlihat berdua”
“Bukan, kita ikut organisasi ini berlima. Sudah, kasih tahu saja, kamu lihat dia atau tidak?”
“Saya tidak tahu kakak, mungkin belum datang, atau lebih tepatnya belum dijemput bus.” Salsa cemberut lagi, kepalanya sudah sangat pusing, tetapi teman-temannya belum juga terlihat. Bagaimana kalau aku pingsan dan tidak ada yang peduli? Lelaki tadi masih memperhatikannya,
“Kakak kenapa sih? Pucat sepertinya.”
“Jangan panggil saya kakak lagi! Saya tidak suka dipanggil kakak sama kamu!” Salsa tiba-tiba jutek. Pria itu hanya tertawa.
“Yasudah, maaf deh. Oya, kenapa musti tunggu teman-temanmu? Apakah teman-teman di sini yang begitu banyak tidak bisa menjadi temanmu? Nggak boleh gitulah, masak hanya mau temenan sama teman sejurusan saja?” Salsa menoleh lagi dengan mata sedikit melotot.
“Bukan begitu, tetapi aku butuh mereka sekarang”
“Apakah aku tidak bisa membantu?”
“Tidak. Karena kamu laki-laki”
“Oh... masalah perempuan ya ternyata? Tetapi walau bagaimanapun, kakak eh Salsa istirahatlah dulu, semakin pucat kelihatannya” pria itu mengajak Salsa duduk di dekat rombongan kelompoknya. Salsa menurut saja, setidaknya dia sudah mengenal siapa pria itu. Untuk sementara bisalah menemaninya sampai Anggra dan yang lainnya datang.
*                     *                      *

“Kamu ikut bus dua aja Ca, biar bisa sama-sama kami.” Anggra berbisik,
“Tapi kan Ya, nanti kalau diabsensi panitia dan akunya nggak ada gimana?”
“Ah, sudahlah, nggak usah pikirin. Yang penting kan kamu bisa nyaman sama aku, nanti kalau pusing di busmu itu dan nggak ada yang peduli gimana? Ingat Ca, kepalamu masih sangat pusing kan?” Salsa mengangguk dan ikut saja apa kata Anggra.
Selesai acara penutupan, Anggra langsung menarik tangan Salsa dan menuntunnya menuju bus dua, dengan mengendap-endap mereka menaiki bus. Ayu, Septi, dan Indah menyusul di belakang mereka.
Salsa langsung merebahkan kepalanya begitu sampai di dalam bus. Benar-benar penat tubuh mungilnya seharian melakukan perjalanan yang menyebalkan, sampai-sampai Salsa tidak menyadari dari tadi ada yang memperhatikannya. Anggra menyikut Salsa yang menoleh ke luar jendela bus.
“Ada apa sih Ya? Ganggu deh”
“Sst... liat tuh! Diperhatiin mulu dari tadi sama dia” Salsa langsung menatap ke arah Diego, si junior yang selalu menyapanya itu.
“Ada apa?” Salsa spontan bertanya, Diego hanya tersenyum manis dan mendekati tempat duduk Salsa dan Anggra.
“Tidak apa-apa, hanya heran saja kenapa ada penghuni haram di bus ini” Diego dan Anggra langsung tersenyum, Salsa hanya manyun dan meminta Anggra yang menjelaskannya.
“Aku yang minta tadi Go, Ca lagi sakit.”
“Oh... kamu sakit Sa? Sakit apa? Kenapa nggak bilang?” Salsa melotot
“Kenapa musti bilang kalau kamunya nggak nanya? Aku sudah sembuh kok, hanya saja masih sedikit pusing.”
Diego hanya tersenyum dan tidak berkata-kata lagi dalam waktu yang lama. Namun, tiba-tiba dia menyodorkan permen pada Salsa ketika Salsa  hampir saja tertidur melihat Anggra sudah tidur.
“Apa ini?” kata Salsa dengan nada berbisik
“Baca saja” Diego menjawab. Salsa membalik permen yang bertuliskan I need you itu. Salsa kaget. Tidak mengerti apa maksudnya? Dia butuh aku? Tapi kenapa? Kita kan baru kenal. Salsa hanya diam menyembunyikan kebingungannya. Dan selama perjalanan mereka hanya saling terdiam.
Setibanya di Sekretariat, lima sekawan langsung mencari posisi enak untuk istirahat sejenak sebelum pulang.
“Ca, kamu dekat dengan berondong itu?” Ayu yang memang penasaran dari tadi tidak tahan untuk bertanya. Salsa terdiam untuk beberapa lama. Septi menyikutnya
“Ayo donk Ca, jawab!”
“Aku nggak deket kok sama dia, hanya saja sejak kenalan dulu dia jadi sering menyapaku setiap ketemu,. Bahkan dari jauh pun dia selalu memanggilku, ya... terkesan SKSD sih. Aku juga nggak ngerti. Udah ah, jangan tanya-tanya lagi” Salsa masih bingung, terutama dengan sikap Diego, untuk apa Diego memberikan permen bertuliskan I need you kepadanya?
*                      *                      *

Bila sinar surya terang menerangi kita, kukan mendekapmu erat takkan kulepaskan, walau kini engkau telah memilih dirinya, kukan selalu berharap, kukan selalu menanti, untuk cinta...
Salsa tertegun begitu mendengar beberapa bait lagu tersebut, ada kerinduan merasuk dalam raganya, tidak terasa sudah empat tahun Salsa tidak pernah lagi punya pacar semenjak pacarnya membawa kabur orang lain dan sekarang tidak tahu entah kemana. Salsa menjadi trauma untuk kembali menjalin hubungan. Dan Diego yang sekarang sedikit mencuri hatinya membuatnya galau. Apakah iya Diego menyukainya? Mengingat Diego selalu saja mencuri-curi perhatiannya, dan pernah memberikan permen bertuliskan I need you padanya, ditambah lagi sekarang mereka semakin sering berkomunikasi lewat sms. Diego anak yang baik, dia ramah kepada siapa saja terutama pada setiap perempuan. Diego juga sangat perhatian pada Salsa. Tetapi bagi Salsa ini terlalu cepat, perkenalan mereka baru tiga bulan dan mereka baru dekat sekitar dua bulan. Salsa tidak ingin gegabah dan salah pilih lagi, Salsa sudah sangat trauma dengan kejadian di masa lalunya. Apalagi usianya yang lebih tua satu tahun di atas Diego.
Sebenarnya semua itu tidak begitu dipersoalkannya, toh Salsa hanya akan menjalani saja hubungannya dengan Diego. Namun yang menjadi permasalahannya, Anggra ternyata juga menaruh hati pada Diego, bahkan dari awal kenal dengan diego, sebelum Salsa menyukai Diego. Tetapi Anggra tidak pernah mengungkapkannya kepada Salsa, Anggra merasa minder karena Salsa lebih cantik dan lebih populer, ditambah lagi Diego memang memiliki perhatian lebih pada Salsa daripada Anggra.
Salsa pernah bertanya pada Anggra persoalan Diego, namun sayang Anggra tidak mau jujur pada Salsa.
“Ya, kita temenan udah lama, dari kita pertama kuliah, jadi kuharap kamu tidak menyembunyikan apapun dari aku.”
“Apa sih Ca?”
“Aku mau kamu jujur sama aku, kamu suka kan sama Diego?” Anggra langsung kaget mendengar pertanyaan Salsa. Anggra jadi salah tingkah.
“Pertanyaan aneh! Jelas-jelas dia sukanya sama kamu, bukan sama aku Ca”
“Aku nanya kamu, bukan nanya dia Ya” Anggra diam saja, Salsa menyambung lagi
“Bukan apa-apa sih Ya, aku tau kamu luar dalam, dan aku tau kamu suka perhatiin dia. Aku Cuma nggak mau aja antara kita nanti ada salah paham. Kalau memang kamu suka, mungkin aku bisa lebih menjaga jarak dengannya. Dan jujur saja aku memang mulai suka sama dia.” Salsa terdiam, menunggu reaksi dari Anggra, namun Anggra masih tetap membisu. Salsa memegang tangan Anggra.
“Bagaimana menurutmu Ya? Kamu mau aku mengalah? Atau mau kita bertiga berteman saja? Atau bahkan kita berdua berjuang masing-masing secara sportif?”
