Senin, 17 Juli 2017

p e m b e l a j a r a n

Dari apa-apa yang hilang, sungguh kumenyesali telah kehilangan selera. Bukan, bukan selera makan, tetapi selera untuk kembali memulai menyapa muka-muka lugu yang bertatapan semu dengan lugu.
Benar penyebabnya adalah raibnya sebuah harapan yang pernah kugantungkan pada malam yang membawa kita menyusuri satelit untuk dapat saling menerima dan mengirimkan sinyal itu.
Telah lama setelah kita menjalani hidup masing-masing. Mungkin malam ini kau tengah tersenyum bahkan tertawa bersamanya, yang memilih menetap di hatimu. Aku hanya bisa membayangkan bagaimana tawa khasmu yang mengandung kelembutan. Sedang tawaku di sini hanya singkat tanpa irama, terkadang seperti tersedak. Benar, ada sesuatu yang mengganjal tentang tiadanya penjelasan yang membuatku terpaksa membiarkanmu memilih mundur.

Sempat, sesaat setelah menyadari benar-benar kepergianmu, aku mempertanyai Tuhan, tentang mengapa kita harus diperkenalkan sampai bahkan bisa seakrab bisa bercanda ringan satu sama lain, kalau Ia akhirnya memperbolehkanmu menjauh dariku? Mengapa aku diizinkan bisa menjadi diriku sendiri tanpa beban bila berhadapan denganmu? Namun, perlahan aku tersadarkan akan satu hal, bahwa waktu bisa lebih manis menjelaskan semuanya. Walau sempat khawatir tentang hari-hari yang baru, Tuhan membawa kakiku melangkah bersamanya, agar aku tidak lagi takut merasa sendiri. entah itu benar atau tidak, yang kutahu, setiap yang pernah singgah menemaniku, mereka adalah pembelajaran yang dititipkan Tuhan padaku, agar aku bisa lebih menghargai dan menjaga sesuatu ketika ia masih bersama denganku.

2 komentar:

  1. Aku suka kak. Setiap yang pernah singgah, mereka adalah pembelajaran yang dititipkan Tuhan. Itu benar sekali :')

    BalasHapus
    Balasan
    1. setiap mereka yang singgah, meski tidak untuk menetap (y)

      Hapus