Nyaman. Aku masih menikmati kesendirianku di
kedai kopi langgananku, tempat aku selalu melepas penat sepulang kerja,
–sebelum kembali ke rumah. Apa yang membuatku menjadikan tempat ini
kunjungan wajib di sore hari? Aroma intim dan kelana rasa nikmat dari
atmosfernya telah memberi rasa nyamanku mengadukan penat seharian dengan
rutinitas kantor yang terkadang membawa stres bersarang di kepalaku.
Melepaskannya seiring kepulan asap menguap dari cangkir kopi. Terlebih dari
aroma dan atmosfer kedai kopi ini, furnitur dan ornamen kedai kopi ini cocok
untuk menarik minat setiap pengunjung berlama-lama dan santai dengan kopi
mereka masing-masing. Meski mereka datang sendiri, –sepertiku yang selalu
begitu, pengunjung tidak akan pernah merasa bosan. Ada beberapa buku kuno
bernuansa filosofi kopi, atau novel-novel modern yang juga memuat cerita
senada. Kurasa, pemilik kedai kopi ini sudah menghabiskan banyak waktu untuk
mengoleksi semua ini, dan tentu ia adalah pecinta kopi sejati.
Tidak hanya sekadar kedai kopi biasa, di sini,
kopinya berbeda. Tidak kutemukan di seduhan kopi yang coba kubuat sendiri di
rumah, atau dari kopi di tempat-tempat makan biasa. Kopi yang enak dan pas
untuk penikmat kopi. Kedai kopi ini tidak terlalu ramai, tetapi selalu ada
pengunjungnya. Sudut-sudut favoritnya tidak pernah kosong.
Ada secangkir kopi hitam hangat yang sudah
tinggal seperempat dan kentang goreng yang tinggal beberapa biji di atas meja.
Ku arahkan pandangan ke luar jendela yang berembun terkena tempias hujan.
Langit kotaku sedang sendu semenjak siang tadi. Untung tidak sampai banjir.
Kusapu embun yang mengaburkan pandanganku ke
luar. Kedai kopi yang berada di perempatan jalan, menghadap ke sisi
persimpangan yang identik dengan perhentian dan perjalanan kembali kendaraan.,
identik dengan lampu lalu-lintas. Aku melihat seorang perempuan dengan payung
berwarna hitam berjalan menuju sisi trotoar, mungkin ia hendak menyeberang.
Iseng, kuamati gerak-gerik perempuan itu. Wajahnya pucat, kuramalkan karena di
luar begitu dingin dan ia lupa memakai riasan walau sekadar lipstik. Sungguh
pun demikian, wajahnya tetap menarik dan cantik. Ah, mungkinkah kecantikannya yang
membuatku tertarik memerhatikannya berlama-lama? Kuperhatikan lagi perempuan yang
mengenakan baju terusan sebetis itu hanya diam di samping lampu merah. Mata
indahnya terlihat kosong, apakah yang sedang dipikirkannya? Entahlah.
Kuseruput kopi terakhirku dan meraup seluruh
kentang goreng ke dalam mulutku. Hujan sudah mulai mereda. Aku harus segera
pulang, kalau tidak ingin hujan kembali mengurungku di sini. Kuletakkan kembali
buku yang tadi sempat kubaca di tempatnya semula. Kulupakan sejenak perempuan
yang masih berdiri di samping tiang lampu lalu lintas itu. Kutinggalkan bersama
cangkir kopiku yang sudah kosong.
Keesokan harinya, –seperti rutinitasku biasa, aku
kembali ke kedai kopi. Rasanya menyenangkan menghabiskan sisa soreku untuk
duduk berlama-lama menikmati kopi sambil memperhatikan kehidupan lalu lintas di
sekitarku. Sesekali menghisap satu-dua batang rokok pelepas suntuk.
Aku kembali memilih tempat duduk favoritku, –di
samping meja yang tepat mengarah ke arah jalan, kebetulan tempat itu selalu
kosong di jam-jam segini. Seolah-olah seluruh pelanggan di kedai kopi itu sudah
mematenkan tempat ini adalah milikku kalau sudah sore di ambang senja begini.
Setelah pesananku datang, aku tidak langsung menikmatinya, karena kopinya masih
terlalu panas, asapnya mengepul di bibir cangkir. Kutelusuri asapnya, sambil
meluruskan pandanganku ke luar jendela. Samar-samar, wajah cantik itu tampak
dari balik kepulan asap. Kutinggalkan sebentar meja dan santapan soreku untuk
membersihkan ujung kemeja dan celanaku yang tadi terkena cipratan hujan ketika
mencari parkir motor.
Di dalam toilet aku bertemu dengan dua orang
lelaki yang sepertinya tengah membahas sesuatu. Sambil berpura-pura khusyuk
membersihkan pakaianku, dengan iseng kubagi pendengaranku dengan obrolan mereka
“Kamu melihat perempuan cantik itu lagi, kan?”
tanya si pemilik baju berwarna merah. Ah, meskipun bajunya merah, tetap saja
hari ini kembali hujan.