“Ambil saja untukmu Ca, aku tidak suka padanya, tidak sadarkah kamu selama ini aku selalu mendukungmu dan dia? Kenapa kamu sampai berpikiran kalau aku suka? Enggak Ca, enggak.” Salsa tau Anggra berbohong, dari tatapan matanya dan dari raut wajahnya. Kenapa Anggra tidak mau jujur padanya padahal dirinya sudah berusaha jujur pada Anggra?
“Yaudahlah Ya, maaf ya kalo aku salah sangka. Kamu nggak akan berubah sama aku kan?”
“Haha... kamu ada-ada aja Ca, nggak lah...” Anggra kemudian menoleh membelakangi Salsa dan mencibirkan mulutnya.

Tiba-tiba Diego meneleponnya, Salsa yang masih berada di alam fatamorgana kaget dan tidak langsung mengangkat telepon dari Diego, karena ini pertama kalinya Diego meneleponnya. Salsa meraih hapenya dan dengan ragu menjawab,
“Ya Go, ada apa?”
“Lagi apa Sa? Ganggu nggak?”
“Nggak ganggu kok Go, Ca Cuma lagi santai aja dengerin musik. Hem, tumben nelpon? Kangen ya? hehe”
“Widih... tau aja kalo aku kangen? Hehe... kamu besok ke sekre kan? Ikut acara organisasi?”
“Iya, aku ikut kok. Kamu sendiri?”
“Ya, ikut juga karna kamu ikut! Yaudah ya Sa, sampai besok di sekre.” Telepon diputus Diego. Salsa nampak girang dan tampak lebih bersemangat. Dimatikannya musik melow yang tadi sudah beberapa kali diputarnya berganti musik yang lebih bersemangat.
Hari yang indah, terutama bagi Salsa yang sudah tidak sabar menunggu datangnya hari ini, sudah seminggu tidak bertemu Diego membuatnya kangen setengah hidup. Hari ini aku akan bertemu Diego lagi, ucapnya. Salsa kemudian melangkah mantap menyusuri padang ilalang yang dihiasi bunga-bunga cinta yang tumbuh di hatinya. Jalanan kampus yang biasa saja menjadi seolah berada di puncak yang sejuk dan penuh dengan bunga. Salsa menikmati perjalanannya pagi itu. Diego sudah menunggunya di sekretariat.
“Cerah banget hari ini kakak!” Salsa cemberut lantaran Diego menggodanya dengan panggilan kakak. Diego tertawa melihat reaksi Salsa.
“Jangan cemberut dong ah, nanti cantiknya luntur” Diego berusaha membujuk, Salsa hanya tersenyum mendengarnya. Tidak lama semua teman-temannya datang. Salsa langsung menjauh dari Diego agar tidak membuat Anggra cemburu.
Aska, sang fotografer organisasi datang dan diserbu saja oleh semua anggota organisasi. Mereka rebutan minta dijadikan objek potret Aska. Salsa diam saja, dia memang tidak terlalu narsis untuk difoto. Namun ketika semua sudah puas difoto, Diego tiba-tiba saja mengajak Salsa untuk foto bersama, berdua. Salsa tentu saja tidak akan melewatkan kesempatan itu.
Usai acara di sekretariat, Salsa diajak pulang bareng oleh Diego yang kebetulan searah dengan tempat tinggalnya. Anehnya, Diego yang biasanya selalu bersama dua orang temannya, meminta temannya untuk duluan. Salsa jadi geer kalau Diego memang sengaja untuk berduaan dengannya. Mereka berdua begitu menikmati perjalanannya. Salsa sangat senang, Diego bercerita banyak tentang dirinya dan bertanya banyak tentang Salsa. Sepertinya memang hubungan ini akan berlanjut.
