Jumat, 31 Maret 2017

Teruntuk Kekasih Sahabatku

Sejujurnya, aku masih tidak begitu yakin, apakah yang kuinginkan itu, tulisan ini bisa bertemu dengan panca inderamu atau tidak, tetapi jemariku rasanya greget ingin menulisnya beberapa waktu belakangan, jadi ya... kutulis saja, jadi biar semesta yang menentukan, apakah tulisan ini akan sampai padamu, atau tidak.

Aku tahu, bahwa dari segi penampilan wajah, aku ini adalah sosok antagonis yang mungkin ingin dihindari sebagian besar orang. Ya, anggaplah aku memang perempuan yang tidak baik bagimu di hidupmu, tapi tunggu, kurasa tidak begitu bagi sahabatku, setidaknya, jauh sebelum ia mengenalmu.

Belakangan, jujur tentangmu sedikit banyaknya sudah mengganggu pikiranku. Betapa tidak, hampir setiap hari aku mendapatkan pengaduan yang rasanya membuatku mual ingin memuntahkan amarahku, tapi entah mendapatkan kesejukan dari mana, aku yang sejatinya adalah seorang yang emosional, masih bisa menahan gejolak ingin berontakku. Aku beruntung masih bisa diam ketika harus berhadapan denganmu, tapi tidak di depan sahabatku.

Wahai laki-laki yang baru saja berhubungan dengan sahabatku.
Kamu tahu? Gara-gara kamu akhir-akhir ini aku jadi sering memarahi sahabatku. Betapa bodohnya ia, sungguh! kukatakan ia sangat bodoh. Kamu yang masih seumur jagung dekat dengan sahabatku, tetapi sudah lebih dari seorang bapak. Kamu berlebihan kalau semua yang dilakukan sahabatku harus berdasarkan izin darimu. Kamu berlebihan kalau lama-lama kamu jadi melarang sahabatku menemuiku. Kamu berlebihan karena kamu membuat kami para sahabatnya jadi orang asing bahkan di saat kami berkumpul bersama. Kuingatkan, kamu keterlaluan, sungguh!

Aku bersalah, memang. Seharusnya aku marah padamu, aku tidak meluapkan kekesalanku atas kesalahan hubungan kalian ini padanya yang sangat lemah, yang apa-apa hanya bisa menangis. Padahal selama ini, ia adalah perempuan yang tegar. Bahkan ketika ibunya meninggalkannya untuk selama-lamanya, walaupun dengan berat, tapi ia bisa menjalani semua itu, dengan kami selalu berada di sampingnya. Kini? Dia harus menangis, setelah kau marahi hanya karena dia pergi ke pasar denganku, kamu memarahinya, di dekatku, kamu memarahinya? Dia hanya pergi denganku, sahabatnya yang jauh sebelum kalian kenal kami sudah menjadi saudara. Bukan pergi dengan laki-laki lain. Bahkan ketika salah seorang dari kami membicarakan ini padamu, kamu membela diri dengan memfitnahku! oh, sorry... tolong jangan bawa-bawa kerudungku ke dalam masalah ini, apalagi ini hanya kalimat fitnah yang kau lontarkan.

Wahai laki-laki yang menduduki peringkat teratas di hati sahabatku kini.
Tidak apa kalau kalian memang sebentar lagi akan menikah. Aku justru senang jika sahabatku yang baru saja diwisuda akan menikah. Izinkan aku memberitahumu sesuatu yang mungkin kamu tidak mengerti bagaimana terlukanya kami, para sahabat kekasihmu melihat dia terus-terusan menangis setiap kali selesai kau hardik. "Bahwa perempuan sejatinya hanya ingin disayang, diperlakukan lembut. Marahlah dengan bijak kalau memang sahabatku memiliki kesalahan, tidak haruslah kau menghardiknya sampai membuatnya memompa matanya sampai bengkak. Semoga status Magister Pendidikanmu yang baru saja kau peroleh bisa membuatmu lebih dewasa secara emosional, sebagai calon kepala rumah tangga. Kalau memang kau berjodoh dengan sahabatku, aku hanya bisa mendoakan semoga sahabatku bahagia dan menjadi istri yang baik untuk suaminya, tapi tolong, jangan beri jurang pemisah antara kami dengan dia, karena... semenjak ibunya tiada, kepada siapa lagi ia akan bercerita kalau tidak kepada kami sahabat perempuannya?"



0 komentar:

Posting Komentar