“Iya, seperti biasa, ia hanya berdiri dengan
tatapan kosong di sana.”
Mengetahui topik pembicaraan mereka, kupertajam
pendengaranku.
“Ternyata bukan cuma aku yang tertarik dengan
kecantikannya, kau memerhatikannya juga?” si baju merah menyeringai lebar,
sepertinya senang mengetahui bukan ia satu-satunya yang suka memperhatikan
perempuan di bawah tiang lampu lalu-lintas itu.
“Iya, karena tiap hari ia berdiri di sana, aku pun
jadi tertarik memerhatikannya. Kamu?”
“Ya… selain karena ia memang cantik, aku lumayan
penasaan dengan ekspresi yang selalu kutangkap dari wajahnya. Penuh misteri dan
mengundang rasa ingin tahu.”
“Kamu kepo juga, ya!” Keduanya kemudian tertawa
bersama.
Setelah beberapa saat terdiam, “Apa yang ia
lakukan?”
“Menjemput anaknya.”
“Anaknya yang mana? Kemarin gue lihat dia cuma
mematung di sana, nggak ada anak-anak, tuh.” Kejar si baju merah makin penasaran.
“Anaknya sudah meninggal setahun lalu.”
“Ha?”
“Iya, kudengar anaknya meninggal karena tertabrak
mini bus tahun lalu. Ketika itu ia terlambat menjemput anaknya pulang dari sekolah.
Dan entah kenapa, anaknya pulang saja sendiri dan mencoba menyeberang di depan
sana. Mungkin ia sangat menyesal karena tak memprioritaskan anaknya yang
harusnya ia jemput ketika itu. Makanya, ia menghabiskan waktu untuk berdiri di
sana. Menunggu anaknya datang.”
“Yaampun.”
Tidak ada perbincangan lagi. Kedua lelaki itu
menyudahi percakapannya dan meninggalkanku di toilet sendirian. Aku pun
beranjak keluar beberapa saat setelahnya. Teringat kopiku pasti sudah tidak
panas lagi menunggu di samping jendela.
Aku terduduk cukup lama menatap kopiku. Masih terngiang
percakapan dua orang di toilet tadi. Entah kenapa hatiku ikut perih. Sambil
menikmati kopiku yang sudah hampir dingin, aku kembali melihat perempuan itu,
perempuan manis berwajah pucat yang berdiri di samping tiang lampu lalu lintas
di seberang jalan. Terusan sebetisnya sudah basah terkena tempias hujan yang
jatuh dari payungnya ke genangan air. Hujan turun sangat deras sore itu.
Tiba-tiba perempuan itu menjatuhkan payungnya,
terlihat tubuhnya mulai goyah. Rintikan hujan tiada ampun merajam tubuhnya.
Melihat pemandangan itu, aku bersiap-siap demi memikirkan kemungkinan buruk
yang akan terjadi. Tidak lama tubuhnya terduduk lesu. Aku keluar kedai kopi sambil berlari menuju
perempuan itu. Tak kupedulikan bunyi klakson dan teriakan marah pengendara
begitu aku menyeberang seenaknya.
“Bangunlah…” aku mendekap perempuan lemah itu.
Dari dekat, baru bisa kulihat mata bening dan indahnya berkaca-kaca dipenuhi
air mata. Banyak duka dan derita tersorot dari sana, yang sudah ia simpan
selama setahun belakangan.
Kudekap makin erat tubuh yang dingin itu, “Kak,
bangunlah… ayo kita pulang, Jasmine tidak akan kembali lagi.”
Mulut beberapa orang yang mungkin juga selalu
memerhatikan sosok kakakku satu-satunya dalam beberapa bulan belakangan,
terbuka begitu mendengar kalimatku. Ada kalimat bisikan yang kudengar, “Jadi
dia adiknya?” ada lagi kalimat lain seperti “Loh, bukannya setiap sore dia selalu
memerhatikan perempuan itu? tetapi malah diam saja, ternyata adiknya?”
BalasHapusendingnya pasti dapat belakangan :)
Duh kak, yg namaya ending iyalah belakangan...
HapusMasak endingnya di ruang sidang, lagi sidang tesis sama Prof. At? Kan gak matching 😝
Duh, bikin speechless di bagian ending-nya. Kirain si tokoh utama hnya sebatas pengamat saja. Ternyata adiknya.
BalasHapusMakasih atas tulisannya, ini udah bikin saya terenyuh :)
Kena deh! Hehee.. emang sengaja menggiring pembaca berpikiran demikian... hmm, berarti aku berhasil dong ya kak? Hehee
HapusMakasih pujiannya kak :)
dasar tukang tipu! sekali-kali ceritanya mengandung cinta kek!
BalasHapusmaafkan diriku yang sudah membuatmu merasa tertipu. sungguh bukan inginku :p
Hapusaku suka caramu mengiring opini pembaca, dan aku tertipu! sialan!
BalasHapusjangan mengumpat kakak...
Hapusnikmati saja, toh aku juga jarang-jarang menipu :p