*                      *                      *

Lihatlah pelangi yang sengaja muncul direda hujan itu Ca, kamu tahu artinya? Artinya kita tidak boleh selalu bersedih. Karena keindahan itu akan ditampakkan setelah hujan itu berhenti. Jadi kamu tidak boleh selalu murung bahkan menangis. Kata-kata dari Sam sahabatnya sejak SMA itu terngiang-ngiang di telinga Salsa. Salsa kembali menghentakkan kakinya berkali-kali ke lantai. Dia kesal Diego sudah lima hari ini tidak ada kabar, padahal dia sudah menghubungi Diego terlebih dahulu, tetapi diego tidak pernah lagi membalas smsnya. Di sekretariat pun tidak pernah bertemu. Ada apa denganmu Go? Kenapa kau berubah? Kenapa sekarang menjauhiku? Salsa tidak habis pikir dengan sikap Diego. Padahal terakhir hubungan mereka baik-baik saja bahkan Salsa sangat bahagia ketika enam hari yang lalu bersama Diego. Salsa tidak menyangka kalau itu adalah rasa senang terakhir yang diberikan Diego padanya. Diego benar-benar menghilang dan tidak pernah memberinya kabar. Pernah Salsa bertanya kepada Anton di sekretariat perihal Diego, Anton hanya menjawab Diego sibuk dengan kuliahnya dan belum sempat mampir ke sekre. Salsa tentu tidak puas dengan jawaban Anton, tetapi untuk bertanya lebih jauh lagi, Salsa merasa gengsi.
Seminggu sudah Salsa penuh tanda tanya, dan hari ini kembali organisasi mengadakan acara. Salsa datang lebih pagi dari biasanya hanya untuk menunggu kedatangan Diego. Salsa benar-benar berharap hari ini Diego bisa datang dan mereka bisa berbicara.
Silih berganti anggota organisasi baik junior maupun senior sudah berdatangan, namun Diego dan kawan-kawannya belum juga tampak. Salsa jelas kecewa, ternyata Diego benar tidak akan datang, bahkan sampai acara sudah dimulai pun Diego tidak datang-datang juga meskipun Anton dan Lian temannya sudah datang. Salsa yang tadinya sibuk melihat ke arah pintu gerbang dengan penuh harap pun kini tidak lagi menoleh sedikitpun.
Di tengah-tengah acara Salsa merasa ingin ke belakang, Salsa kemudian mohon izin dan beranjak ke kamar kecil. Keluar dari kamar kecil, Salsa kaget mendapati Diego yang tengah berjalan menuju sekretariat, kenapa baru datang? Dia sudah telat sejam.Namun tidak ingin melepas kesempatan itu, kebetulan mereka hanya berdua di sana, Salsa langsung memanggil Diego, Diego menghampirinya.
“Ngapain di sini Sa? Kok nggak masuk?” Diego bertanya dengan gayanya yang santai.
“Kamu kenapa telat? Aku tadi abis dari kamar kecil”
“Ada keperluan bentar tadi, aku sudah minta izin kok sama panitia”
“Bisa kita ngomong bentar?”
“Kamu mau nanya apa?”
“Kenapa kamu nyuekin aku Go? Aku ada salah sama kamu?” Diego hanya diam dan menunduk, Salsa semakin heran dengan sikap Diego. Apakah Diego lagi ada masalah?
“Ayo Go, jawab! Kenapa kamu jahat sama aku?”
“Jahat?” Diego mengangkat wajahnya
“Iya, kamu deketin aku dan abis itu kamu ninggalin aku gitu aja. Padahal aku yakin kalau aku nggak punya salah sama kamu. Tapi kenapa Go? Kamu emang jahat! Kamu nggak punya hati!” Salsa tidak bisa mengontrol emosinya, Diego kembali menunduk, tidak dapat menjawab pertanyaan Salsa yang tak terduga.
“Maafin aku Sa, udah nyakitin kamu. That’s why I...”
“Apa? Kenapa? Karena kamu emang nggak pernah punya niat sama aku kan? Nyesel aku udah ngerusak hubungan aku sama dia tapi kamu juga gini sama aku!” Salsa sengaja tidak menyebut nama Anggra, tetapi Diego mengerti apa maksud Salsa.
“Aku nggak tau kalau semuanya akan jadi kayak gini, maaf kalau aku bikin hubungan kamu tidak sedekat dulu lagi dengan sahabatmu.” Diego lalu pergi, namun tidak jadi masuk ke gerbang sekretariat, Diego malah menuju parkiran dan kemudian melajukan motornya ngebut.
