Rabu, 08 Maret 2017

Ikhlaskan atau Perjuangkan?

                                     PART 4

Kini, setiap hariku hanya jadi mimpi buruk yang ingin kuhapus perlahan demi hidupku. Ya, aku tidak boleh berhenti berjalan. Seberat apapun rasanya melangkah tanpa ada kamu dalam wujud nyata ataupun sekadar pemberi semangat, aku tidak boleh diam dan tidak memperjuangkan hidupku. Aku harus sadar, semakin aku terpuruk dengan pernikahanmu dan Tiara, semakin aku terlihat menyedihkan dan tiada gunanya. Aku harus kuat!

Tiara, bagaimana kabarnya? Pasti perutnya sudah semakin jelas sekarang. Masihkah kamu mengacuhkannya seperti janjimu padaku? Atau kamu malah mulai belajar menerimanya di hidupmu, seperti saran dan nasihat yang selalu menyertaimu selama ini? Sungguh aku tak kuasa rasanya, apakah harus membiarkanmu menyayangi istrimu, atau malah memintamu untuk tetap berpaling padaku. Aku tidak tahu, sayang.

Sore ini aku akan bertemu dengan klien dari luar kota, laki-laki. Biasanya, kamu akan menemaniku, tapi kali ini aku harus siap menghadapi sendiri. Bagaimanapun, aku harus tetap menjalani kehidupan pekerjaanku meski kini itu tanpamu. Ah, lagi-lagi rasanya canggung sekali sekarang apa-apa harus kulakukan sendiri. Setelan berwarna pastel sudah kukenakan untuk bersiap-siap menuju hotel tempat perjanjian dengan klien. Dengan percaya diri, aku melangkah perlahan keluar dari kantor, meskipun jadwal pertemuan masih satu setengah jam lagi, aku hanya ingin sedikit bersantai dengan datang lebih awal.

Sebelum taxi yang kupesan datang, di seberang jalan aku melihat ada seorang nenek-nenek seperti tengah ribut dengan seseorang, itu menggerakkan hatiku untuk tahu lebih pasti apa yang sedang terjadi. Kuseberangi jalan kemudian mencoba bertanya persoalan yang terjadi. Ternyata si nenek hampir ditabrak oleh pengendara motor tersebut. Kasihan sekali, nenek tua ini kenapa berjalan sendirian di sini? Akhirnya aku mengajak nenek tersebut ikut denganku berteduh di depan lobi kantor. Setelah sekitar sepuluh menit berbincang, akhirnya taxi yang kupesan datang. Aku berpisah dengan membawa semangat yang ditularkan dari nassihat nenek tadi padaku. Bahwa, apapun yang terjadi, aku harus tetap memaksimalkan kualitas diriku. Toh, hingga saat ini, seberat apapun hidupku tanpamu, aku masih tetap baik-baik saja.

Pertemuan dengan si klien berjalan lancar, semua baik-baik saja. Aku bersyukur meskipun selama ini selalu tergantung dengan hadirmu menemaniku, tapi kali ini aku dapat mengambil pelajaran lain yang kutimba bersamamu, bahwa aku bisa melakukan komunikasi yang baik agar klien terkesan denganku dan kerja sama bisa terjalin dengan baik-baik saja. Selesainya aku dari menemui klien, aku memilih untuk jalan-jalan sebentar di grand mall di samping hotel tempat pertemuan tadi. Toh tidak ada salahnya berjalan-jalan sebentar barang sekadar untuk mencuci mata. Namun, apa yang kulihat, bukanya malah membuat suasana hatiku segar, hatiku malah teriris karenanya.


Tangan tegasmu, tengah menggenggam tangan mungil seorang perempuan berperut besar. Tatapanmu lembut mengikuti matanya yang senang melihat-lihat beberapa perlengkapan bayi yang lucu-lucu. Perasaan tidak rela merasukiku. Harusnya aku yang berada di posisi perempuan yang kau genggam dengan tatapan kelembutan itu! Aku ingin, lantai tempatku berpijak segera roboh dan menelanku ke dalamnya agar aku bisa sembunyi saat ini juga dari pemandangan yang membuat mataku panas itu. Namun tak mungkin dan sudah terlambat, seiring mata Tiara mengekori keberadaanku, saat itu juga entah kenapa kakiku berjalan menujumu. Oh tidak! Mengapa langkah kaki ini malah mendekat? Mengapa tak ia pilih untuk menjauh saja?

*bersambung⏩ 

* untuk tahu cerita sebelumnya, silahkan klik ➡ PART 1  PART 2  PART 3

2 komentar: