Jumat, 31 Maret 2017

Stop Komen!

Self reminder.
Sesuatu yg bukan kapasitas kita, mending tidak usah dicampuri, dikomentari, apalagi kalau tidak ada yg meminta pendapat kita.
Memang sepertinya sudah jadi kebiasaan manusia, apa-apa dikomentari, di-sok tahu-i.

Dulu, dulu sekali, saya menganggap orang-orang yang "trauma" akan sesuatu itu seperti orang lebay alias berlebihan.
Misalnya, mendengar bunyi ambulans lewat, langsung tutup kuping dan bersembunyi. Komentar saya: lebay.
Misalnya lagi, tiap ada mobil besar lewat yang menghasilkan bunyi gemuruh dan getaran ringan ada yg langsung panik karena menyangka itu gempa. Komentar saya: lebay.
Sekarang, semakin bertambahnya usia dan pengalaman, jadi mengerti apa itu trauma. Saya sendiri pun mengalaminya. Setiap kali mendengar bunyi keran air yang dibuka besar, bunyi airnya menyambar-nyambar, air yang keluar bak tsunami yang menghantam daratan (oke ini lebay), saya langsung tidak nyaman, bahkan bisa sampai gelisah dan keluar keringat dingin.
Itu terjadi karena satu kata: trauma.

Yah... Kita memang belum benar-benar akan mengerti apa yang dirasakan seseorang, sebelum kita mengalaminya sendiri. Setelah mengalaminya langsung? Baru mengerti dan menyisakan sesal di hati.

Kini saya mengerti, tidak ada trauma yg dibuat-buat, tidak ada juga yang ingin punya trauma. Mengetahui ini saya jadi banyak merasa bersalah, pada siswa saya, tetangga, teman-teman di kampus, teman-teman di kosan, atau di mana pun, saya benar2 bersalah sudah men-cap mereka lebay.

Pelajarannya: tidak usah sok tahu! Mengomentari apa-apa yang menimpa orang lain, seolah-olah kita tahu segalanya, bahkan sampai memberi cap yang tidak mengenakkan pada orang lain. Ini mungkin hal sepele, tapi terkadang hal sepele itulah yang bisa merusak perasaan seseorang, hingga mungkin mempengaruhi hubungan baik. Betapa banyak hal sepele di sekitar kita yang kita remehkan, seolah-olah tidak apa-apa kalau kita cela. Padahal, kita tidak pernah tahu, bisa jadi hal sepele yang menjadi kesalahan kita itulah yang akan membawa kita pada azabNya. Na'uzubillahimindzalik. Sebaliknya, hal sepele dalam kebaikan, mana tau bisa menghantarkan kita pada rahmatNya, (termasuk membagikan tulisan ini, mungkin? Hehehe).
Oke, kurang-kurangi mengira-ngira dan mengomentari kehidupan orang lain saja mulai dari sekarang, tidak ada yang tau apa yang tersimpan di palung hati orang, bahkan orang yang punya indera keenam sekalipun, tidak pernah tahu dalamnya hati seseorang.

Teruntuk Kekasih Sahabatku

Sejujurnya, aku masih tidak begitu yakin, apakah yang kuinginkan itu, tulisan ini bisa bertemu dengan panca inderamu atau tidak, tetapi jemariku rasanya greget ingin menulisnya beberapa waktu belakangan, jadi ya... kutulis saja, jadi biar semesta yang menentukan, apakah tulisan ini akan sampai padamu, atau tidak.

Aku tahu, bahwa dari segi penampilan wajah, aku ini adalah sosok antagonis yang mungkin ingin dihindari sebagian besar orang. Ya, anggaplah aku memang perempuan yang tidak baik bagimu di hidupmu, tapi tunggu, kurasa tidak begitu bagi sahabatku, setidaknya, jauh sebelum ia mengenalmu.

Belakangan, jujur tentangmu sedikit banyaknya sudah mengganggu pikiranku. Betapa tidak, hampir setiap hari aku mendapatkan pengaduan yang rasanya membuatku mual ingin memuntahkan amarahku, tapi entah mendapatkan kesejukan dari mana, aku yang sejatinya adalah seorang yang emosional, masih bisa menahan gejolak ingin berontakku. Aku beruntung masih bisa diam ketika harus berhadapan denganmu, tapi tidak di depan sahabatku.

Wahai laki-laki yang baru saja berhubungan dengan sahabatku.
Kamu tahu? Gara-gara kamu akhir-akhir ini aku jadi sering memarahi sahabatku. Betapa bodohnya ia, sungguh! kukatakan ia sangat bodoh. Kamu yang masih seumur jagung dekat dengan sahabatku, tetapi sudah lebih dari seorang bapak. Kamu berlebihan kalau semua yang dilakukan sahabatku harus berdasarkan izin darimu. Kamu berlebihan kalau lama-lama kamu jadi melarang sahabatku menemuiku. Kamu berlebihan karena kamu membuat kami para sahabatnya jadi orang asing bahkan di saat kami berkumpul bersama. Kuingatkan, kamu keterlaluan, sungguh!

Aku bersalah, memang. Seharusnya aku marah padamu, aku tidak meluapkan kekesalanku atas kesalahan hubungan kalian ini padanya yang sangat lemah, yang apa-apa hanya bisa menangis. Padahal selama ini, ia adalah perempuan yang tegar. Bahkan ketika ibunya meninggalkannya untuk selama-lamanya, walaupun dengan berat, tapi ia bisa menjalani semua itu, dengan kami selalu berada di sampingnya. Kini? Dia harus menangis, setelah kau marahi hanya karena dia pergi ke pasar denganku, kamu memarahinya, di dekatku, kamu memarahinya? Dia hanya pergi denganku, sahabatnya yang jauh sebelum kalian kenal kami sudah menjadi saudara. Bukan pergi dengan laki-laki lain. Bahkan ketika salah seorang dari kami membicarakan ini padamu, kamu membela diri dengan memfitnahku! oh, sorry... tolong jangan bawa-bawa kerudungku ke dalam masalah ini, apalagi ini hanya kalimat fitnah yang kau lontarkan.

Wahai laki-laki yang menduduki peringkat teratas di hati sahabatku kini.
Tidak apa kalau kalian memang sebentar lagi akan menikah. Aku justru senang jika sahabatku yang baru saja diwisuda akan menikah. Izinkan aku memberitahumu sesuatu yang mungkin kamu tidak mengerti bagaimana terlukanya kami, para sahabat kekasihmu melihat dia terus-terusan menangis setiap kali selesai kau hardik. "Bahwa perempuan sejatinya hanya ingin disayang, diperlakukan lembut. Marahlah dengan bijak kalau memang sahabatku memiliki kesalahan, tidak haruslah kau menghardiknya sampai membuatnya memompa matanya sampai bengkak. Semoga status Magister Pendidikanmu yang baru saja kau peroleh bisa membuatmu lebih dewasa secara emosional, sebagai calon kepala rumah tangga. Kalau memang kau berjodoh dengan sahabatku, aku hanya bisa mendoakan semoga sahabatku bahagia dan menjadi istri yang baik untuk suaminya, tapi tolong, jangan beri jurang pemisah antara kami dengan dia, karena... semenjak ibunya tiada, kepada siapa lagi ia akan bercerita kalau tidak kepada kami sahabat perempuannya?"



Rabu, 08 Maret 2017

Ikhlaskan atau Perjuangkan?

                                     PART 4

Kini, setiap hariku hanya jadi mimpi buruk yang ingin kuhapus perlahan demi hidupku. Ya, aku tidak boleh berhenti berjalan. Seberat apapun rasanya melangkah tanpa ada kamu dalam wujud nyata ataupun sekadar pemberi semangat, aku tidak boleh diam dan tidak memperjuangkan hidupku. Aku harus sadar, semakin aku terpuruk dengan pernikahanmu dan Tiara, semakin aku terlihat menyedihkan dan tiada gunanya. Aku harus kuat!

Tiara, bagaimana kabarnya? Pasti perutnya sudah semakin jelas sekarang. Masihkah kamu mengacuhkannya seperti janjimu padaku? Atau kamu malah mulai belajar menerimanya di hidupmu, seperti saran dan nasihat yang selalu menyertaimu selama ini? Sungguh aku tak kuasa rasanya, apakah harus membiarkanmu menyayangi istrimu, atau malah memintamu untuk tetap berpaling padaku. Aku tidak tahu, sayang.