“Mati aja deh lo! Nyesel gue kenal sama lo!” Salsa berteriak sebelum Diego benar-benar menjauh. Diego mendengar jelas suara Salsa yang memang lantang itu menambah kecepatan laju motornya dan tak tahu arah. Salsa langsung kembali ke sekretariat dengan perasaan menyesal. Kenapa sih kamu Ca? Kenapa kasar banget sama Diego? Maafin aku Go
Setibanya di sekretariat dua orang teman Diego bertanya pada Salsa, apakah tadi bertemu di luar karena Diego tadi berkata akan sampai di sekretariat. Salsa jujur saja kalau memang tadi Diego ada tetapi balik lagi karena mereka sempat ribut. Anton dan Lian saling berpandangan sebelum akhirnya Anton angkat bicara.
“Ribut? Kalian ribut kenapa?”
“Ng... tadi, hm... eh, kamu tanya sendiri ya sama Diegonya, susah aku jelasinnya.” Salsa menjadi gugup karena merasa bersalah. Dua teman Diego hanya diam dan saling pandang. Ada sesuatu yang aneh dari pandangan mereka, entahlah, Salsa juga tidak mengerti.
*                      *                      *

Salsa membuka jendela kamarnya, menatap sendu pada aliran air hujan yang mulai menggenangi halaman. Angin berlari-lari menerpa wajah dan menerbangkan helaian rambutnya. Dadanya terasa sesak, Salsa memikirkan Diego dan pertengkarannya tadi pagi. Firasat buruk merasuki relung jiwanya, Salsa mencemaskan Diego yang sekarang entah di mana. Tidak terasa embun panas mengalir lembut menerpa pipi Salsa, kegundahannya mencair melalui kristal-kristal air matanya. Angin di luar semakin ribut, dan Salsa segera menutup jendela kamarnya dan masuk ke dalam kamar mandi untuk kemudian membasuh mukanya, meluruhkan bekas luka di wajahnya agar tidak diketahui orang lain. kemudian Salsa berkutat degan laptopnya untuk menyelesaikan tugas.
Rrrrt... rrrt... hape Salsa bergetar, Anton meneleponnya. Serrrr, darah Salsa berdesir, dadanya berguncang hebat. Pukul 19.00, ada apa Anton meneleponnya jam segini?
“Hallo, ada apa Anton?”
“Kamu di mana Sa? Aku mau jemput kamu!”
“Ada apa Ton? Jangan bikin aku bingung!” Salsa langsung pucat, pikirannya langsung membayangkan hal yang buruk-buruk.
“Kamu tidak tahu? Nanti saja, kamu pasti akan tahu, ikut aku mau ya? Kujemput sekarang.” Tuuuut... tuut... telepon terputus. Salsa segera berlari menuju lemari, mengganti bajunya dan segera menyambar payung untuk segera keluar menunggu Anton. Begitu Anton datang, mereka langsung berangkat menerjang hujan. Tidak ada interaksi antara keduanya, hanya saling diam dan terhanyut dalam perasaan masing-masing.
“Rumah sakit? Anton? Diego.... dia?” Salsa bertanya panik.
“Masuk lah Sa, kamu akan tau apa yang terjadi” Salsa langsung berlari ke dalam, menerobos orang-orang yang terasa menghalanginya. Sampai di depan kamar perawatan Diego, Salsa mendapati sudah banyak teman-teman Diego yang menangis.
“Bisakah aku masuk?”
“Tunggulah sebentar, masih ada orang di dalam, tidak boleh masuk lebih dari satu.” Salsa terdiam, dihitungnya semua teman Diego, lengkap. Siapa yang di dalam? Apa iya orang tua Diego datang secepat itu? Tiba-tiba ada seorang perempuan yang dikenalnya keluar dari ruangan dengan wajah sudah sembab. Dia kaget begitu melihat Salsa ada di sana. Anggra.
“Anggra? Kamu bisa ada di sini? Kenapa kamu nggak kasih tau aku?” Salsa bertanya dengan sedikit emosi. Anggra hanya terus menangis. Salsa kemudian masuk ke dalam dan sudah mendapati Diego terbujur kaku dengan mata terbuka.
“Go, kamu kenapa?” Salsa berbicara dengan suara bergetar dan langsung meneteskan air mata. Diego hanya tersenyum getir pada Salsa.
