Selasa, 19 Juli 2016

Ayah, Maafkan Aku!

Tirta duduk melamun di depan jendela kamarnya. Bunyi petir bernyanyi liar menggema di sudut ruangan, bulir-bulir tangis awan membasahi bumi. Melalui tetes-tetes air yang jatuh dari atap rumah, Tirta menembus jalanan yang basah, menerawang jauh menerobos padang yang basah oleh hujan, melewati genangan-genangan air, merasakan betapa hangatnya suasana rumahnya saat itu. Hujan deras yang mengguyur halaman rumah seolah-olah menggambarkan kegundahan hatinya. Tirta rindu dengan keluarganya di Bekasi, terutama dengan ayah. Sudah sepuluh bulan ia tidak melihat lagi wajah lelaki yang sekarang sudah mulai sakit-sakitan karena ulahnya itu. Masih terngiang-ngiang pertanyaan inangnya tadi pagi mengenai rencana lebarannya yang tinggal sepuluh hari lagi. Sesungguhnya ia ingin sekali berlebaran di Bekasi, berkumpul dengan keluarganya. Namun, ia masih takut-takut bertemu dengan ayah. Khawatir kalau-kalau ayah masih murka padanya.
Tirta tersentak dari lamunannya ketika terdengar Inang Mira memanggilnya dari luar.
“Tirta, ayo atuh keluar udah mau berbuka!” Tirtapun langsung bangkit menutup jendela sebelum menuju keluar.
“Wah… enak nih ada bubur kacang ijo” Tirta berusaha menyembunyikan kegalauan hatinya, ia tak ingin inangnya tau apa yang menjadi beban pikirannya saat ini.
Allahu akbar, Allahu akbar…
“Alhamdulillah… mari berbuka. Allahumma lakasumtu, …” inang dan Tirta kemudian menyeruput teh manis hangat sebelum pada akhirnya menyantap bubur kacang ijo dan sholat maghrib.
Di dalam sholatnya, Tirta berdoa panjang, berharap mendapat petunjuk, pilihan mana yang akan diambilnya. Apakah ia akan tetap berlebaran bersama inang, ataukah ia akan pulang ke Bekasi berlebaran bersama keluarganya? Tirta memang masih sangat takut untuk pulang, semenjak kejadian dirinya ketahuan pesta shabu-shabu di kamarnya oleh ayah, Tirta langsung dititipkan ke rumah inang di kampung ayah, Sumedang, guna menghindari amarah ayah yang kecewa anak kesayangannya telah merusak hidupnya dengan bubuk haram itu, juga untuk menjalani proses masa pemulihan. Selama ini inanglah yang dengan sabar merawatnya, sesabar menunggu suami yang tak kunjung pulang bertahun-tahun dari perantauan.
“Bagaimana? Sudah diputuskan atuh mau lebaran di mana?” ujar inang membuka pembicaraan mereka sepulang sholat tarwih. Belum sempat Tirta menjawab, hapenya berdering, tanda ada pesan masuk, ternyata dari Mang Ujang yang memintanya untuk segera pulang dan berlebaran di Bekasi, ayah kangen.
“Siapa Tir?”
“Ini teh sms dari Mang Ujang atuh Nang, abdi diminta lebaran di Bekasi, ayah udah kangen katanya.” Ujarnya dengan penuh semangat. Alhamdulillah… akhirnya aku bisa pulang juga.
“Baguslah kalau begitu, karena kamu tidak perlu takut-takut lagi untuk pulang, karena ayahlah yang telah meminta sendiri.” Ucap inang juga gembira.
                                                *                      *                      *

            Tirta sudah bersiap-siap untuk pulang, meskipun keberangkatannya masih lama, tetapi ia sudah tak sabar rasanya ingin memeluk ayah dan meminta maaf. Imajinasinya mulai bermain, langsung merasakan betapa hangatnya dekapan ayah dan ibunya, juga kakak-kakaknya. Hm… begitu nyaman dekapan ayah yang penuh cinta kasih.
            “Tirta, kamu dengar inang tidak?” suara inang mengagetkan Tirta dari lamunan indahnya.
            “Eh, maaf atuh nang, tadi inang ngomong apa?” ujarnya malu-malu. Inang hanya tersenyum melihat tingkah Tirta.
            “Tadi inang nitip pesan buat ayah ibumu kalau sudah sampai Bekasi, juga kamunya hati-hati. Sudah, cek lagi semua barang-barangnya, kita berangkat ke terminal sekarang.”
Tirta dengan semangat menata ulang barang-barangnya, mengecek agar tak ada yang ketinggalan, tak lupa oleh-oleh dari Sumedang yang sudah disiapkannya untuk keluarga di Bekasi.
            Air hujan kembali menari-nari riang mengiringi perjalanan Tirta sore itu, terminal sangat padat, banyak yang baru datang dari Jakarta untuk mudik lebaran. Suasana haru itu kembali memancing imajinasi Tirta untuk merasakan suasana hangat yang tercipta di rumah setibanya ia nanti.
                                                *                      *                      *