Sore ini aku akan bertemu dengan klien dari luar kota, laki-laki. Biasanya, kamu akan menemaniku, tapi kali ini aku harus siap menghadapi sendiri. Bagaimanapun, aku harus tetap menjalani kehidupan pekerjaanku meski kini itu tanpamu. Ah, lagi-lagi rasanya canggung sekali sekarang apa-apa harus kulakukan sendiri. Setelan berwarna pastel sudah kukenakan untuk bersiap-siap menuju hotel tempat perjanjian dengan klien. Dengan percaya diri, aku melangkah perlahan keluar dari kantor, meskipun jadwal pertemuan masih satu setengah jam lagi, aku hanya ingin sedikit bersantai dengan datang lebih awal.

Sebelum taxi yang kupesan datang, di seberang jalan aku melihat ada seorang nenek-nenek seperti tengah ribut dengan seseorang, itu menggerakkan hatiku untuk tahu lebih pasti apa yang sedang terjadi. Kuseberangi jalan kemudian mencoba bertanya persoalan yang terjadi. Ternyata si nenek hampir ditabrak oleh pengendara motor tersebut. Kasihan sekali, nenek tua ini kenapa berjalan sendirian di sini? Akhirnya aku mengajak nenek tersebut ikut denganku berteduh di depan lobi kantor. Setelah sekitar sepuluh menit berbincang, akhirnya taxi yang kupesan datang. Aku berpisah dengan membawa semangat yang ditularkan dari nassihat nenek tadi padaku. Bahwa, apapun yang terjadi, aku harus tetap memaksimalkan kualitas diriku. Toh, hingga saat ini, seberat apapun hidupku tanpamu, aku masih tetap baik-baik saja.

Pertemuan dengan si klien berjalan lancar, semua baik-baik saja. Aku bersyukur meskipun selama ini selalu tergantung dengan hadirmu menemaniku, tapi kali ini aku dapat mengambil pelajaran lain yang kutimba bersamamu, bahwa aku bisa melakukan komunikasi yang baik agar klien terkesan denganku dan kerja sama bisa terjalin dengan baik-baik saja. Selesainya aku dari menemui klien, aku memilih untuk jalan-jalan sebentar di grand mall di samping hotel tempat pertemuan tadi. Toh tidak ada salahnya berjalan-jalan sebentar barang sekadar untuk mencuci mata. Namun, apa yang kulihat, bukanya malah membuat suasana hatiku segar, hatiku malah teriris karenanya.


Tangan tegasmu, tengah menggenggam tangan mungil seorang perempuan berperut besar. Tatapanmu lembut mengikuti matanya yang senang melihat-lihat beberapa perlengkapan bayi yang lucu-lucu. Perasaan tidak rela merasukiku. Harusnya aku yang berada di posisi perempuan yang kau genggam dengan tatapan kelembutan itu! Aku ingin, lantai tempatku berpijak segera roboh dan menelanku ke dalamnya agar aku bisa sembunyi saat ini juga dari pemandangan yang membuat mataku panas itu. Namun tak mungkin dan sudah terlambat, seiring mata Tiara mengekori keberadaanku, saat itu juga entah kenapa kakiku berjalan menujumu. Oh tidak! Mengapa langkah kaki ini malah mendekat? Mengapa tak ia pilih untuk menjauh saja?

*bersambung⏩ 

* untuk tahu cerita sebelumnya, silahkan klik ➡ PART 1  PART 2  PART 3

Rabu, 01 Maret 2017

Jadi...

Teruntuk perempuan yang beberapa saat lalu datang dan duduk manis di hadapanku
Asing ya? Kita duduk bersama tapi saling diam
Aneh ya? Kita berdekatan tapi terasa berjauhan
Bukannya aku yang berubah menjauh, tapi kamu yang terlebih dahulu menghindariku.
Bukannya aku yang sudah tidak ada bahan lagi bercerita padamu, tapi kamu yang lebih dulu tidak mau berbicara padaku.
Bukannya aku enggan berbagi padamu, tapi kamu yang sudah lebih dulu tidak lagi mengikutsertakanku.
Lantas, bagaimana mungkin aku masih bisa bersikap akrab, dekat, hangat, sedangkan kamu telah menciptakan jarak?
Bukan hanya kamu, aku, kita yang merasakan adanya kecanggungan. Tapi semesta pun sudah mulai menyadarinya.
Bahwa yang akan pergi meninggalkan, terkadang memang senang menggores jarak terbentang.
Mungkin, agar tiada begitu terasa saat pisah benar-benar kan jadi nyata.

Jadi… apa lagi yang bisa kulakukan selain mengikhlaskan?