“Go, aku minta maaf udah berkata kasar sama kamu, aku benar-benar minta maaf dan menyesal udah jahat sama kamu” Diego kembali tersenyum dan tidak bisa menjawab. Salsa semakin mendekat, digenggamnya tangan Diego dengan erat, mencoba memberi aliran kehidupan dalam cinta yang telah tumbuh dalam taman jiwanya.
“Aku sayang kamu Go, maaf aku nggak bisa boong, aku terlanjur terbiasa dekat denganmu, aku benar-benar mulai menyukaimu sejak kita mulai dekat.” Diego mengerjapkan matanya dan menggerakkan tangannya yang digenggam Salsa dengan maksud mengatakan hal yang sama, namun Salsa tidak mengerti maksudnya.
Tiba-tiba Diego kejang-kejang, Salsa panik, berteriak sekeras mungkin. Perawat masuk dan menyeret Salsa yang lepas kontrol keluar dengan paksa. Setiba di luar Salsa segera menuju Anggra untuk memeluknya, tetapi Anggra enggan. Anton dan Lian mendekatinya, mencoba menenangkan Salsa. Anggra menerawang, dia hanya ingin Salsa juga mengerti perasaannya. Bagaimanapun dia sangat menyayangi Diego, bagaimanapun dia sangat merasa takut kehilangan Diego, bukan hanya Salsa. Tidak peduli apakah Anton dan Lian sebagai sahabat terdekat Diego akan membencinya, tetapi itulah cintanya terhadap Diego yang merasukinya semenjak kenal Diego, sebelum Salsa menyukai Diego, bahkan semenjak Diego selalu mencuri-curi perhatian Salsa yang selalu mengacuhkannya. Anggra merasa benar dengan perasaannya. Jadi ia tidak perlu takut.
*                      *                      *

            Salsa kembali melipat surat berwarna merah jambu itu. Air matanya tak berhenti mengalir meski sudah menyembabkan matanya. Salsa menerawang, mengulang-ulang kalimat yang sudah puluhan kali dibacanya barusan. Haruskah dia menyalahkan dirinya? Tiba-tiba Salsa teringat Diego, di mana dia sekarang? Apakah dia kedinginan? Apakah dia merindukannya? Salsa kembali menghela nafas. Anggra benar, cinta tak pernah salah. Meski cinta telah membuatnya kehilangan dua orang yang disayanginya dan membuatnya harus cuti kuliah karena depresi berat yang membawanya ke rumah sakit jiwa. Salsa merasa kondisinya sudah sangat baik sekarang, Salsa sudah bisa berfikir jernih dan sudah ada keinginan untuk kembali kuliah.
Tiba-tiba pintu kamar melati itu terkuak, ada yang masuk. Salsa menoleh kemudian tersenyum, manis sekali senyuman itu. Kehadiran dua sosok itulah yang ditunggu-tunggunya dari tadi. Anton dan Lian sudah berjanji akan menjemput dan menemaninya ke pemakaman Diego.
“Surat apa itu Sa, eh Ca?” Anton tersenyum, berusaha menggoda Salsa.
“Anggra! Aku baru sempat membacanya. Kalau kalian mau tau, bukalah” Ujar Salsa sambil menyodorkan kertas merah jambu itu dan tak hentinya tersenyum.
... mungkin kamu benar sahabatku, aku adalah orang yang tidak terbuka. Tapi kamu harus menerima alasanku. Tidak lain adalah kamu! Kenapa aku tak pernah mau bilang tentang perasaan ini padamu. Karena kutau kamu sudah mulai menyukainya. Cinta tak pernah salah Ca, kitalah yang salah menyikapinya. Dan ini udah keputusanku, aku nggak sanggup bila terus lama-lama di sini. Karena kamu juga udah mulai membanciku kan? If you still love me, please dont cry when you remember about us dear. Aku akan kangen banget sama kamu, kalo jodoh, kita ketemu lagi ya....
Oya, cepet sembuh. :)
Alan kembali melipat rapi surat dari Anggra. Kemudian menatap sendu ke arah Salsa yang masih terlihat manis meski sekarang dalam kondisi kejiwaan yang terganggu dan badan yang kurang terurus, tetapi inner beautynya tetap terpancar. Tidak mau berlama-lama larut dalam keharuan, Lian mengingatkan bahwa mereka harus berangkat sekarang.