            Tirta segera berlari kecil ketika mulai menapaki halaman rumah yang teduh. Seteduh wajah-wajah penghuni yang akan ditemuinya. Dekapan hangat dari ibulah yang pertama kali dirasakannya karena memang perempuan yang penuh kelembutan itu yang menyambutnya pertama kali di depan pintu. Kerinduannya benar-benar terobati ketika tangan ayah, lelaki yang terduduk di kursi roda itu terbuka lebar, bahagia sekali rasanya. Senyuman tulus dari Mang Ujang dan Teh Nia begitu sempurna, sesempurna semangat hidup yang dirasakannya sejak terlepas dari pengaruh buruk obat-obatan laknat itu. Dan kini, kebahagiaan menyeruak ke permukaan, maaf dari ayah dan keluarga telah dikantonginya, dan kini ia juga sudah kembali berkumpul dengan keluarganya.
            Suasana Lebaran yang khidmat, gema takbir berkumandang di mana-mana. Makanan enak dan unik sudah mejeng di meja, menggugah selera. Kue lebaran berbaris rapi menunggu untuk disantap. Pakaian rapi dan bersih ikut melambangkan hari kemenangan ini. Tirta begitu bahagia, sudah hampir setahun rasanya tak pernah sebahagia ini. Ayah juga sudah mulai sembuh, dan tidak selalu harus bergantung pada kursi rodanya. Benar-benar rahmat yang tiada tara yang diterimanya di hari penuh kemenangan ini.
                                                *                      *                      *

            Teeeer…teeeer…teeeer…
            Getaran hapenya mengagetkan Tirta hingga membangunkannya dari dunia fatamorgana. Ternyata cuma mimpi.
            Kamu sudah di mana? Kalau sudah sampai langsung ke rumah, jangan mampir-mampir dulu. Ayah *some text missing*
            From: Mang Ujang Mobile
            “Ayah apa? Kenapa terputus gini sms nya? Hm… pasti ayah sudah tak sabar ingin bertemu, ya, pasti!” Ujarnya dengan senyuman optimis, semakin tidak sabaran ingin cepat-cepat bertemu ayah.
Beberapa saat ia masih asyik memikirkan mimpi indah yang barusan menemani perjalanannya, tiba-tiba bunyi decit rem disusul suara keras seperti ada sesuatu yang terbanting keras. Setelah merasakan badannya sesak karena terjepit, Tirta tidak tahu apa-apa lagi. Pingsan.
“Ayah!” suara Tirta begitu lemah, nyaris tak terdengar. Tirta pelan-pelan membuka matanya, siuman setelah tak sadarkan diri selama 3 hari.
“Kamu gak papa?” suara Teh Ayu terdengar kuatir
“Teh Ayu? Ayah di mana? Tirta ingin ketemu ayah, Tirta ingin minta… aah!” rasa ngilu di perutnya membuatnya menghentikan kata-katanya. Sedang, Teh Ayu hanya mengangguk sambil senyum miris
“Sekarang sudah malam takbiran? Aku mau nelpon ayah, aku mau minta maaf teh.” Teh Ayu hanya menggeleng lemah. Air matanya mengalir pelan.
“Sekarang sudah hari kedua lebaran. Ayah meninggal ketika malam takbiran.”
Hening.

2 komentar:

  1. aww, ini keren banget, gak banyak penulis yang bisa bikin gue terbawa saat baca, sumpah. ini keren banget, gak terlalu dramatis. jujur gue inget bokap pas baca cerpen lo ini. sedih.

    boleh saran? kalo menurut gue sih yaa, endingnya terlalu cepet, berasa loncat. satu lagi, mungkin akan lebih oke kalo lamunannya lebih banyak tentang kenanagan sama ayah semasa kecil. but, overall, ini bagus banget, suka banget hehe.

    coba tulis buku ajaa, kumpulan-kumpulan cerpen lo jadi satu buku gitu. gue liat tulisan-tulisan lo oke banget kok untuk dijadiin buku :D sukses terus yaa, jangan pernah berhenti nulis :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasih...
      ini cerpen lama, yang ditulis untuk memenuhi tugas "aransemen cerpen dari majalah"
      karena cerpennya udah ditentuin, jd cuma bisa mengubah alur (dari maju ke alur campuran) dan tata bahasanya aja, tanpa bisa mengubah jalan cerita.

      but thanks masukannya... semoga nanti bisa diperbaiki lagi ^^

      Hapus